Mohon tunggu...
Willy Sitompul
Willy Sitompul Mohon Tunggu... Administrasi - Pekerja sosial

Hanya pekerja sosial biasa, senang menulis dan membaca. Lihat juga tulisan saya di: www.willysitompul.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pagi Ini Tukang Bubur Tidak Datang

6 Desember 2018   08:12 Diperbarui: 6 Desember 2018   21:18 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesal! Itu ekspresi pertama yang kulontarkan saat berjalan cepat-cepat ke arah pasar Jombang untuk menemukan pilihan sarapan pagiku namun tak menemukan apa yang kucari. 

Tukang bubur tak datang pagi itu! 

Padahal dari mulai berangkat pagi-pagi buta hingga terkantuk-kantuk di dalam kereta sudah terbayang akan mencicipi sarapan yang lembut dan ramah di perut. Tak hanya itu, ramah di kantong juga.

Tapi tukang bubur tidak datang pagi itu. Seorang ibu bertanya pada anaknya... eh bukan, harusnya seorang anak bertanya pada bapaknya, macam lagu Bimbo saja. Tapi betul, seorang ibu bertanya (bukan pada anaknya) tapi pada tukang mie ayam.,"ke mana tukang bubur? Kok tidak datang pagi ini?" Entahlah, kata tukang mie ayam. Mungkin sebentar lagi dia datang, lanjutnya.

"Oke, kalau begitu mie ayam satu...," hanya itu respon sang ibu menanggapi jawaban si tukang mie ayam. Akupun mengambil tempat duduk. Kursi plastik ukuran 20 x 20 yang sudah rusak sehingga harus ditumpuk dua susun itupun dengan sigap menyangga berat badanku yang kutimbang selalu itu.

Tak butuh waktu lama aku menghabiskan semangkuk mie ayam itu. Keringatpun mengalir deras. Bercampur serpihan kertas tissue milik sang abang penjual mie yang kupakai berkali-kali untuk menghilangkan titik-titik keringat itu. Kesal! Mie ayam memang tak cocok di pagi hari. Membuat parfum tak berfungsi dan badan lembab oleh keringat yang dipaksa mengering. Sembab!

Jalanan depan pasar Jombang masih padat merayap. Akupun tak sabar menunggu abang ojek online yang sudah kupesan semenjak sendok kuah mie yang terakhir. Enak sebenarnya kuah itu. Membuatku bergabung sementara dengan grup generasi micin. Micin memang perlu, tapi tidak di pagi hari. Tidak bisa berpikir rasanya otakku ini.

Pakai baju apa? What? Sudah lama aku menunggu dan itu kah pertanyaan yang datang dari si abang? Hah... kesalku semakin bertambah, Sudah terbayang si abang ojek bakal dapat bintang berapa. Satu? Ah, kasihan. Dua saja, pikirku.

Abang ojekpun datang. Tak bisa kuprotes karena kulihat helmnya masih baru. Satu hal yang jarang kutemukan. Biasanya entah kaca helmnya yang sudah kabur atau helmnya yang bau akibat berbagai aroma minyak rambut dan hair spray bergabung jadi satu. Itulah helm ojol... Indonesia tanah airku... (eh... kok malah nyanyi).

Abang ojol ini tampaknya tak sigap. Dia berjalan pelan sekali. Setidaknya itu menurutku. Atau ini hanya dampak kekesalanku akibat tukang bubur tak datang? 

Harus kuakui motornya memang nyaman. Besar body motornya. Kecil body abangnya. Besar body penumpangnya. Body siapa itu? Eh, itu Budi bukan body. Dan di sebelahnya tampak ibu Budi. Sudahlah, belum tentu namanya Budi. Eh, benar namanya Budi. Tertulis di tas ranselnya.

Sampai di mana tadi? Oh iya sampai di abang ojek yang mengemudi pelan-pelan. Rupanya jalan macet di depan. Rasa kesal semakin mendera. Tak rela pagi ini dikacaukan oleh rasa kesal ini. Harus ada yang baik. Harus ada yang bagus, pikirku. Supaya hari ini tak selanjutnya kesal. Kesal hingga di kantor. Kesal hingga di rumah dan seterusnya. Kalau kesal terus takutnya kerjaan nggak selesai, terus dimarahi bos dan bisa berdampak kinerja akhir tahun nggak maksimal. Ah sudahlah, mudah-mudahan kesal ini tak berlanjut.

Pelan tapi pasti ojekku mendekat ke sumber kemacetan. Rupanya ada satu buah gerobak biru muda yang menghalangi jalan. Gerobak itu tampak masih berdiri, tapi sepertinya ada yang salah. Posisinya miring. Rupanya rodanya ada yang terlepas. Eh, bukan terlepas ternyata tapi seperti patah. Gerobak itupun mungkin sebelumnya jatuh dan dicoba diberdirikan oleh orang-orang. 

Aku coba membaca tulisan di kaca gerobak yang retak itu. Ru... rub... May... apa itu? Hei, itu kan si tukang bubur. Ya ampun, rupanya itulah sebabnya dia tidak datang. Mungkin dia berjalan buru-buru. Mau menyeberang dan ternyata roda gerobaknya kaku. Dia paksa dan akhirnya terjatuh. Oh... kasihan... Aduh kasihan...

Aku tak sempat berbuat apa-apa. Bang ojol melaju. Ingin cepat sampai di tujuan. Rasa kesalku mendadak sirna. Diganti perasaan bersyukur. Siapa saja bisa tertimpa musibah. Termasuk tukang bubur pagi ini.

Ketika turun, tak lupa kuucapkan terimakasih pada bang ojol. Kubuka hapeku. Kuberi dia bintang lima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun