Dunia pendidikan di Indonesia seolah tak pernah sepi dari kasus-kasus yang tidak enak didengar. Mulai dari video mesum pelajar, tawuran, penggunaan obat-obatan terlarang, dan kini, beredar video yang mempertontonkan kekerasan antar sesama pelajar atau biasa dikenal dengan bullying. Mirisnya, video yang diunggah ke jejaring youtube ini “diperankan” oleh adik-adik yang masih berseragam putih merah alias SD. Dalam video berdurasi 2 menit ini terlihat beberapa anak SD memukuli dan menendang seorang siswi SD yang terpojok. Siswi tersebut hanya bisa menangis menerima pukulan dan tendangan dari rekan-rekan sebayanya.
Video ini membuat kita kembali bertanya, apa yang salah?
Sudah bukan rahasia bahwa anak-anak adalah imitator paling cepat dan hebat. Mereka melihat, mendengar, dan merasakan kemudian mereplika itu semua dalam tindakan mereka. Perlihatkan seorang anak kekerasan, mereka akan ikut melakukan kekerasan. Albert Bandura, seorang psikolog dari Stanford University dalam teori belajar sosialnya menemukan bahwa teladan adalah sumber utama seseorang mempelajari perilaku baru.
Seorang anak sejak lahir tentu terus berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan. Meniru orang sekitarnya berbicara, berjalan, atau menggunakan alat makan. Bahkan, hingga dewasapun tetap meniru mereka yang lebih senior atau berpengalaman dalam bidang tertentu. Orang terus mencari model untuk ditiru dalam kehidupannya.
Kembali ke kasus video tersebut, Saya rasa tidak adil jika kemudian kita menyalahkan (lagi) sistem pendidikan formal (sekolah, madrasah, dsb). Beberapa kasus yang terus menerus mewarnai seharusnya menyadarkan kita semua bahwa kita tidak bisa bergantung pada sistem pendidikan formal dalam membangun karakter dan budi pekerti seorang anak.
Saat ini, seorang anak dapat dengan mudah mengakses informasi dari berbagai sumber misalnya TV, majalah, internet, atau lingkungan sekitar. Bayangkan jika seorang anak melihat tayangan kekerasan tanpa dimonitor oleh orang tuanya. Kita tentu masih ingat kasus tayangan smackdown yang mendorong kekerasan anak di bawah umur.
Gang di Seberang Mal
Perjalanan menuju kampus melewati sebuah gang di seberang pusat perbelanjaan (mal). Gang ini dihuni oleh masyarakat menengah ke bawah yang kehidupannya cukup membuat saya terhenyu. Satu hal yang membuat saya tidak suka melewati gang ini karena anak-anak usia belia (5-10 tahun) dibiarkan begitu saja melalang buana di jalan yang cukup ramai dilewati pemotor dan sesekali mobil.
Ketidakpedulian ini yang membuat saya mengelus dada. Bagaimana mungkin orang tua anak – anak tersebut menyempatkan waktu berkomunikasi kalau hanya memperhatikan mereka bermain saja tidak mampu (atau mau)?
Tulisan ini bukan untuk menghakimi. Tetapi, hanya permintaan bagi semua orang tua yang memiliki anak yang masih belia untuk memberi perhatian. Komunikasi dan tanamkan nilai untuk menjadi seorang manusia yang memanusiakan orang lain kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H