Mohon tunggu...
Willy Naresta Hanum
Willy Naresta Hanum Mohon Tunggu... Desainer - willynaresta

If the wall is high, the sky is higher

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pembuktian Terbalik dalam Hukum Acara Perdata, Apakah Relevan?

8 Maret 2020   06:15 Diperbarui: 8 Maret 2020   06:49 4191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muncul mengenai bagaimana jika teori pembalikan beban pembuktian atau pembuktian trebalik ini diterapkan dalam hukum acara perdata, apakah relevan dengan asas-asas dalam sistem pembuktiannya. 

Pada dasarnya pembuktian dalam hukum perdata bertolak pada Pasal 163 HIR/ 283 RBg, dan 1865 BW, maka pihak-pihak yang melakukan pembuktian adalah pihak penggugat dan tergugat, sedangkan hakim hanya memimpin persidangan tidak ikut melakukan pembuktian.

Pasal 1865 BW8
"Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri meupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut."

Pasal 163 HIR9
"Barang siapa yg menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu."

Pasal tersebut di atas merupakan kristalisasi dari asas sistem pembuktian, yaitu Actori incumbit probatio, yang merujuk pada siapa yg mendalilkan sesuatu maka ia yg harus membuktikan. Pun yang membantah akan suatu dalil maka ia juga memiliki kewajiban untuk membuktikan bantahannya. 

Bagi pihak yang tidak dapat membuktikan dalilnya, dengan contoh apabila penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya maka gugatan tersebut ditolak, sedangkan apabila Tergugat melakukan bantahan namun tidak dapat membuktikan bantahannya maka gugatan diterima.

Prinsip ini berbeda dengan pembalikan beban pembuktian dalam hukum acara pidana, karena dalam hukum acara pidana, ketia terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah bukan berarti terdakwa ini langsung dianggap bersalah, karena disisi lain Penuntut Umum masih memiliki kewajiban untuk melakukan pembuktian.

Di dalam hukum acara perdata sendiri tidak dikenal istilah pembalikan beban pembuktian, karena dalam sengketa perdata yang berperan aktif adalah para pihak bersengketa untuk saling mempertahankan hak-haknya.

Kedudukan mereka adalah sama di dalam hal pembuktian. Siapapun yang mendalilkan maka ia yang harus membuktikannya. Hal ini juga berkaitan dengan asas audit et alteram partem yang juga terdapat dalam asas pembuktian, asas kedudukan a prosesuil yang sama merupakan asas pembagian beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. 

Asas kedudukan prosesuil yang sama dan para pihak membawa akibat bahwa kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama.10 Berbeda dengan konsep hukum pidana karena pada hukum publik yang berhadapan adalah PU mewakili negara/rakyat menuntut seorang terdakwa, dan beban pembuktian ada pada PU terkait dengan asas praduga tak bersalah dan asas mempersalahkan diri sendiri.

Meskipun dalam hukum acara perdata tidak mengenal istilah pembalikan pembuktian, namun dalam peraturan-peraturan lain yang bersifat lex specialis dari KUHPerdata mengatur bagaimana sebuah beban pembuktian dibebankan pada pihak tergugat. Salah satunya diterapkan pada kasus sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen. 

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mensyaratkan pembuktian ada atau tidaknya unsur kesalahan pelaku usaha dibebankan pada pelaku usaha itu sendiri, atau dengan kata lain pembuktian terletak pada pihak tergugat, pasal tersebut menyatakan bahwa:

"Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha"

Dari pasal di atas dapat diketahui jika tanggung gugat pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen tidak menganut strict liability atau tanggung gugat mutlak, namun hanya disebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Disebutkan pula bahwa untuk pembuktian terhadap ada tidaknya kesalahan dalam gugatan ganti rugi tersebut merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Selain pada pembuktian sengketa perlindungan konsumen, pembalikan beban pembuktian juga diterapkan dalam sengketa perlindungan lingkungan hidup. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang tanggung jawab mutlak (strict liability), bahwa:

"Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan."

Dalam penjelasan Pasal 88 UUPPLH diuraikan pengertian tanggung jawab mutlak atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Hal tersebut didasarkan pada sifa perkara lingkungan hidup yang rumit dan banyak ditemui adanya bukti-bukti ilmiah (scientific evidence). 

Perkara lingkungan hidup mempunyai karakteristik yang berbeda dengan perkara lainnya. Selain itu perkara lingkungan hidup juga dapat dikategorikan sebagai perkara yang bersifat struktural yang menghadapkan secara vertikal antara pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dengan pihak yang memiliki akses terbatas.

Relevansinya adalah, dalam hukum acara perdata telah diatur bahwa siapun yang mendalilkan akan adanya suatu hak maka ia wajib membuktikannya, terlepas apakah ia Penggugat ataupun Tergugat. Jika bantahan yang diajukan oleh Tergugat wajib dibuktikan dan dianggap sebagai sutau pembalikan beban pembuktian, maka dalam hukum acara perdata terdapat relevansi penggunaan sistem pembalikan beban pembuktian. 

Namun jika yang dimaksud pembalikan beban pembuktian adalah murni pada suatu kasus yang rumit sehingga secara langsung terdakwa diminta untuk melakukan pembuktian terbatas dan berimbang (dalam hal ini dalam hukum acara pidana), maka tidak tegas relevansi adanya pembalikan beban pembuktian dalam hukum acara perdata, karena pada prinsipnya telah menjadi suatu kewajiban yang multak kepada yang mendalilkan seuatu hak maka ia yang membuktikannya, meskipun memang pihak penggugatlah yang terlebih dahulu atau memiliki kewajiban mutlak harus pembuktikan gugatannya.

Namun, pada beberapa kasus terlepas dari tanggung gugat mutlak dan tidak mutlak, penerapan pembalikan beban pembuktian memang dianggap tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 163 HIR/283 Rbg/1865 KUHPerdata, dimana prinsip pertanggungjawaban pada acara perdata berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) sedangkan pada pembalikan beban pembuktian dalam acara perdata menerapkan (strict liability, dimana penggugat tidak harus membuktikan adanya unsur kesalahan tergugat, bahkan pada ketentuan Pasal 28 UUPK pada beberapa ketentuannya yang wajib melakukan pembuktian adalah pihak tergugat/pelaku usaha. 

Jika ditilik penerapan ketentuan ini bukanlah tanpa dasar tapi disandarkan pada keseimbangan keadilan yang diterima antara pelaku usaha dengan konsumen, atau pemilik usaha dengan pihak terdampak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun