Manusia dalam berbagai perputaran kehidupannya telah melahirkan begitu banyak tradisi, termasuk salah satu tradisi manusia yang sedari dulu masih bertahan hingga saat ini adalah agama. Dan satu hal yang menyedihkan adalah bahwa agama di masa ini telah menjadi sebuah tradisi ‘purba’ dalam memahami kehidupan
Menjadi ‘purba’ dalam pengertian saya adalah karena agama sejak dulu kala merupakan sebuah kepercayaan yang ‘buta’. Dengan memanfaatkan ketidakmampuan agama untuk menjelaskan berbagai fenomena yang bekerja di alam semesta ini, manusia menjadikan Tuhan sebagai sebuah alat penjelasan sementara. Contoh paling umum yang bisa kita temukan dalam agama, adalah bahwa semua yang ada di alam semesta ini merupakan ‘kehendak Tuhan’. Ia menjadi sasaran tanggung jawab bagi semua ketidaktahuan manusia. Manusia tidak memahami petir, maka dikatakanlah itu amarah Tuhan.  Manusia tidak memahami tsunami, maka dikatakanlah itu cobaan Tuhan. Tuhan telah menjelma jadi pengisi kekosongan manusia. Bagi saya ini adalah hal yang paling tidak bertanggungjawab, dimana kita selalu mengkambinghitamkan Tuhan atas kebodohan kita sendiri.
Inilah yang menjadi cerminan dari negara ini. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, masih saja sibuk menampilkan ‘kekosongan’. Kita selalu sibuk memperdebatkan sesuatu yang tidak bisa diuji. Semua yang kita perdebatkan hanya berkutat pada titik buta kita masing-masing dengan menjadikan agama sebagai alasan. Inilah mimpi kolektif bangsa ini. Menjadi negara besar diatas mimpi-mimpi, diatas ilusi yang didesain secara tidak sadar oleh kita sendiri.
Lalu apa solusinya? Haruskah bangsa Indonesia meninggalkan tradisi agamanya dan berpaling menyerahkan diri kepada kekuatan ilmu pengetahuan, seperti halnya Amerika Serikat, agar bisa menjadi negara yang besar? Saya pribadi percaya bahwa setiap bangsa punya kesempatan yang sama untuk menjadi bangsa yang berkualitas, dan syarat untuk menjadi bangsa yang berkualitas adalah dengan mendidik generasi mudanya agar bisa berpikir terbuka, dan berimajinasi setinggi mungkin.
Terlepas dari kontribusi besar sains bagi kemajuan umat manusia, sesungguhnya terdapat banyak hal yang belum bisa dipecahkan oleh ilmu pengetahuan. Di celah inilah agama bisa masuk. Bisakah sains menjelaskan kehidupan sesudah kematian? Bisakah sains menjelaskan tentang ini dan tentang itu? Satu hal yang pasti, celah ini semakin lama semakin sempit.
Dua millenium lalu sains tidak mampu menjelaskan kenapa seseorang bisa jatuh sakit, dan pada saat itu agama menawarkan penjelasannya. Bahwa seseorang sakit karena dosa, karena cobaan Tuhan, dan sebagainya. Namun saat ini sains tidak hanya mampu memberi jawaban, tapi juga mampu memberi jalan keluar. Berbagai jenis obat mencegah kita terkena infeksi kuman dan penyakit, juga membantu kita berumur lebih panjang. Seorang fisikawan terkenal Stephen Hawking bahkan pernah berkata, bahwa sains sudah begitu maju sehingga Tuhan tidak muat lagi untuk diselipkan dalam bolongan-bolongan kotak fenomena alam.
Demikianlah, agama seperti orang yang tidak punya harapan lagi, hanya bisa mengambil remah-remah sisa dari sains yang semakin gemuk. Sains telah mengalahkan sebagian besar pertanyaan yang dulunya dicoba dijawab oleh agama lewat dongeng dan fiksi. Hawking berpendapat kalau sains akan menang terhadap agama karena sains berhasil menyelamatkan hidup kita. Tetapi saya berpendapat lain. Saya berani berkata bahwa iman juga sama halnya, mampu menyelamatkan hidup manusia.
Surat kabar The New York Times pernah mencoba melakukan survey dan hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara paling banyak memiliki orang beriman, dan disisi lain, merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk miskin yang terbesar. Demikian pula dengan negara-negara religius lainnya, seperti Thailand dan India – keduanya memiliki pendapatan per-kapita yang tergolong rendah. Hal ini memunculkan pendapat yang mengatakan bahwa negara yang beragama adalah negara paling miskin di dunia. Yang jadi pertanyaan besar disini adalah, apakah agama yang membuat mereka miskin, ataukah kemiskinan yang membuat mereka beragama?
Jawabannya mungkin bisa kita temukan melalui sebuah perspektif sederhana. Di negara yang kaya, saat sakit seseorang tinggal berobat ke dokter dan sains akan menyembuhkannya dengan mudah. Ia merasa tidak perlu berdoa karena yakin sains pasti berhasil menyelamatkannya. Namun berbeda dengan itu, bagi orang-orang miskin yang beragama dan beriman, mereka merasa mendapat sebuah perlindungan. Saat sakit mereka akan berdoa dan kemudian merasa nyaman. Saya melihat ini sebagai sebuah gejala psikologis, terlepas dari kepercayaan yang dianut.
Mungkin inilah manfaat agama di masa ini. Menjadi pengisi celah psikologis, bukan lagi pengisi celah sains. Berevolusi menuju sebuah keberadaan yang sulit dijamah oleh ilmu pengetahuan, menjadi penyembuh manusia-manusia yang tidak bisa dijangkau oleh sains. Menjadi tempat bernaung terakhir, bagi setiap manusia yang membutuhkan jawaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H