Mohon tunggu...
Wilson Mario
Wilson Mario Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

melihat dunia di balik kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah IQ Dapat Ditingkatkan?

3 November 2021   21:15 Diperbarui: 3 November 2021   21:35 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: www.deccanherald.com

Tidak sedikit informasi yang beredar mengenai peningkatan IQ melalui berbagai sarana, seperti permainan komputer (game), latihan memori, mendengar musik klasik (khususnya Mozart), dsb. Apakah betul IQ dapat ditingkatkan dengan cara-cara tersebut sampai suatu kali Zell Miller, gubernur Georgia, pada tahun 1998 mengajukan proposal untuk mengeluarkan biaya sekitar 100.000 USD demi membelikan kaset-kaset musik klasik kepada anak-anak yang dilahirkan di Georgia setiap tahun? Begitu juga sangat banyak permainan komputer yang diperuntukkan untuk meningkatkan IQ. Bukankah begitu juga dengan hadirnya kursus-kursus yang mengembangkan berbagai metode untuk meningkatkan IQ? Sebetulnya apakah ada landasan dari klaim yang dibuat mengenai peningkatan IQ? Tentu saja ada, berbagai riset telah dilakukan dan menunjukkan adanya peningkatan pada aspek dari kecerdasan yang diamati, sehingga publikasi dari riset-riset tersebut telah diangkat media dan menjadi sorotan publik. Tetapi meskipun riset-riset yang mendukung itu ada, kita perlu bertanya apakah riset yang dilakukan dapat diandalkan dan valid?

Ada dua kriteria yang biasanya digunakan oleh kalangan ilmuan untuk menilai sebuah riset, yaitu keterandalan (reliability) dan validitas (validity). Jika tes yang dilakukan diulang, apakah masih memberikan hasil yang sama atau tidak? Apakah tes sudah tepat mengukur materi yang diinginkan? Apakah tes sesuai dengan teori? Apakah tes hanya menyoroti aspek tertentu dan mengabaikan aspek-aspek lain dengan korelasi yang kuat? Apakah sampel yang diuji diambil secara acak dan telah dikelompokkan dengan tepat? Berapa jumlah sampelnya? Apakah hasil riset mendapat dukungan dari riset-riset lain dengan tujuan yang sama? Oleh sebab itu, tidak semua penelitian yang bersifat ilmiah dapat diterima. Sebaliknya, jika sebuah penelitian tidak dapat diandalkan dan valid, maka kalangan akademisi akan menolak atau mungkin memperdebatkannya. Tetapi kebanyakan orang awam tidak memahami hal ini sehingga dengan mudah menerima hasil riset dengan alasan ilmiah, apalagi jika media telah mengangkat dan membesar-besarkan hasil riset tanpa mengetahui sebetulnya apa yang sedang diteliti dalam riset tersebut.

Dengan sedikit gambaran mengenai dunia riset, kita akan melihat apakah peningkatan IQ itu benar atau mitos dengan mengangkat dua penelitian. Yang pertama peningkatan IQ dengan mendengar musik Mozart, dan yang kedua dengan permainan komputer. Semua pembahasan dalam tulisan ini mengacu pada tulisan-tulisan Richard Haier, khususnya bukunya yang berjudul The Neuroscience of Intelligence. Haier memberikan perspektif yang baik mengenai apa itu kecerdasan, kemudian mengkritisi dan menolak anggapan bahwa peningkatan IQ melalui cara-cara yang telah disebutkan ialah fakta. Penulis menilai argumentasi yang diberikan Haier logis dan ilmiah, sehingga sependapat kalau peningkatan IQ sebetulnya hanya mitos, dengan catatan sampai saat ini. Karena bagi Haier peningkatan IQ hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan dalam genetika seseorang yang akhirnya juga mempengaruhi pada pembentukkan otak, dst. Jelas, bagi Haier IQ seseorang bersifat turunan atau genetik. Tetapi fakta ini tidak perlu kita terima dengan negatif atau putus asa karena IQ hanya salah satu aspek dari kecerdasan, dan kecerdasan hanya satu aspek yang besar dari kapasitas mental manusia. Bahkan kapasitas mental manusia hanyalah satu aspek dari seluruh aspek yang menjadikan kita sebagai manusia. Untuk dapat memahami lebih baik, kita akan mulai dengan membahas apa itu kecerdasan.

Ada banyak definisi mengenai kecerdasan, tetapi pada umumnya kecerdasan itu dapat dimengerti sebagai kapasitas mental yang meliputi kemampuan untuk bernalar, menyelesaikan masalah, membuat rencana, menangkap pola, memahami hal-hal yang kompleks, berpikir secara abstrak, memahami situasi, dan kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Dengan konsep kecerdasan yang begitu luas, bagaimana mengukur kecerdasan itu? Adakah aspek lain yang lebih spesifik yang menentukan kecerdasan seseorang? Para ilmuan melakukan tes terhadap beberapa aspek dalam mental seseorang, kemudian melihat faktor korelasi antara aspek-aspek tersebut. Ternyata ditemukan aspek-aspek yang diamati memiliki korelasi yang sangat kuat satu sama lain, sehingga hasil yang baik pada salah satu tes berarti akan cenderung memberikan hasil yang sepadan pada tes yang lain. 

Perlu diingat bahwa tes psikometrik selalu bersifat probabilitas, bukan memberikan hasil yang pasti. Selalu ada faktor-faktor lain yang harus diperhitungkan. Begitu juga faktor yang satu akan bergantung pada faktor-faktor yang lain. Korelasi yang kuat menunjukkan keterikatan yang semakin kuat antara faktor-faktor yang ada. Para ilmuan memberikan istilah g-factor sebagai faktor-faktor umum dari kecerdasan yang paling dasar dan dimiliki oleh setiap orang. G-factor meliputi kemampuan bernalar, kemampuan spasial, memori, kecepatan memproses informasi, dan kemampuan bahasa. G-factor inilah yang menjadi penghubung antara tes kemampuan mental individu dengan kecerdasan seseorang. Dari faktor-faktor yang termasuk dalam g-factor, korelasi paling tinggi terdapat pada kemampuan bernalar, sehingga tes pada kemampuan bernalar sangat mewakili kapasitas g-factor seseorang. Dengan kata lain, tes kemampuan bernalar mengandung faktor g yang sangat tinggi. Karena itu tidak heran kalau tes IQ sering dipakai sebagai standar pengukur kecerdasan seseorang.

Tentu g-factor bukan satu-satunya pendekatan yang ada. Beberapa pendekatan yang dikembangkan antara lain: pendekatan Raymond Cattell mengenai fluid intelligence dan crystalized intelligence; pendekatan Peter Salovey mengenai emotional intelligence; pendekatan Howard Gardner mengenai multiple intelligence. Kedua pendekatan terakhir telah mengabaikan sama sekali g-factor dalam konsep kecerdasan yang mereka bangun. Di sini kita dapat melihat bahwa kecerdasan memang mengandung banyak aspek dan bukan hanya soal IQ saja. Namun dikarenakan pembahasan dalam tulisan ini lebih berfokus pada IQ, maka konsep yang lain tidak menjadi perhatian kita saat ini. IQ tidak sama dengan g-factor karena IQ berurusan dengan kecerdasan seseorang dalam menjalani urusan sehari-hari. Namun IQ memiliki kandungan g-factor yang sangat tinggi. Tes IQ dapat dipengaruhi oleh keadaan emosi maupun sosial seseorang, sedangkan g-factor lebih bersifat biologis dan genetik.

Perlu diketahui bahwa tes IQ pada mulanya digunakan untuk mengetahui anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental sehingga diperlukan perhatian dan pendidikan khusus. Selain itu juga untuk mengetahui anak-anak yang memang karena kondisi tertentu membuatnya gagal dalam pembelajaran, dan bukan karena keterbelakangan mental. Itulah alasan Alfred Binet bersama rekannya Theodore Simon menciptakan tes IQ yang pertama di dunia, sebelum nanti dikembangkan hingga menjadi tes IQ yang kita kenal hari ini. Beberapa catatan penting mengenai tes IQ yang perlu diingat adalah tes IQ mengukur seorang individu relatif terhadap individu yang lain. 

Tes IQ maupun tes psikometrik yang lain bukan pengukuran berdasarkan skala rasio, tetapi skala interval. Berat badan, tinggi badan adalah contoh dari pengukuran skala rasio, karena skala pengukuran ini memiliki nilai nol yang riil. Seseorang yang memiliki berat badan 80 kg adalah dua kali lebih berat dari orang yang memiliki berat badan 40 kg. Lain halnya dengan pengukuran skala interval. Nilai IQ 150 tidak berarti orang tersebut lebih pintar 50% dari orang yang memiliki nilai IQ 100. Nilai IQ 150 artinya orang itu ditempatkan pada kelompok 1% dari populasi orang yang dites dalam sebuah kurva distribusi normal. Konsepnya begini, data dikumpulkan kemudian didistribusikan menjadi sebuah kurva distribusi normal. Nilai IQ seseorang menggambarkan seberapa jauh seseorang menyimpang dari rentang normal atau nilai rata-rata sehingga nilai IQ tidak betul-betul mengukur dengan persis kecerdasan seseorang, melainkan sebagai sebuah angka estimasi dari kecerdasan seseorang yang relatif dengan orang lain. 

Dengan pengertian seperti ini, maka jika suatu hari seluruh populasi manusia di bumi mengalami kenaikan IQ yang signifikan, tidaklah mengagetkan jika nilai IQ 140 menjadi nilai IQ normal pada waktu itu. Dengan demikian, untuk membuktikan bahwa IQ dapat ditingkatkan, maka diperlukan penelitian yang menunjukkan adanya peningkatan yang konsisten dan menyeluruh. Bukankah ini akan jauh lebih sulit daripada menemukan sebuah standar pengukuran kecerdasan berdasarkan skala rasio? Menurut Haier, perkembangan dalam penelitian ini telah berkembang dengan pesat dalam ilmu neuroscience sehingga tidak mustahil untuk menemukan gen mana dalam otak bagian mana yang spesifik mengatur kecerdasan manusia (dalam hal ini g-factor yang dimaksudkan).

Sekarang kita akan melihat dua kasus yang dikemukakan oleh Haier dan menunjukkan mengapa hasil riset itu dianggap tidak valid untuk menyimpulkan adanya peningkatan IQ. Pertama, riset yang dilakukan oleh Rauscher dkk pada tahun 1993 yang akhirnya disebut sebagai Mozart Effect. Riset ini menjadi pendahulu dari riset-riset mengenai pengaruh musik klasik khususnya Mozart pada peningkatan kecerdasan. Tiga puluh enam mahasiswa dites kemampuan spasial-nya dengan tiga kondisi: mendengarkan Sonata for Two Pianos in D Major-nya Mozart, mendengarkan musik yang tenang, dan tidak mendengarkan apa-apa. Hasilnya, nilai tes setelah mendengarkan musik Mozart ketika dikonversikan ke kemampuan spasial IQ menunjukkan adanya peningkatan delapan poin pada kemampuan spasial IQ (yang bertahan hanya selama 10-15 menit). 

Permasalahannya, media melebih-lebihkan penelitian itu dengan menyatakan adanya peningkatan delapan poin yang permanen pada IQ, bukan pada faktor spasial dari IQ, apalagi hanya bertahan 10-15 menit. Penelitian tersebut juga menggunakan sampel yang terlalu sedikit tanpa kategori yang jelas, maupun informasi mengenai kemampuan musik atau nilai IQ dari individu-individu yang diuji. Setelah publikasi penelitian ini, banyak penelitian serupa dilakukan dengan hasil yang berlawanan dan memicu banyak perdebatan mengenai kebenaran dari Mozart Effect. Pada tahun 2010, proyek besar yang melibatkan empat puluh penelitian dan tiga ribu peserta yang dilakukan oleh Pietschnig dkk telah menjadi akhir dari perdebatan ini. Hasil proyek itu menyimpulkan bahwa terlalu sedikit hingga tidak signifikan pengaruh dari musik Mozart terhadap kemampuan spasial seseorang. Tidak salah jika mereka memberi judul pada jurnal mereka sebagai “Mozart effect – Schmozart effect (peduli amat dengan Mozart).”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun