Mohon tunggu...
Wilya Adisa
Wilya Adisa Mohon Tunggu... Wiraswasta - XBanker, K-Drama Lover, Novel Reader, a Mommy and a Wifey

a Mommy and a Wifey yang sibuk. Meskipun 24 jamnya full dengan kegiatan, tapi entah kenapa jadi banyak overthinking tentang hidup. Sehingga daripada dipendam sendiri mending ditulis di kompasiana.com. Siapa tahu, dari hasil ovt dalam pikirannya bisa jadi inspirasi bagi para pembaca. So, jangan sungkan bertukar ide dan sharing pendapat ya! Biar tambah ovt dan tambah banyak yang ingin ditulis. :D

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Happy Mother's Day, Perlukah Dirayakan?

16 Mei 2023   21:15 Diperbarui: 7 Juni 2023   19:41 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: alamy.com

Bulan ini adalah bulan International Mother's Day. Banyak tulisan dan ucapan selamat di setiap sosial media untuk para ibu. 

Menjadi ibu adalah suatu jabatan yang luar biasa. Sejak dinyatakan positif mengandung, lalu ada janin yang berkembang di rahim hingga sembilan bulan lamanya. Itu sudah menjadi langkah pertama yang amazing. 

Semua ibu pasti merasakan hal yang sama seperti tidak bisa tidur nyaman, nyeri, pusing, mual muntah bahkan sampai ada yang diinfus karena tidak ada asupan makanan yang masuk dengan sempurna. 

Di bulan-bulan terakhir saat bayi akan lahir ke dunia, panggul ibu harus mampu menyangga bayi--dengan segala yang menemaninya--selama 24 jam penuh. Sehingga untuk tidur dengan nyaman perlu tempat tidur yang longgar dengan banyak bantal yang membantu menopang perut ibu. 

Lalu ketika si bayi sudah lahir. Ada yang melalui proses vaginal birth atau seksio sesarea. Dua-duanya sama-sama memiliki resiko yang sama yaitu kematian. Jadi tak perlu berdebat mana yang lebih mudah dan nyaman. Karena semuanya tergantung dari kondisi si bayi, mau keluar dengan cara apa.

Saya sendiri merasakan keduanya. Karena kakak memang posisinya normal sementara adik sungsang. Jadi jangan harap meminta saya memilih kubu yang mana. Karena menurut saya sama saja, sama-sama sakit dan mendebarkan. :D

Hanya saja percayalah! Ketika bayi terlahir dengan sehat dan menggemaskan, semua rasa tidak nyaman saat mengandung sampai melahirkan. Terbayar lunas. 

Tak lama setelah melahirkan, muncul lagi hal baru, yaitu memberi ASI. Bagaimana sakitnya pertama kali bayi menyusu pada puting ibu--bahkan ada ibu yang mengalami mastitis karena terjadi luka dari gigitan bayi.

Lalu ketika mereka minum dengan lahap--ditambah kurang tidur karena beberapa jam sekali bayi di dekatnya menangis untuk pup atau minta minum--ada rasa nyeri yang terasa di bekas jahitan. 

Perjalanan belum berhenti di situ. Ketika cuti bekerja telah usai, bagaimana harus menyediakan ASI yang cukup selama ditinggal bekerja, memompa ASI saat bekerja yang menimbulkan rasa iri pada rekan kerja karena seringnya istirahat untuk memompa, belum lagi drama ART. 

Hingga si bayi sudah mulai mengenal makanan, mereka melakukan GTM. Sehingga, waktu posyandu ternyata BB turun. Pasti saat-saat seperti itu banyak ibu yang berubah jadi "Reog" :D 

Lalu, ketika sudah mulai sekolah, remaja, bekerja dan menikah. Saat mereka sakit dan sedih rasanya ingin sekali mengembalikannya menjadi bayi lagi dan kembali disimpan di rahim supaya lebih aman dari hingar bingar kehidupan. Tapi apakah itu mungkin? :'( 

Semua hal ini tentu juga berlaku untuk ibu yang menggunakan surrogate mother atau ibu yang memilih tidak memberikan ASI-nya dan diganti dengan susu formula. 

Semua ibu pasti memiliki alasan besar kenapa memutuskan begitu dengan segala resikonya. 

Jadi ibu memang berat. Apalagi ibu single parent. 

Mereka tidak hanya menjalankan fungsi sebagai wanita (mengandung dan menyusui) tapi juga menafkahi. Di mana kita semua sepakat bahwa menafkahi adalah kewajiban dari suami/ayahnya anak-anak. Meski begitu, ada juga ibu yang meskipun bersuami, anaknya tetap merasa fatherless karena si ayah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Apakah hal seperti itu ada? Banyak!

Tidak ada ibu yang sempurna, karena ibu juga manusia yang tercipta tidak sempurna. Meski kesempurnaan hanya milik sang pemilik kehidupan namun, ibu tetaplah ibu. Dengan segala perisai yang dia punya, pasti ingin yang terbaik untuk anak-anaknya dengan segala keterbatasannya. 

Meski begitu, tak bisa dipungkiri ada juga ibu yang memang tidak mau bertanggungjawab pada anak. Yang tidak menginginkan bayinya lahir, yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli bagaimana anaknya menjalani hidup.                            

Jadi perlukah merayakan Mother's Day? Jika memang hidupmu baik, sehat, bisa mendapat pendidikan yang layak, bisa beribadah dengan baik maka tidak ada salahnya seorang ibu mendapat apresiasi untuk perjuangan yang telah diberikan padamu karena semua hal yang kamu dapat, ada peran besar dari seorang ibu. 

Tapi, jika sosok ibu tidak pernah hadir karena memiliki ibu yang abusive. Tidak kamu rayakan juga tidak apa-apa. Tapi sebagai anak, cobalah untuk memaafkan dan tetap mendoakan yang baik semoga Tuhan menunjukkan jalan yang benar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun