Mohon tunggu...
Willy wijaya
Willy wijaya Mohon Tunggu... -

Tidak ada yang spesial dalam diri ini. Yang ada hanyalah keinginan menggali ilmu dan membuka wawasan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ekologi Buddhis

7 Maret 2011   02:22 Diperbarui: 4 September 2015   20:20 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu permasalahan besar dalam kehidupan manusia di planet ini adalah masalah lingkungan. Semenjak dimulainya era teknologi modern[1], perubahan peradaban manusia di bumi semakin terasa. Hingga memasuki abad ke-21 ini, perubahan tersebut semakin mengarah ke perubahan lingkungan yang semakin rusak. Kehancuran hutan tropis, erosi tanah, polusi tanah, air, dan udara, hilangnya sumber air segar, melebarnya gurun pasir, pemusnahan spesies-spesies, pemanasan global, serta penipisan lapisan ozon stratosfer adalah perubahan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan dan mengancam perabadan manusia.

Manusia berlomba-lomba mencari kepuasan materi dan terus mengekploitasi alam sesukanya. Manusia telah dibutakan oleh keserakahan dan tidak menyadari bahwa mereka bisa hidup karena dukungan alam. Kebutuhan hidup manusia, terutama pangan berasal dari alam. Manusia juga membutuhkan oksigen untuk bernapas sebagai syarat mutlak penunjang hidup. Oleh karena itu, hendaknya manusia mengerti bahwa mereka sangat bergantung pada alam untuk hidup. Ketika alam hancur, manusia juga pasti akan hancur. Mengapa sampai saat ini manusia masih belum sadar dan segera bertindak?

Tulisan berikut akan memaparkan tentang alam beserta interaksinya terhadap manusia yang saling mempengaruhi ditinjau dari perspektif ajaran Buddha. Diharapkan setelah membaca tulisan berikut, timbul pemahaman dan kesadaran akan setiap tindakan kita dan dampaknya terhadap lingkungan.

Pengertian Ekologi

Ekologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu oikos yang artinya rumah atau tempat hidup, dan logos yang berarti ilmu. Secara harafiah ekologi adalah pengkajian organisme-organisme “di rumah”. Istilah ekologi ditemukan pada tahun 1866 oleh seorang ahli biologi Jerman Ernst Haeckel, yang didefinisikannya sebagai ilmu mengenai hubungan-hubungan di antara organisme dan dunia sekitarnya[2]. Ekologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). Jadi ekologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya.


 


Definisi Ekologi Buddhis

Penulis tidak menemukan definisi dari istilah ekologi buddhis sehingga dalam tulisan ini, penulis mendefinisikan pengertian ekologi buddhis. Ekologi buddhis adalah interaksi manusia terhadap lingkungan yang saling mempengaruhi dengan tinjauan perspektif buddhis. Jadi dalam tulisan ini, penulis akan meninjau ekologi atas dasar pandangan ajaran Buddha.

Pandangan ajaran Buddha terhadap alam (alam semesta)

Menurut sang Buddha, bahwa sifat segala sesuatu adalah terus berubah (anicca)[3]. Begitu pula dengan sifat alam. Alam bersifat dinamis dan kinetik, selalu berproses dengan seimbang. Unsur-unsur alam yang tampak dalam pandangan Buddha ada empat, yakni unsur padat (pathavi), cair (apo), panas (tejo), gerak (vayo).

Hukum yang berlaku pada alam(alam semesta) dapat dikategorikan dalam lima aturan yang disebut panca niyamadhamma[4], yaitu utuniyama (hukum fisika), bijaniyama (hukum biologi), cittaniyama (hukum psikologis), kammaniyama (hukum moral), dhammaniyama (hukum kausalitas).

Pandangan ajaran Buddha terhadap makhluk hidup (manusia dan hewan)

Makhluk hidup dalam ajaran Buddha, terdiri dari manusia dan hewan. Tumbuhan tidak termasuk. Makhluk hidup(manusia dan hewan) tersusun atas lima kelompok kehidupan yang disebut lima khandha, yang terdiri dari rupa (wujud yang tampak/badan jasmani), vedana (perasaan), sanna (pencerapan,mengingat), sankhara (keadaan-keadaan pikiran), vinnana (kesadaran)[5]. Lima khandha ini secara ringkas disebut jasmani dan batin (rupa dan nama).

Sang Buddha menyadari bahwa segala sesuatu yang berkondisi[6] bersifat tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicatta),  tidak memuaskan atau menderita (dukkhata), dan bersifat tidak mempunyai inti yang kekal (anattata)[7]. Jadi makhluk hidup—manusia dan hewan— sebagai sesuatu yang berkondisi mempunyai sifat anicca, dukkha, dan anatta.

Kesalingterkaitan makhluk hidup dan lingkungan (alam)

Sebagai awal untuk memahami kesalingterkaitan makhluk hidup dengan alam, akan dijelaskan interaksi antara manusia dengan hewan, hewan dengan alam, dan manusia dengan alam. Setelah itu akan dibahas kesalingterkaitan keseluruhan, sehingga akan menjadi jelas interaksi manusia-hewan-alam.

Sejak awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal peradaban maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api. Namun sudah sejak lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal api, manusia telah berburu—sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban selanjutnya, manusia memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan hidup.

Interaksi manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah memanfaatkan alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok tanam setelah nenek moyang manusia hidup menetap. Selain itu manusia membutuhkan makanan, air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah bagian dari lingkungan tempat manusia hidup.

Hewan dan alam juga saling berinteraksi. Banyak hewan yang hidup dengan sumber makanan dari alam(tumbuhan), dan banyak tumbuhan yang memerlukan bantuan hewan untuk berkembang, seperti contoh serangga membantu penyerbukan bunga, kotoran atau bangkai hewan yang mati menyuburkan tanah, dan sebagainya.

Terlihat dengan jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan hewan untuk hidup. Sampai pada akhirnya—saat ini— interaksi tersebut malah merusak hewan dan alam. Banyak spesies hewan yang telah punah,  pencemaran air, udara, dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia hidup di alam dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena ketamakan manusia alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak terlepas dari jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana hanya demi kepuasan materi. Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap hewan. Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka dirusak oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun tidak segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran lingkungan akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit, polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri, membuat udara menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya terjadi pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan manusia sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan hidup akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia.

Dari uraian di atas jelas bahwa manusia, hewan dan alam(lingkungan) saling mempengaruhi. Ketika salah satu bagian dari suatu sistem rusak, dampaknya akan dirasakan oleh seluruh sistem tersebut, seperti rusaknya lingkungan akan mengakibatkan kehancuran manusia pada akhirnya.

Kesalingterkaitan manusia-hewan-alam menurut ajaran Buddha

Setelah mengetahui sifat dan unsur dari alam ataupun makhluk hidup menurut kacamata Buddhis, sekarang akan ditinjau interaksi beserta hubungannya yang saling timbal-balik. Telah dijelaskan bahwa alam maupun makhluk hidup memiliki sifat selalu berubah atau berproses. Susunan wujud (rupa) manusia juga sama dengan alam menurut ajaran Buddha, yakni tersusun atas unsur padat, cair, panas dan gerak. Satu hal yang membedakan makhluk hidup(manusia dan hewan) dengan alam adalah manusia dan hewan tersusun selain oleh wujud (rupa) juga oleh batin (nama), sedangkan alam terbentuk hanya dari rupa.

Ajaran Buddha memandang bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta adalah saling mempengaruhi dan berinteraksi. Semua yang terjadi berdasar hukum sebab-akibat yang saling mempengaruhi. Dalam ajaran Buddha hubungan sebab-akibat yang saling berinteraksi dan mempengaruhi ini disebut Paticcasamuppada. Setiap sebab yang terjadi, baik itu dilakukan oleh manusia, hewan atau hukum geologi akan mengakibatkan akibat  yang dampaknya akan dirasakan kembali oleh manusia, hewan, atau alam.

Sang Buddha menyadari hal tersebut, sehingga beliau mengajarkan kepada umat manusia untuk menghargai hewan maupun tumbuhan. Dalam Pancasila buddhis aturan pertama sang Buddha mengajarkan manusia untuk menghindari melukai/menyakiti makhluk hidup. Sang buddha mengajarkan demikian dikarenakan beliau tahu perlunya manusia menghargai hewan demi menjaga keseimbangan ekosistem. Beliau juga mengajarkan manusia untuk menghargai tumbuh-tumbuhan[8]. Jadi ajaran Buddha memandang bahwa manusia, hewan, dan alam saling mempengaruhi dan berinteraksi.

Wujud kepedulian terhadap alam dalam ajaran Buddha

Walaupun hampir keseluruhan ajaran Buddha menyoroti masalah terpenting manusia—tentang bagaimana terbebas dari penderitaan—yang dapat ditemukan pada teks-teks Pali[9], sang Buddha secara tersirat menyampaikan wujud kepedulian terhadap lingkungan hidup manusia(alam). Telah disebutkan di atas bahwasanya sang Buddha melihat segala fenomena kehidupan mengandung ciri terus berubah dengan proses sebab-akibat yang saling mempengaruhi, dan beliau juga mengajarkan manusia untuk menghargai hewan dan alam, maka dapat dikatakan bahwa sang Buddha menyadari ketika seseorang menjadi tidak menghargai hewan atau alam, akibatnya juga akan merugikan dirinya sendiri.

Sang Buddha memahami bahwa penghargaan terhadap hewan dan lingkungan adalah penting. Beliau mengajarkan metta[10], sebagai wujud aktif dalam menghargai hewan dan karuna[11], sebagai wujud nyata kepedulian terhadap hewan. Sang buddha selain melarang para Bhikkhu merusak tanaman dengan memetik, juga melarang mengotori lingkungan[12]. Itu artinya bahwa sang Buddha sangat memperhatikan lingkungan hidup dan alam karena beliau tahu bahwa manusia hidup memerlukan alam.

Mungkin permasalahan lingkungan pada zaman sang Buddha belum begitu mengkhawatirkan sehingga sedikit yang disinggung oleh sang Buddha. Namun, dari ajaran-ajaran beliau secara tersirat beliau mengajarkan manusia untuk menghargai lingkungan karena tanpa adanya lingkungan yang baik, seseorang tidak dapat mencapai kesucian batin. Sang Buddha mengajarkan manusia melihat ke dalam diri sendiri melalui meditasi, dan karena diri sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari alam semesta, maka ketika seseorang dengan pandangan terang melihat dirinya, ia juga telah melihat keseluruhan alam semesta  yang saling berinteraksi dan mempengaruhi.

Tulisan singkat yang penulis paparkan adalah telaah awal terhadap ekologi dari sudut pandang ajaran Buddha. Diharapkan tulisan berikut sebagai pemacu perkembangan buddhisme di Indonesia dalam menyoroti berbagai disiplin ilmu lainnya, seperti sosiologi buddhis, antropologi buddhis, ekonomi buddhis, dan sebagainya.

Harapan penulis adalah setelah pembaca memahami tulisan ini, timbul kesadaran dalam menghargai lingkungan dan berusaha menyadari setiap tindakannya saat ini, sehingga setiap tindakan yang dilakukan tidak merusak lingkungan hidup manusia. Tulisan ini hanya akan menjadi sebuah tulisan kosong yang tidak berarti jikalau pembaca hanya sekedar paham tanpa disertai tindakan nyata.

Daftar Pustaka

Capra, Fritjof, Jaring-jaring Kehidupan(Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan), Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.

Odum, Eugene P., Dasar-dasar Ekologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.

Silva, Lily de, “The Buddhist Attitude Towards Nature”, http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/desilva/attitude.html

Vajrananavarorasa, H. R. H. The Late Patriarch Prince, Dhamma Vibhaga, Yogyakarta: Vidyasena Vihara Vidyaloka, 2002.

[1] Dalam hal ini adalah sejak dimulainya era fisika baru(fisika modern dan fisika kuantum).

[2] Lihat buku Jaring-jaring Kehidupan, Fritjof Capra (2001), Fajar Pustaka Baru, h. 53.

[3] Lihat Anguttara Nikaya IV , 100 dan Samyutta Nikaya IV, 52.

[4] Lihat Atthasalini, 854.

[5] Lihat Vibhanga 1 & 1

[6] Lihat Anguttara Nikaya III , 443.

[7] Lihat Samyutta Nikaya

[8] Vinaya Pitaka IV , 34.

[9] Tipitaka pali beserta komentarnya

[10] Maitri dalam bahasa sansekerta yang artinya cinta-kasih

[11] Karuna artinya welas asih, belas asih, kasih sayang(wujud cinta kepada yang menderita)

[12] Vinaya Pitaka IV , 205-206

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun