Dan ketika suami kedua ibu ini meninggal, waris yang ditentukan anak pertama suami kedua ibu, yaitu anak pertama perempuan ibu, membaginya menjadi lima bagian dan semuanya sama rata. Padahal ada anak pertama yang bukan anak kandung ayahnya dan ada anak kelima yang bahkan bukan saudara sedarahnya.
Jadi, bolehkah anak kelima dinasabkan pada suami kedua ibu karena ketika mengadopsi anak ini, ibu sudah bersama dengan suaminya yang kedua? Atau perlukah merevisi kartu keluarga kembali? Atau biarkan semua berjalan semestinya, karena menurut si ibu, anak kelima ini meskipun anak adopsi, tidak sedarah tapi lebih berat sayangnya daripada anak pertama yang dititipkannya pada juragan itu. Bahkan berat sayangnya lebih dari anak-anaknya sendiri dari suaminya yang kedua. Karena teringat kasihan saat bayinya anak kelima ini dulu dan menurutnya, yang paling peduli dengannya ketika tua malah anak adopsi ini.
Sebuah cerita hidup yang complicated ya?
So, apakah yang dilakukan si ibu ini benar?
Bagaimana dari kacamata negara mengenai status anak dari pernikahan sebelum, anak kandung dan anak adopsi di dalam kartu keluarga?
Bagaimana dari kacamata agama? Di mana di agama islam, nasab adalah hal krusial yang tidak dapat diubah. Darah tetaplah darah. Bahkan riwayat Rasullullah SAW dengan sahabatnya Zaid bin Tsabit tertuang dalam surat Al Ahzab ayat 4, berikut bunyi ayatnya
مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِى جَوْفِهِۦ ۚ وَمَا جَعَلَ أَزْوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔى تُظَٰهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمْ ۚ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَٰهِكُمْ ۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى ٱلسَّبِيلَ
Arab-Latin: Mā ja’alallāhu lirajulim ming qalbaini fī jaufih, wa mā ja’ala azwājakumul-lā`ī tuẓāhirụna min-hunna ummahātikum, wa mā ja’ala ad’iyā`akum abnā`akum, żālikum qaulukum bi`afwāhikum, wallāhu yaqụlul-ḥaqqa wa huwa yahdis-sabīl
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat mu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Hal ini juga berdasarkan hadits:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ، وَلَمْ يُدْخِلْهَا اللَّهُ جَنَّتَهُ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ احْتَجَبَ اللَّهُ مِنْهُ وَفَضَحَهُ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ فِي الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ