Mohon tunggu...
Wildan P
Wildan P Mohon Tunggu... -

081286560305

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Kasus Kopi Mirna] Pengalaman Saya Pernah Hampir Dijadikan Tersangka Pembunuhan oleh Polisi

1 Februari 2016   05:53 Diperbarui: 1 Februari 2016   07:06 4675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kasus penangkapan Jessica Wongso oleh polisi ini mengingatkan saya pada peristiwa pahit bertahun tahun yang silam. Ada kasus kebrutalan yang dilakukan seorang polantas yang mengakibatkan seorang remaja pengemudi motor mengalami koma dan dirawat di rumah sakit. Kepala pengemudi motor dipukul menggunakan batang bambu. Pukulan ini membuatnya pingsan, motor yang dikendarai nya oleng tanpa kendali dan menabrak mobil saya dari belakang. Mobil bagian belakang rusak dan ditahan di kantor polisi.

Dalam kasus ini pak polantas sebetulnya melakukan kecelakaan kerja yang berpotensi mengakibatkan terbunuhnya orang. Remaja itu melakukan kesalahan mengganggu acara suatu instansi dengan melakukan kebut kebutan menggunakan motor bersuara sangat keras. Polantas geram dan mengambil tindakan brutal yang akhirnya membuat anak remaja itu tersungkur koma di aspal. Ambulans dipanggil untuk mengangkut korban ke rumah sakit. Karena tindakan nya berpotensi kepada kematian orang, maka polantas ini akan berusaha menghindari tanggung jawab dan mencari kambing hitam. Yang paling mungkin dijadikan kambing hitam adalah pengemudi mobil di depannya yang ditabrak.

Besoknya polisi penyidik menelpon saya di kantor meminta saya menghadap dia. Saya datang ke kantor polisi menemui dia. Beliau mengatakan kalau remaja itu meninggal saya akan dijadikan tersangka. Saya merasa tidak bersalah dan  yang melakukan pemukulan itu polantas, saya tidak berusaha menyuap. Saya dongkol dan marah sekali dijadikan tersangka untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Akhirnya saya menggunakan koneksi pejabat untuk membebaskan dari tuduhan ngawur ini.

Pada suatu kejadian kecelakaan lalu lintas ataupun kriminal, ternyata pihak polisi sering mem-bisnis-kan perkara ini. Karena itu tindakan polisi tidak bisa dianggap selalu berlandaskan kejujuran. Mereka juga bisa main main dengan perkara untuk mendapatkan uang obyekan. Kasus yang sebetulnya jernih bisa dibuat keruh dan ruwet untuk tujuan lain. Polisi bisa mengincar pihak pihak yang berperkara ini untuk memaksimalkan duit hasil obyekan.

Dalam kasus Mirna ini masyarakat sudah terlanjur memberi cap polisi bersih seperti malaikat, tidak main main dengan perkara. Kalau kita telaah, pihak pihak tertentu bisa dijadikan sapi perah jika terbentur perkara. Apalagi jika yang berperkara ini golongan berpunya. Bisa juga ada inisiatif salah satu pihak menawarkan uang jasa untuk menutupi kejadian yang mencoreng dan bisa membangkrutkan usahanya,  misalnya bisnis kafenya terancam gulung tikar. Untuk menutupi ini harus ada kambing hitam. Disini polisi mempunyai keleluasaan dalam memainkan arah kasus ini ke mana. Jessica potensial dijadikan tertuduh. Kalau Jessica dinyatakan sebagai pembunuhnya, maka bisnis kafe nya selamat. Bisa juga sebaliknya, Jessica membunuh tapi memberi tawaran menggiurkan untuk polisi, maka arah kasus bisa berubah.

Berhubung kelakuan penegak hukum yang biasanya tidak bisa dipercaya ini, maka persoalan kejelasan terbunuhnya Mirna bisa jadi bertambah rumit. Kemungkinan sianida ada dalam secangkir kopi ini bisa saja merupakan kecelakaan kerja di dalam kafe. Tapi polisi sudah menutup kemungkinan ini, mencoret dari daftar yang harus diselidiki. Tidak jelas apakah ada konflik kepentingan di sini. Padahal makanan kemasukan racun dulu juga pernah terjadi di Indonesia akibat pengangkutan bahan makanan berdekatan dengan racun.

Karena tuduhannya tidak main main dan kena ancaman pasal 340 yang berujung hukuman mati, maka diharapkan penagak hukum juga tidak bermain main dengan perkara ini. Gubakan kejujuran dalam mengungkap perkara, agar tidak salah menghukum orang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun