Mohon tunggu...
Willy Johan
Willy Johan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Wartawan yang hobi membaca dan memasak. Berdagang di waktu senggang via online.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apa Yang Salah?

13 Oktober 2014   06:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:15 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia pendidikan di Indonesia seolah tak pernah sepi dari kasus-kasus yang tidak enak didengar. Mulai dari video mesum pelajar, tawuran, penggunaan obat-obatan terlarang, dan kini, beredar video yang mempertontonkan kekerasan antar sesama pelajar atau biasa dikenal dengan bullying. Mirisnya, video yang diunggah ke jejaring youtube ini “diperankan” oleh adik-adik yang masih berseragam putih merah alias SD. Dalam video berdurasi 2 menit ini terlihat beberapa anak SD memukuli dan menendang seorang siswi SD yang terpojok. Siswi tersebut hanya bisa menangis menerima pukulan dan tendangan dari rekan-rekan sebayanya.

Video ini membuat kita kembali bertanya, apa yang salah?

Sudah bukan rahasia bahwa anak-anak adalah imitator paling cepat dan hebat. Mereka melihat, mendengar, dan merasakan kemudian mereplika itu semua dalam tindakan mereka. Perlihatkan seorang anak kekerasan, mereka akan ikut melakukan kekerasan. Albert Bandura, seorang psikolog dari Stanford University dalam teori belajar sosialnya menemukan bahwa teladan adalah sumber utama seseorang mempelajari perilaku baru.

Seorang anak sejak lahir tentu terus berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan. Meniru orang sekitarnya berbicara, berjalan, atau menggunakan alat makan. Bahkan, hingga dewasapun tetap meniru mereka yang lebih senior atau berpengalaman dalam bidang tertentu. Orang terus mencari model untuk ditiru dalam kehidupannya.

Kembali ke kasus video tersebut, Saya rasa tidak adil jika kemudian kita menyalahkan (lagi) sistem pendidikan formal (sekolah, madrasah, dsb). Beberapa kasus yang terus menerus mewarnai seharusnya menyadarkan kita semua bahwa kita tidak bisa bergantung pada sistem pendidikan formal dalam membangun karakter dan budi pekerti seorang anak.

Saat ini, seorang anak dapat dengan mudah mengakses informasi dari berbagai sumber misalnya TV, majalah, internet, atau lingkungan sekitar. Bayangkan jika seorang anak melihat tayangan kekerasan tanpa dimonitor oleh orang tuanya. Kita tentu masih ingat kasus tayangan smackdown yang mendorong kekerasan anak di bawah umur.

Gang di Seberang Mal

Perjalanan menuju kampus melewati sebuah gang di seberang pusat perbelanjaan (mal). Gang ini dihuni oleh masyarakat menengah ke bawah yang kehidupannya cukup membuat saya terhenyu. Satu hal yang membuat saya tidak suka melewati gang ini karena anak-anak usia belia (5-10 tahun) dibiarkan begitu saja melalang buana di jalan yang cukup ramai dilewati pemotor dan sesekali mobil.

Ketidakpedulian ini yang membuat saya mengelus dada. Bagaimana mungkin orang tua anak – anak tersebut menyempatkan waktu berkomunikasi kalau hanya memperhatikan mereka bermain saja tidak mampu (atau mau)?

Tulisan ini bukan untuk menghakimi. Tetapi, hanya permintaan bagi semua orang tua yang memiliki anak yang masih belia untuk memberi perhatian. Komunikasi dan tanamkan nilai untuk menjadi seorang manusia yang memanusiakan orang lain kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun