Mohon tunggu...
wily Spazio
wily Spazio Mohon Tunggu... -

Hobbi dan Ingin jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Barung-barung Bambu untuk Liza

21 Februari 2014   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:36 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BARUNG-BARUNG BAMBU UNTUK LIZA

Untuk menuju desa terpencil itu mamng sulit. Jalan darat belum ada yang menghubungkan desa itu dengan desa lain atau kota kecamatan. Satu-satunya cara adalah dengan menggunakan angkutan sungai, perahu mesin tempel. Dengan perehu tempel ini belum langsung mengantarkan ia ke tempat itu. Ia masih harus melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan sampan yang biasa digunakan penduduk. Liza memindahkan barang-barangnya dari perahu mesin tempel ke sampan untuk  menlanjutkan perjalanannya menuju desa Tebing Tinggi. Sungai ini sebenarnya cukup lebar tapi ada tempat yang sulit ditempuh, karena di tempat itu terdapat batu-batu besar yang berdekatan dan terdapat juga akar dan batang pohon besar yang sudah tumbang. “Ada beberapa lokasi yang sulit ditempuh dengan perahu yang lebih besar,” kata pendayung sampan menjelaskan.

Setelah setengah jam perjalanan Liza sampai di tempat tjuannya. Perahu sampan merapat ke tepi sungai. Disana tampak seorang lelaki berpakaian necis dan berkopiah hitam. Ia tersenyum ke arah Liza. Ia beranjak dari tempat ia berdiri lalu menyambut Liza. “Saya Kepala Desa di desa ini,” ujarnya sambil mengulurkan tangannya, berjabat tangan. “Terima kasih Pak, sudah repot menjemput saya,” kata Liza. Memang kami ke sini untuk menyambut Bu Bidan. Kami sempat khawatir kalau-kalau Bu Bidan tak jadi berangkat ke sini hari ini,” jawab Kepala Desa.

Bidan Liza di bawa Kepala Desa ke rumahnya. “Untuk sementara, malam ini Bu Bidan tinggal di rumah saja. Ada Yanti, anak Bapak yang menemani nantinya. Besok baru pindah ke pustu(puskesmas pembantu).” kata Pak Kades. Liza menganngguk dan mengikuti Pak Kades menuju rumahnya.

Liza adalah Bidan kontrak yang ditugaskan pemerintah ke desa ini. Di desa ini ada sebuah puskesmas pembantu yang sudah cukup lama ada di sini. Namun saat ini pustu itu tak ada yang menghuni. Petugas kesehatan tak betah tinggal di sini, karena desa ini terletak di daerah terpencil dan sunyi. Umumnya petugas pustu pergi meninggalkan desa ini sebelum masa kontraknya habis.

Fajar mulai menyinsing di kaki langit bagian timur pertanda hari menjelang pagi. Liza bangun untuk melaksanakan shalat shubuh. Nanti ia akan pindah ke rumah dinasnya, di samping pustu. Ia mengemas-ngemas barangnya. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Sudah waktunya aku berangkat,” bisiknya dalam hati. “Pak, Bu aku pamit dulu,” katanya minta izin kepada Pak Kades dan isterinya. “Ya. Biar Yanti yang membantu Bu Bidan membawa-barang-barang,” jawab Pak Kades.

Liza berangkat menuju pustu ditemani Yanti yang menjinjing tas di tangannya. Ia membuka rumah dinasnya yang terletak di samping pustu. Bau tak sedap yang berhembus dari dalam ruangan menusuk hidungnya, karena sudah lama tak disinari cahaya dan dimasuki udara segar. Ia melayangkan pandangannya ke sekeliling pustu. Halamannya tampak bersih. Pak Kades menyampaikan kepada Liza beberapa hari lalu ia membawa beberapa orang warga untuk gotong royong membersihkannya, karena ia tahu ada petugas kesehatan baru yang akan datang. Gedung itu sebetulnya masih utuh. Hanya saja terasa agak sumpek karena sudah lama ditinggalkan penghuninya. Hari ini ia hanya menyingkirkan barang-barang yang tak perlu saja di rumah itu. Hanya ruang tempat tidur yang dibersihkannya dengan tuntas, agar dia bisa tidur agak nyaman malam ini.

Pagi-pagi Liza sudah memulai kegiatannya untuk membersihkan rumah dan ruang tempat ia akan bekerja nanti. Di bagian depan bangunan itu ada ruangan tempat yang disediakan untuk keperluan bidan melayani dan memeriksa pasiennya. Ada beberapa almari untuk menyimpan obat-obatan dan juga alamari berkas administrasi. Di bagian belakang terdapat ruangan cukup luas. Di sana terlihat  empat tempat tidur yang tak terawat, yang disediakan untuk pasien rawat inap. “Fasilitasnya masih cukup lengkap,” katanya dalam hati.

Sedang asyik membersihkan tempat kerjanya, tiba-tiba lima orang pemuda berjalan mendekat ke arahnya. “Sibuk Bu Bidan? Aku Joni. Ini teman-temanku, Ipan, Andi, Kadir dan itu Udin,” kata Joni memperkenalkan diri dan teman-temannya. “Aku Liza, yang akan bertugas di pustu ini,” kata Liza. “Ooo.. iya. Kami sengaja datang ke sini. Kalau Bu Bidan tak keberatan, kami ingin membatu membersihkan pustu ini. Biar Bu Bidan senang bertugas di sini,” ujar Joni menawarkan bantuannya. “Ooo, terima kasih kalau begitu. Dengan senang hati,” jawab Liza dengan senyumannya yang manis. Mereka segera bekerja membersihkan dan menata rumah dan ruang pustu hingga tuntas. Mereka baru selesai menjelang zhuhur. Mereka pamit. “Terima kasih, maaf telah merepotkan,” kata Liza. “Kami senang Ibu Bidan mau membantu warga di sini” ujar pemuda itu.

Kedatangan kelima pemuda tadi meberikan kesan yang baik bagi pemuda di sini. “Ternyata pemuda di sini baik dan ramah,” gumamnya dalam hati. Ini cukup menenangkan hatinya karena sebelumnya ia sempat khawatir dengan keamanannya tinggal sendirian di tempat ini. Ia terkesan dengan pemuda yang bernama Joni tadi. Ia kelihatannya seperti orang terdidik. Dari cara bicaranya Liza menangkap kesan demikian.

*********

Di Desa Tebing Tinggi ini terdapat dua buah sekolah, SD dan SMP. Muridnya masih sedikit, hanya ada sepuluh sampai 12 orang untuk setiap kelasnya. Di desa Tebing Tinggi ini hanya terdapat sekitar delapan puluhan kepala keluarga. Di samping anak-anak di desa Tebing Tinggi, sekolah ini juga menampung anak-anak dari desa tetangga yang warganya tidak sebesar penduduk desa Tebing Tinggi. Bagi yang ingin melanjutkan mereka harus meninggalkan desa ini ke kota kecamatan atau kabupaten. Kini hanya tinggal tiga orang guru yang aktif di sini, sedangkan yang duanya lagi sudah pergi, karena tak betah tinggal di tempat yang sunyi seperti desa Tebing Tinggi ini. Mereka yang bertahan adalah Parto, satu-satunya pegawai negeri yang menjabat sebagai kepala sekolah, dan Ani guru SMP yang juga diberi tugas sebagai kepala SD serta dan Susi disamping sebagai guru SMP juga mengajar di SD. Ani dan Susi masih berstatus sebagai guru kontrak, yang digaji pemerintah. Untuk sekolah dasar mereka dibantu empat tenaga sukarela asal desa Tebing Tinggi sendiri yang tamat dari SMA.  Untuk SMP masih berstatus “Satu Atap.” Gedungnya dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Kini sekolah ini baru mempunyai murid hingga kelas tujuh.

Ani, guru SMP yang juga kepala SD memilki sifat yang ramah, mudah senyum dan mudah bergaul. Ia cepat dekat dengan warga. Ia juga aktif dalam kegiatan pemuda dan pemudi di desa ini. “Kalau tak hati-hati, anak laki-laki bisa salah arti meluhat keramahan dan senyum, Bu Ani,” begitu komentar Joni kepada teman-temannya. Benar, Brandon sicowok brewok yang suka sok jagoan, merasakan itu. Ia mengira keramahan dan senyum yang sering dilontarkan Ani setiap kali bertemu diartikan Brandon sebagai “rasa suka” Ani kepadanya. Pada hal kalau kita cermati, sikap seperti itu diberikan Ani kepada siapa saja lawan komunikasinya. Karenanya, si brewok Brandon sering salah tingkah saat berhadapan dengan Ani.Ia tak segan-segan menampilkan muka cemberutnya kalau ia menyaksikan Ani sedang asyik berbicara atau berpapasan dengan pemuda lain.

Sekitar jam lima sore, Brandon datang dengan wajah merah dan sangar menuju rumah Joni. “Keluar kau Joni! Keluar. Kalau kau jantan coba hadapi aku!” teriaknya lantang. Brandon berkali-kali meriakkan tantangannya kepada Joni dengan suara yang keras. Di pinggangnya terselip sebuah pisau belati. Joni yang tak tau sebab-musabanya terkejut menyaksikan tingkah aneh si brewok ini di balik lubang dinding rumahnya. Empat pemuda tanggung yang sering mangkal di rumah Joni ikut mengintip aksi si brewok ini. Sejenak tampak pemuda ini berbisik. “Bang Joni mesti kita bela,” bisik mereka. Diam-diam mereka menuju dapur, mereka keluar dari pintu belakang. Masing-masing menggenggam sepotong kayu, yang sebetulnya disiapkan Joni sebagai kayu bakar. Mereka muncul dari belakang, masing-masing dua dari samping kanan dan duanya lagi dari samping kiri, lalu bergabung. Mereka berdiri sambil menatap Si brewok dengan mata tajam. Si brewok terkejut melihat keempat pemuda tanggung ini seakan siap untuk bertempur. “Ayo maju,” kata salah seorang dari mereka sambil menggerakkan telunjuknya. Nyali si brewok jadi kecut. “Hei si brewok, sebelum kemarahan kami memuncak, sebaiknya kamu tinggalkan tempat ini. Pergiiiii,” teriak mereka dengan suara keras. Si brewok takut, lalu lari tunggang-langgang.

Brandon pergi menemui teman-temannya yang sekali gus adalah anak buahnya. Mereka ini adala anak-anak muda pengangguran. Brandonlah yang sering mentraktir mereka ketika minum di warung kopi, dan Brandon juga yang menyediakan rokok untuk mereka. Mereka patuh bukan karena takut dengan Barnadon melainkan hanya karena berhutang budi. “Kalau kalian masih menganggap aku sebagai pemimpin kalian, kalian harus membantu aku,” katanya tegas. Mereka mengangguk seperti menyatakan kesiapan mereka. “Harga diriku tercabik-cabik karena keempat ‘anak ingusan tengik’ teman si Joni itu!” katanya memprovokasi. “Awas Joni, aku akan segera melakukan pembalasan,” katanya geram.

Esoknya Brandon dan teman-temannya menuju rumah Joni. Mereka berjalan dengan langkah buru-buru. Diantaranya ada yang menenteng kayu, ada yang membawa belati dan Brandon sendiri mebawa golok dipinggangnya. Aksi Brandon dan teman-temannya ini mengundang perhatian warga. Satu persatu mereka datang hinga akhirnya memenuhi tempat di sekitar rumah Joni. Mereka ingin tahu apa yang bakal terjadi dan apa yang akan diperbuat Brandon dan konco-konconya.  Dua orang diantara teman Brandon mengusung dan mengangkat tinggi-tinggi memperlihatkan kepada warga karton manila betuliskan “Usir mantan napi!” dan “Jangan kotori desa ini dengan koruptor.” Aksi mereka seperti aksi demo yang ditayangkan TV. Setibanyadi depan rumah Joni ia berteriak. “Keluar kamu Joni. Keluar. Aku akan mengadakan perhitungan denganmu,” ujarnya dengan suara keras. “Joni…..! Ke luar kamu. Aku akan hadapi berapapun temanmu sekarang,” tantangnya.

Joni yang sedang berada di rumah sendirian menjadi ketakutan. Ia mengunci pintu dan jendela agar mereka tak dapat masuk ke rumah. Meski dalam kondisi ketakutan, Joni tetap mangawasi gerak-gerik Brandon dan kawan-kawannya. Brandon mengarahkan wajahnya ke arah kerumunan warga. Ia berteriak lantang. “Saudara-saudara! Jangan biarkan desa kita ini menjadi tempat persembunyian mantan nara pidana! Jangan dibiarkan desa kita ini kotor oleh koruptor. Joni adalah mantan napi, koruptor,” tudingnya. Warga hanya diam, tak mengerti apa masud Brandon dengan mantan napi dan koruptor itu. “Joni adalah mantan napi karena korupsi,” teriaknya sekali lagi. “Huuuuu….!!!” teriak warga dari kelompok wanita. Brandon membelalakkan mata merahnya kepada mereka. Wanita-wanita itu diam dan takut. Tak mendapat sambutan warga, Brandon dan kawan-kawan mulai beringas. Mereka merusak tanaman yang ada di depan rumah Joni. Mereka mulai marangsek ke depan, ingin masuk ke rumah. Tiba-tiba suara sepeda motor terdengar. Pak Kepala Desa datang dan segera turun dari kendaraannya. Pak Kades berdiri di depan menghadang kelompok Brandon. Melihat Pak Kades susdah ada di depan mereka sedikit tersurut. “Ada apa kalian tiba-tiba menyerang begini?” teriak Pak Kades ke arah Barandon. “Joni itu Napi dan koruptor, Pak Kades” kata Brandon menjawab. “Usir dia dari desa ini,” pintanya lagi. “Brandon! Joni sudah menceritakan semuanya padaku. Dan aku mengizinkan dia tinggal di  desa ini, Joni adalah tanggung jawabku” ucap Pak Kades tegas. “Brandon! Bawa teman kamu pulang. Jangan ulangi lagi tindakan konyol ini. Aku tidak segan-segan menyeret kalian ke aparat keamanan,” ancam Pak Kades. Mendengar ancaman Pak Kades, Brandon dan kawan-kawan merasa kecut. Terbayang di benak mereka borgol akan melinggkar di tangan mereka. Dengan wajah pecundang mereka melangkah gontai meninggalkan rumah Joni. “Huuuuuu” teriak warga lagi. Brandon dan kawan-kawan tak peduli dengan ejekan warga. Mereka terus kabur meninggalkan tempat itu. Mereka pergi dengan rasa malu dan kecewa.

Rasa benci Brandon terhadap Joni bukan semata-mata karena ingin membersihkan desanya dari seorang penjahat yang pernah masuk bui. Tetapi justru dilatari api cemburu. Suatu ketika Brandon pernah memergoki Ani jalan bersama dan kemudian membonceng sepeda Joni ketika pulang dari sekolah. Merka tampak asyk bercerita dan tertawa mesra. Menyaksikan kejadiaan ini membuat hati Brandon terbakar api cemburu. Ia merasa Ani sudah menjadi pacarnya karena Ani selalu melempar senyum manakala bertemu dengannya. Brandon tak mau terima kalalu Joni menelikung cintanya di siang bolong begini. Dan ia tak rela kalau gadis semanis Ani jatuh ke tangan mantan narapidana seperti Joni. Brandon menggigit bibirnya, geram menahan emosinya.

Joni memang seorang pemuda mantan narapidana yang tersangkut perkara tindak pidana korupsi. Ia dalah mantan pegawai negeri instansi yang mengurus pertanian yang dianjkat sebagai bendaharawan. Sebagai pegawai yang belum kaya pengalaman ia tak kuasa menolak tekanan untuk berbuat sesuai dengan keinginan atasannya betapapun ia sadar itu tak sesuai dengan hati nuraninya dan mengandung resiko hukum.Akhirnya ia terjebak dalam tindakan pidana korupsi. Ia didakwa melakukan tindakan ikut membantu memperkaya orang lain dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan Negara. Atas perbuatanya ini ia diganjar satu tahun enam bulan kurungan. Brandon masih ingat benar dua tahun lalu ia menyaksikan wajah Joni di tayangan televisi saat ia dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan ini pula yang ia jadikan Brandon sebagai senjata untuk mengusir Joni desa Tebing Tinggi ini, atau setidaknya tersingkir dari sisi Ani, gadis yang sangat ia cintai. Namun ternyata tidak cukup ampuh untuk tujuan itu.

*********

Hari itu cuaca tampak cerah. Angin berhembus sepoi menyapu dedaunan. Di langit tampak awan putih berarak searah tiupan angin.  Tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Seperti biasa, di hari Jumat, usai shalat Azhar Joni dan kawan-kawannya pergi memancing sambil menikmati hawa sejuk di pinggir sungai yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Setelah berjalan sekitar 25 menit kea rah hulu sungai mereka sampai di tempat mereka biasa memancing. Di tempat ini masih banyak ikan yang bisa mereka pancing karena pemerintah desa membuat ketentuan larangan menangkap ikan dengan menggunakan racun atau menggunakan setrom listrik dari aki dan hanya boleh dengan cara memancing atau dengan menggunakan jala. Oleh sebab itu kelestarian dan perkembangan banyak jenis ikan di sini tetap terpelihara.

Tak terasa hampir dua jam waktu yang telah dihabiskan Joni dan kawan-kawannya karena asyik memancing. Mereka hanya memungut ikan yang sudah cukup besar. Ikan yang kecil mereka kembalikan ke sungai. Masing-masing mendapatkan lima sampai enam ekor ikan, cukup untuk konsumsi satu hari buat keluarga masing-masing.  Joni sendiri mendapatkan lima ekor, yang dibuatnya menjadi dua jinjing. Satu jinjing untuk tiga ekor untuk yang agak kecil dan dua ekor untuk yang lebih besar. “Kok dijadikan dua jinjing?,” tanya Andi heran. “Ah mau tau aja kamu urusan orang dewasa,” jawab Joni bercanda yang disambut tawa Ipan, Kadir dan Udin. Mereka lalu pulang dengan perasaan gembira dan puas dengan hasil pancingan mereka.

Senja itu Bidan Liza sedang duduk santai di depan rumah dinasnya. Lima pemuda muncul dengan menjinjing ikan di tangannya. Mereka itu adalah Joni dan kawan-lawan. Joni berjalan menuju pintu pagar pustu. “Ada Bu Bidan Liza yang lagi santai rupanya,” sapa Joni. Liza cuma tersebyum. Sebuah senyum yang teramat manis di depan mata Joni. “Bu bidan mau ikan?” tanya Joni seraya membuka pintu pagar. Percaya Lizaakan menerima, Joni langsung mendekat lalu menyerahkan seikat ikan, yang sudah sengaja dia persiapkan. “Waaaw, makan enak aku jadinya malam nanti sampai besok,” kata Liza dengan gembira menyambut pemberian Joni. “Kalau negitu, kami langsung pulang saja,” kata Joni pamit. “Baik! Terima kasih ikannya,” kata Liza. Joni balik dan berlati kecil karena ditinggal temannya. “Oooo…. Aku mengerti sekarang, mengapa mesti harus jadi dua ikat,” gumam Andi dalam hati. “Ada orang yang lagi jatuh cinta, nih,” ujar Andi balik menggoda Joni. “Skornya jadi 1-1,” sambut Ipan. Mereka tertawa bersama-sama. Kemudian mereka berpisah menuju rumah masing-masing.

Makin hari hubungan persahabatan antara Liza dengan Joni dan kawan-kawannya bertambah akrab. Liza juga sudah mendapatkan banyak teman-teman sesama wanita yang suka datang ke tempatnya untuk bermain di sore hari. Tentu saja Liza merasa senang. Ia tidak merasa sepi sendiri, karena bisa bercengkrama dan bersenda-gurau bersama teman, sambil menunggu kalau-kalau ada pasien datang yang, harus dilayaninya. Karena itu, ia semakin betah tinggal di desa ini. Desa Tebing Tinggi ini tak lagi terasa asing dan sunyi, meski jauh dari keramaian kota. Ia merasa kehadiran memiki makna, dan hidupnya terasa berarti karena membawa manfaat bagi orang banyak. Masyarakat merasa senang dengan kehadirannya. Untuk memaksimalkan layanannya kepada masyarakat Liza membentuk pos pelayanan terpadu (posyandu) di titik-titk mana masyarakat dengan mudah menjangkaunya. Bahkan ia tidak segan-segan datang sendiri ke rumah-rumah ibu hamil yang tidak sempat memeriksakan kandungannya di puskesmas atau balita yang tidak dapat diperiksa kesehatannya di posyandu. Liza setia mengunjungi posyandu sekali dalam dua minggu. Joni sering menemaninya kalau ada pasien meminta ia datang memeriksa kesehatannya di rumah.

Waktu terus berjalan. Tak terasa hamper tiga tahun ia mengabdikan dirinya untuk membangun kesehatan masyarakat di desa Tebing Tinggi ini. Itu artinya masa kerjanya sesuai  perjanjian kontrak tak lama  lagi akan habis. Seiring perjalanan waktu ada sesuatu yang tumbuh dan berkembang dalam hatinya. Persahabatannya dengan Joni semakin dekat. Ada perasaan senang dan nyaman jika berada di samping Joni. Di lubuk hati Liza mulai bersemi perasaan suka yang semakin hari semakin ia rasakan. Sorot mata Joni ketika mereka saling berpandangan menggetarkan hati Liza. Menjelang tidur, wajah Joni selalu melintas diangannya. Membayangkan kebahagiaan bersama Joni, alkir-akhir ini sudah menjadi ritual  pengantar menjelang tidurnya. Cara pandang, sikap dan tutur kata Joni menarik hatinya. Kesan ia sebagai seorang terdidik semakin kelihatan di mata Liza.

Memang Joni adalah seorang pemuda yang pernah duduk dibangku perguruan tinggi. Ia adalah jebolan diploma tiga politani. Dengan modal pengetahuan itulah ia dapat memberikan penyuluhan kepada petani untuk meningkatkan hasil usaha taninya. Gagasannya untuk kemajuan desa sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Itulah yang menyebabkan Kepala Desa sangat menyayanginya. Mengarahkan dana program pengembangan kecamatan (PPK) untuk membangun kepala irigasi untuk mengairi sawah petani lahir dari gagasan Joni. Ia pula yang memotivasi petani untuk gotong royong, bersama membangun tali bandar secara swadaya. Petani yang dulu sangat tergantung pada musim hujan, kini sudah dapat turun ke sawah secara reguler.

Hari Sabtu dan Minggu merupakan hari libur bagi Liza. Biasanya, hari liburnya diisi dengan kegiatan ringan yang bisa mebuatnya rileks. Kadang-kadang ia sengaja mengundang teman-temannya datang ke rumahnya untuk membuat makanan, lalu dinikmati bersama. Minggu-minggu sebelumya mereka bikin kue, lalu berikutnya bikin panggang ayam dan kemudian ikan bakar. Pokoknya mereka akan melakukan apa yang mereka anggap bisa membuat mereka enjoy dan happy. Tapi Minggu kali ini ia sudah berjajnji dengan Joni untuk pergi ke tempat rekreasi di pancuran tujuh. Ya, pancuran tujuh ini adalah satu-satunya tempat indah yang ramai dikunjungi pada waktu libur. Di salah satu tempat di pinggir bukit, ada gunung berbatu yang tinggi. Dari ketinggian itu memancar mata air yang tidak begitu besar. Air yang turun dari atas jatuh ke batu, berbelok-belok dan bertinggkat-tingkat hingga ke tempat paling rendah. Oleh pemerintah desa dibuatkan polongan air yang terbuat dari bambu shingga menjadi pancuran. Letak pancuran ini bertingkat-tingkat yang jumlahnya tujuh buah. Jadilah tempat ini bernama Pancuran Tujuh.

Di sekitar pancuran tujuh juga terdapat beberapa batu besar yang bagus untuk dijadikan tempat duduk bersantai-santai. Letaknya terpencar di beberapa tempat. Air yang jatuh dari pancuran tujuh itu mengalir ke sebuah sungai. Dalam batas 200 meter sungai ini oleh pemerintah desa dijadikan sebagai “lubuk larangan.” Di lubuk larangan ini warga diiarang menangkap ikan dengan cara apapun dan juga dilarang membuang sampah atau sesuatu yang dapat mengancam kehidupan ikan di sini. Ke dalam areal lubuk ini  ditaburkan bibit pilihan dari beberapa jenis ikan unggul yang cepat besar di air deras. Untuk mempercepat pertumbuhan ikan-ikan itu, awalnya pemerintah desa menyediakan pakan buatan. Namun sekarang hanya sesekali saja dilakukan, karena sejak di tata sebagai tempat rekreasi justru pengunjung dengan senang hati menaburkan makanan ringan untuk dimakan ikan. Mereka terlihat senang ketika menyaksikan ikan yang sudah besar-besar itu kejar-kejaran rebutan makanan yang ditaburkan pengunjung. Soal keamanan ikan di lubuk ini tidak lagi menjadi persoalan, karena semua warga desa sudah merasakan sebagai milik bersama. Semua merasa bertanggung jawab untuk memelihara lubuk larangan ini. Pada awal program ini, memang ada tangan-tangan jahil segelintir anak muda yang mencoba mencuri ikan untuk sekedar pesta ikan bakar. Tapi, seperti dikatakan pepatah, sepandai-pandai tupai melompat suatu saat akan jatuh juga. Begitulah, akhirnya anak muda pencoleng ikan ini tertangkap tangan juga. Mereka jadi malu sendiri. Lubuk larangan menjadi aman setelah peristiwa itu.

Kehadiran lubuk larangan di lokasi pancuran tujuh menambah indah pemandangan di sekitarnya. Pada hari-hari libur tempat ini ramai dikunjungi warga, bahkan sesekali terlihat ada pengunjung yang datang dari kota. Warga kota yang sudah bosan dengan suasana bising, merindukan suasana tenang dan nyaman memilih tempat ini sebagai tempat menghabiskan hari libur akhir pekan.  Itulah sebabnya tempat ini dijadikan sebagai tempat liburan oleh Liza dan Joni.

Joni dan Liza sampai di pancuran tujuh sekitar jam Sembilan. Matahari menyinari bumi dengan cahayanya yang terik. Untuk menghindari terik matahari mereka memilih tempat di sebuah batu besar yang ada di sebuah pohon yang rindang. Pemandangan alam di sekitar pancuran tujuh ini kelihatan indah. Burung-burung beterbangan dari satu pohon ke pohon yang lain. Mereka bercengkrama antara satu sama lian seakan ikut menikmati keindahan alam dan cerahnya mata hari menyinari bumi. Joni dan Liza duduk santai dan mengobrol.

Joni

:

“Liza…! Aku mau ngomong serius denga kamu” kata Joni memulai pembicarann dengan suara gugup.

Liza

:

“Masalah serius apa yang ingin kamu sampaikan sehingga gugup begitu?” tanya Liza.

Joni

:

“Ya….. Boleh aku bertanya padamu?” tanya Joni

Liza

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun