Beberapa bulan terakhir ini saya cukup termenung akan sebuah kisah nyata.Â
Ada seorang ibu memiliki anak kandung dari seorang pria. Anak ini lahir dari pernikahan sah secara agama dan negara. Tapi takdir berkata lain, sebelum anak ini lahir, ibu itu bercerai. Dan suaminya tidak diketahui secara pasti tahu atau tidak tentang anak ini.Â
Seiring berjalannya waktu, ibu ini menjadi ibu tunggal dan bekerja di sebuah rumah tangga yang kaya. Karena ibu ini rajin, maka juragannya menyayangi anak ibu itu dan mengangkatnya sebagai anak.Â
Lalu, ibu ini bertemu dengan seorang pria jejaka. Mereka menikah. Menurut juragannya, anaknya--bayi laki-laki--tidak usah dibawa karena sudah diangkat anak oleh mereka. Jadi, ketika ibu ini ijin mengundurkan diri sebagai pekerja karena akan mengikuti suaminya, anak itu ditinggalkan. Seiring berjalannya waktu, pernikahan kedua ibu ini menghasilkan tiga orang anak. Perempuan, laki-laki, laki-laki.Â
Sebagai keluarga kecil yang berjalan dengan bahagia, lambat laun perekonomian mereka pun meningkat. Kembalilah ibu ini pada sang juragan untuk mengambil anak laki-laki pertamanya. Namun, anak itu menolak. Dengan alasan sudah terlanjur nyaman jadi anak angkat sang juragan.Â
Tak patah semangat, suaminya yang kedua atau ayah tiri anak laki-laki itu dan adik-adiknya, saudaranya seibu juga ikut membujuknya ikut bersama, tapi tetap ditolak.Â
Hingga, akhirnya ibu ini mengangkat anak lain dari seorang wanita miskin. wanita itu meninggal dan ada bayi sebatang kara di dekat kandang kambing yang terlantar. Merasa kasihan, ibu ini mengangkat anak laki-laki ini menjadi anak kelima, dan disusuinya olehnya--katanya--.Â
Ketika semua sudah dewasa, anak laki-laki pertama ibu dari pernikahannya yang pertama, tiba-tiba datang kembali kepada ibunya untuk meminta maaf dan memohon diterima kembali. Tapi ibu ini menolak. Anak itu menjadi anak yang terlantung-lantung tak tentu arah, apalagi setelah istrinya dan anak-anaknya meninggalkannya. Entah, sampai sekarang sudah berumur lebih dari separo abad, tidak diketahui secara pasti, dirinya sudah mengetahui apa belum tentang siapa ayah kandungnya yang sebenarnya.Â
Sementara anak kedua, ketiga dan keempat telah menikah dan punya kehidupan yang berkecukupan. Begitu juga dengan anak kelima. Karena anak kelima ini sudah masuk kartu keluarga ibu dan suami keduanya, jadi ketika menikah istri dan kedua orang tua istrinya mengetahui ibu dan suami keduanya ini sebagai orang tua dari suaminya/menantunya tersebut. Sampai cucu perempuan yang terlahir dari anak kelima lahir, tetap ibu ini yang diketahui menjadi utinya.Â
Dengan kondisi seperti itu, otomatis silsilah keluarga dan nasab dari masing-masing anak sebenarnya berbeda, tapi yang tertulis di kartu keluarga hanya anak kedua sampai kelima. Sementara anak pertama tidak tertulis dengan nama ayah ibu kandungnya tapi dengan juragan tadi. Hal yang sama juga dengan anak kelima, tertulis dalam kartu keluarga ibu dan suaminya yang kedua, bukan dengan orang tua kandungnya. Bahkan bin itu masih tertera di dalam kartu keluarga pernikahan anak kelima ini dengan istrinya.Â