Sampai di mana tadi? Oh iya sampai di abang ojek yang mengemudi pelan-pelan. Rupanya jalan macet di depan. Rasa kesal semakin mendera. Tak rela pagi ini dikacaukan oleh rasa kesal ini. Harus ada yang baik. Harus ada yang bagus, pikirku. Supaya hari ini tak selanjutnya kesal. Kesal hingga di kantor. Kesal hingga di rumah dan seterusnya. Kalau kesal terus takutnya kerjaan nggak selesai, terus dimarahi bos dan bisa berdampak kinerja akhir tahun nggak maksimal. Ah sudahlah, mudah-mudahan kesal ini tak berlanjut.
Pelan tapi pasti ojekku mendekat ke sumber kemacetan. Rupanya ada satu buah gerobak biru muda yang menghalangi jalan. Gerobak itu tampak masih berdiri, tapi sepertinya ada yang salah. Posisinya miring. Rupanya rodanya ada yang terlepas. Eh, bukan terlepas ternyata tapi seperti patah. Gerobak itupun mungkin sebelumnya jatuh dan dicoba diberdirikan oleh orang-orang.Â
Aku coba membaca tulisan di kaca gerobak yang retak itu. Ru... rub... May... apa itu? Hei, itu kan si tukang bubur. Ya ampun, rupanya itulah sebabnya dia tidak datang. Mungkin dia berjalan buru-buru. Mau menyeberang dan ternyata roda gerobaknya kaku. Dia paksa dan akhirnya terjatuh. Oh... kasihan... Aduh kasihan...
Aku tak sempat berbuat apa-apa. Bang ojol melaju. Ingin cepat sampai di tujuan. Rasa kesalku mendadak sirna. Diganti perasaan bersyukur. Siapa saja bisa tertimpa musibah. Termasuk tukang bubur pagi ini.
Ketika turun, tak lupa kuucapkan terimakasih pada bang ojol. Kubuka hapeku. Kuberi dia bintang lima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H