Mohon tunggu...
Willyday Namali
Willyday Namali Mohon Tunggu... Seniman - Pelinting Bunyi

Komposer Karawitan / Kreator Gamelan / Audio Engineering

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Harmoni Pendawan: Wajah Baru Konser Gamelan

24 Februari 2021   15:30 Diperbarui: 24 Februari 2021   16:27 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nembang Raras - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio

Harmoni Pendawan:

WAJAH BARU KONSER GAMELAN

Willyday Namali -- Malang, 23/02/2020

Pada akhir 2020 lalu, pecinta karya seni (lebih khusus skena Karawitan) disuguhkan dengan sajian acara live berdurasi hampir 3 jam. Live stream bertajuk "Harmoni Pendawan" ternyata merupakan kumpulan kerja dokumentasi (audio-visual) dari Sisih Selatan Studio atas karya 5 komposer yang digunakan sebagai syarat kelulusan S1-Karawitan di ISI Yogyakarta. Perlu diketahui, umumnya tugas akhir minat penciptaan di Fakultas Seni Pertunjukan selalu menggunakan pementasan live sebagai puncaknya, namun berbeda dengan tahun ini yang menggunakan seni video sebagai media alternatif untuk pertunjukan seni apapun. Adapun nama-nama dari pengkarya, adalah: Mustika Garis Sejari a.k.a. Kuncung (Kab. Sleman, 1994); Adam Ade Pratama (Kab. Bantul, 1996); Shandro Wisnu A. S. (Kab. Bantul, 1993); Bima Aris Purwandaka (Kab. Bantul, 1996); dan Sahrul Yuliyanto a.k.a. Kepek (Kab. Bantul, 1995).

Kerja serius dari para komposer dan juga koleganya (Sisih Selatan Audio) agaknya sangat disayangkan jika hanya dijadikan pelengkap pada rak-rak perpustakaan digital kampus. Kesempatan ini disikapi secara cerdas oleh tim Sisih Selatan Audio dengan meng-uploud hasil kerja mereka pada channel Youtube dengan kemasan semi-live, yakni kolaborasi antara pemutaran arsip dan dialog terbuka secara langsung. Dihadiri oleh kelima komposer dan rekan terdekat mereka, acara live stream ini menjadi hangat dengan pembedahan karya oleh kreatornya sendiri. Karya-karya yang ada pada live stream "Harmoni Pendawan" akan sedikit diulas penulis, setelah berhasil mewawancarai semua komposer melalui dialog tertutup.

Nembang Raras - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio
Nembang Raras - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio
NEMBANG RARAS

Karya pertama pada live stream, yakni "Nembang Raras" yang dikerjakan oleh Kuncung dengan dukungan 6 niyaga (pemain Gamelan). Dalam pemunculan gagasan, Kuncung sangat terobsesi dengan kitab kuno Serat Centhini atau Suluk Tambangraras. Perwujudan "Nembang Raras" tidak semerta-merta apa adanya sesuai alur Centhini, melainkan hanya mengambil salah satu bagian dari kitab masyhur tersebut yang pada akhirnya ditafsir ulang melalui perenungan komposernya.

Dikaji dari aspek estetik, karya "Nembang Raras" sangat banyak memunculkan wirasa halus atau lembut sesuai dengan muatan isi yang diangkat komposernya. Dengan topik 'perjalanan seksual' pada isi cerita, Kuncung cukup berani untuk melakukan penggabungan 2 laras sebagai ikon akustik pada karyanya. Hal ini dapat dirasakan secara kentara pada permainan Gender Barung dan Gender Penerus yang dimainkan dengan menaruh ricikan ber-laras Slendro di depan laras Pelog Bem. Tentu, penyusunan instrumen ini menjadi tantangan tersendiri bagi niyaga yang memainkan Gender double tersebut.

Keunikan lain dari reportoar berdurasi 15'49 ini adalah penggunaan 3 Rebab Jawa berlaras Pelog dengan porsi musikal yang setara, namun dengan penalaan yang berbeda. Penalaan ketiga ricikan itu, diantaranya: Rebab I (Intan di sisi kiri) ber-laras kebalikan dari Rebab klasik, yaitu 2 dan 6; Rebab II (Bagas di tengah) ber-laras 5 dan 1; dan Rebab III (Mira di sisi kanan) dengan penalaan klasik, yaitu 6 dan 2. Reportoar ini juga menggunakan Gong Suwuk laras 1 (Pl.), 1 (Sl.), dan Gong Ageng laras 6 tumbuk (Pl./Sl.). Yang menjadi menarik, ketika ricikan Gong yang lazimnya dimainkan oleh kaum Adam malah dimainkan oleh perempuan, mengingat bahwa laki-laki mempunyai kekuatan lebih yang mampu memunculkan power pukulan lebih baik dari perempuan. Pastinya, komposer memiliki pertimbangan tersendiri secara jelas.

Salah satu aspek penting yang harus diamati adalah jenis gagrak/aliran dan unsur vokal. Secara gagrak, komposer tetap menganut gagrak Mataram (Ngayogyakarta) sebagai landasan untuk pengembangan motif-motif non-klasik. Secara olah suara, komposer memakai teks Suluk Raras milik Bram Palgunadi dengan sedikit gubahan pada motif tembang. Meskipun secara musikalitas gendhing (non-vokal) berbeda dengan karakteristik tembang (vokal) versi asli, namun Kuncung mampu memunculkan lem kuat sehingga gagrak Pesisiran yang digarap Bram tetap terasa kental pada vokal dan justru memperkuat peran ricikan lainnya.

Upaya yang dilakukan Kuncung tentu harus dipandang sebagai keberanian. Pasalnya, untuk mengambil materi dari Serat Centhini sangat dibutuhkan ketelitian dan tentu penuh risiko, mengingat bahwa isi dan makna dari banyak kitab kuno di Jawa masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan.

TOH

Karya selanjutnya berdurasi 12'22, yakni "Toh" dari komposer Adam. Berawal dari kecintaanya terhadap ayam, Adam bermaksud mengangkat fenomena adu ayam ke dalam komposisi Karawitan. Walapun telah banyak komposer yang memakai objek ayam sebagai sumber inspirasi karya musik, Adam tetap yakin bahwa karyanya mempunyai perbedaan khusus perihal muatan isi dan model garapan yang membuat karyanya berbeda dari karya lain dengan topik serupa. Keterangan tersebut juga disampaikan kepada penulis, bahwa komposer bermaksud menyampaikan pesan secara simbolik melalui fenomena adu ayam untuk ditransformasikan pemaknaannya ke dalam fenomena kehidupan sehari-hari sebagai manusia.

Dilihat dari medium, komposisi ini melibatkan banyak ricikan dengan jenis pencon duduk sebagai fokusnya. Pencon duduk yang dimaksud, seperti: Bonang Panembung, Bonang Barung, Bonang Penerus, Kethuk, serta Kenong dan beberapa pencon tambahan yang dimainkan secara eksploratif. Eksplorasi yang dimaksudkan, seperti menggesekkan telapak tangan pada pencu Kenong dan juga penabuhan pencu Bonang dengan direndamkan pada ember berisi air. Ricikan lain yang berfungsi sebagai penguat komposisi, adalah: Gong Ageng-Suwuk, Kempul, Slenthem, Sindhen, dan Vokal Koor. Yang menjadi menarik, Adam juga menggunakan air sebagai instrumen yang berdiri sendiri serta instrumen kecil berbahan bambu yang jika dimainkan akan menimbulkan bunyi seperti ayam berkokok.

Kerja yang dilakukan oleh Adam dan 6 niyaga-nya telah menjadi gebrakan tersendiri di lingkup Jurusan Karawitan. Penggunaan ricikan Gamelan dengan banyak teknik yang berbau eksploratif tentu tidak terlepas dari pro-kontra di antara dose pengampunya. Penulis juga meyakini, bahwa apa yang dilakukan oleh Adam dalam menyikapi instrumen masih dalam kategori wajar, sehingga tidak menimbulkan cacat fisik pada ricikan yang digunakannya. Satu hal yang menjadi penekanan saat berdialog dengan Adam, ia meyakini betul bahwa apa yang dilakukannya dalam rangka membuat komposisi kontemporer akan berguna bagi perkembangan komposisi Karawitan ke depan, khususnya perihal cara pandang komposer dalam menyikapi Gamelan Jawa.

NGEK NGOK

Pertunjukan ketiga dari acara ini, adalah karya "Ngek Ngok" yang dikomposeri Shandro. Dengan total durasi 18'08, Sandro mampu mencuri fokus audience dengan hadirnya 10 rebab yang hanya dimainkan oleh 6 niyaga. Rebab-rebab tersebut, terdiri dari: 2 Rebab Panembung, 6 Rebab Barung, serta 2 Rebab Penerus. Pada praktinya, 4 niyaga dalam komposisi ini akan memainkan setidaknya 2 Rebab secara bergantian, sedangkan 2 niyaga lain hanya memainkan 1 Rebab. Tidak hanya itu, setiap niyaga dalam karya ini juga dibebankan dengan olah vokal sembari memainkan Rebab. Tentunya ini menjadi perhatian khusus, karena keahlian hal tersebut cukup sulit dilakukan jika tanpa proses latihan yang serius. Bisa dibilang, karya yang digarap oleh Sandro sangat menganut ideologi 'minimax', yang berarti memaksimalkan potensi dengan piranti-piranti yang terkesan minimalis.

Perihal muatan isi, komposer mengutarakan secara terang-terangan kepada penulis, bahwa karya yang ia buat tidak terfokus pada aspek lain selain karya itu sendiri atau bisa dibilang musik absolut. Jika karya yang dibuat oleh Shandro tidak menuangkan cerita atau momen tertentu, lalu apa yang menjadi ide awal Shandro untuk membuat karya tersebut? Jawaban tersebut bisa dilihat dari ricikan apa saja yang digunakannya, yakni hadirnya 3 nama berbeda pada 10 Rebab yang digunakan.

Perlu diketahui, bahwa seluruh ricikan Gamelan yang ada di Jawa selama ini hanya mempunyai 1 instrumen gesek yang disebut Rebab. Padahal, sistem marga yang ada dalam Gamelan Jawa umumnya menganut konsep 3 penamaan (berdasarkan perbedaan wilayah laras), yakni: Panembung, Barung, dan Penerus. Hal ini lah yang menjadi keresahan Shandro dan membuatnya bertanya-tanya, "Mengapa Rebab di jawa tidak terbagi menjadi 3 nama seperti ricikan lainnya?". Keresahan tersebut memicu Shandro untuk bereksperimen dengan mewujudkan 2 ricikan baru yang dinamainya sebagai Rebab Panembung dan Rebab Penerus. Sedangkan, Rebab versi klasik tetap ia gunakan dengan menamainya sebagai Rebab Barung, sesuai dengan karakteristik bunyi dan laras yang dihasilkan.

Ketiga jenis Rebab tersebut menjadi inspirasi penting dalam pembuatan karya "Ngek Ngok" tanpa memasukkan aspek lain, seperti: politik, sosial, religi, dan lain sebagainya. Sandro juga menegaskan, bahwa dirinya tidak memaksakan tafsir khusus terhadap audience dan semua orang yang mendengar berhak untuk memberi makna atau menafsir apapun terhadap karyanya.

Sebagai penutup pembicaraan tertutup, komposer sangat berharap bahwa karya "Ngek Ngok" dapat menginspirasi komposer lainnya agar mampu memanfaatkan instrumen dengan baik dan bijak, meskipun hanya dengan instrumen yang sedikit. Menurut hemat penulis, Sandro telah melangkah lebih jauh dari rekan sebayanya dengan membuat komposisi absolut yang kaya akan tafsir, sekaligus sebagai kreator atas 2 ricikan baru yang akan sangat berguna bagi perkembangan Gamelan, khususnya dalam ranah organologi Gamelan.

Toh - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio
Toh - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio

Ngek Ngok - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio
Ngek Ngok - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio

BISMANTAKA TALIDARMA

Pemutaran arsip keempat, karya Bima Aris berjudul "Bismantaka Talidarma" dengan total durasi 16'14. Dari segi penamaan reportoar, judul ini dipahami Aris dengan arti 'kesatria pemberani yang selalu menjalankan darma', selaras dengan tokoh Basukarna yang diceritakannya dalam komposisi. Walaupun kisah epik Mahabharata telah menjadi inspirasi ribuan seniman di Jawa selama berabad-abad, Aris tetap berani dengan memunculkan narasi lama melalui medium Gamelan yang dikemas dengan wajah baru.

Berbeda dari karya Shandro yang kukuh dengan trinitasnya, Aris lebih menonjolkan konsep ricikan ganda yang diwakili oleh laras Slendro dan Pelog. Konsep tersebut dapat dilihat dari formasi yang digunakan dalam reportoar, seperti: 2 Gender Barung (Sl. dan Pl. Bem), 2 Slenthem (Sl. dan Pl.), 2 Bonang Barung (Sl. dan Pl.) dalam 1 rancak, Kempul duduk (Sl. dan Pl.), serta Gong Suwuk-Ageng (Sl. dan Pl.). Instrumen lainnya, adalah: Gambang (Pl. Bem), 4 Suling Jawa (6 lubang), Rebab Jawa, Bedhug Alit, dan juga Sindhen. Semua ricikan yang terkesan ramai tersebut hanya dimainkan 7 orang, tentunya dengan pergantian posisi di setiap bagiannya. Tak lupa juga, kehadiran instrumen Barat berupa Flute dan Violin menjadikan nuansa dari karya ini berbeda jauh dengan reportoar lainnya.

Perihal gagrak, Aris dengan tegas mengatakan bahwa karya ini tidak menganut gagrak manapun dalam landasan musikal alias karawitan lepas. Walaupun karya ini kental dengan peleburan Slendro dan Pelog, Aris dengan tidak sombong mengatakan kepada penulis, "Aku lebih seneng kalau garapanku disebut kreasi.". Yang menjadi fokus dari penulis, karya ini sangat terasa Barat-isme atau memiliki kesan diatonis dibandingkan reportoar lainnya. Hal tersebut telah dikonfirmasi pengkarya, bahwa secara pemilihan laras Gamelan sebenarnya tidak mengarah ke diatonis, namun cita rasa tersebut kuat dengan hadirnya motif vokal yang cenderung memakai sistem solmisasi tanpa menghilangkan cengkok Jawa yang menjadi landasan motif Sindhen-an. Pernyataan komposer tersebut tentu menjadi nilai khusus yang memperkuat jati diri atau kekhasan gaya dari karya-karya Aris. Alasan lain yang sejalur, mungkin karena kuatnya porsi pada permainan flute, dan sejenisnya.

Upaya yang terkesan ngawur dari Aris mengenai penggabungan laras Slendro dan Pelog, rupanya juga perlu disambut baik oleh kalangan pecinta Gamelan. Komposer juga terlihat tidak ragu untuk mengangkat kisah yang sebenarnya telah umum digarap oleh pelaku seni. Artinya, secara tidak langsung Aris meyakini bahwa dirinya mempunyai resep menarik dan gagasan kebaruan yang dapat menghidupkan kembali barang yang telah mati atau dianggap membosankan untuk diangkat sebagai sumber inspirasi karya.

KUNJANA PAPA

Pertunjukan terakhir dari streaming ini, adalah karya "Kunjana Papa" oleh komposer Kepek. Karya berdurasi 17'45 ini melibatkan beberapa jenis ricikan, diantaranya: tiup, gesek, membran kulit, wilah gantung, pencon duduk, pencon gantung, serta pencon gantung yang diposisikan sebagai pencon duduk, yang mana semua dari ricikan tersebut dimainkan oleh 6 orang.

Berkenaan dengan muatan isi, karya "Kunjana Papa" sangat terinspirasi dari folklore Suminten (populer di daerah Ponorogo dan sekitarnya) yang umumnya diwujudkan dalam sajian lakon Ketoprak (Mataram) berjudul "Suminten Edan". Isi tersebut sesuai dengan judul yang disematkan pada karya dan diyakini komposernya dengan arti 'perasaan sedih yang amat dalam'. Yang menjadi perhatian, bahwa karya ini tidak semerta-merta memunculkan emosi kesedihan dalam suasana musikal, melainkan dikemas dengan pemeranan pada tiap ricikan yang jika dimainkan secara bersama-sama akan memunculkan kesan dissonant. Keenam niyaga dalam "Kunjana Papa" memerankan tokoh yang berbeda, diantaranya: Adipati Ponorogo, Istri Adipati Ponorogo, Raden Mas Subroto, Raden Sasongko, Raden Mas Secodarmo, dan Suminten.

Dikaji dari aspek gagrak, sangat terlihat jelas bahwa Kepek sengaja memadukan 2 gagrak berbeda dalam satu komposisi, yakni gagrak Ponorogo (seperti iringan Reog) dan gagrak Mataman (seperti iringan Ketoprak). Kedua gagrak tersebut kadang ditonjolkan dalam beberapa bagian, namun juga terdapat banyak peleburan motif sehingga mengaburkan sekat pada gaya musikal. Yang patut dikritisi, mengapa motif permainan Kendhang Reog sangat sedikit dalam karya ini?, mengingat bahwa umumnya Kendhang Reog menjadi maskot utama dalam gendhing-gendhing gagrak Ponorogo. Dengan tegas pertanyaan terssebut dijawab Kepek melalui wawancara, "Karena tokoh yang diperankan oleh pemain Kendhang Reog bukan karakter yang cerewet seperti lawannya. Seperlunya saja dimainkan pada bagian-bagian krusial.".

Kesimpulan yang dipahami penulis mengenai karya "Kunjana Papa", bahwa pengemasan komposisi ini sangat menggunakan metode dramatik dengan pemeranan pada tiap personal. Kelebihan yang patut diapresiasi, bahwa Kepek cukup berhasil menampakkan kesan-kesan anti-kenyamanan pada struktur musikal, sehingga audience dituntut untuk mampu mendengarkan secara lebih peka terhadap tabrakan tempo yang dihasilkan beberapa ricikan secara bersamaan.

Bismantaka Talidarma - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio
Bismantaka Talidarma - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio

Kunjana Papa - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio
Kunjana Papa - Dok. pribadi, hasil screenshot akun YouTube Sisih Selatan Studio

PENUTUP

Kelima komposisi yang ditayangkan pada live stream "Harmoni Pandawan" jelas memiliki banyak kelebihan (sesuai yang telah diuraikan di atas), namun juga memiliki kekurangan. Kekurangan yang nyata terlihat pada sebagaian karya, seperti kurangnya akurasi/ketepatan niyaga dalam menabuh ricikan yang telah dibebankan. Pasalnya, sebagian komposer mengeluhkan kepada penulis akan minimnya waktu latihan yang disebabkan berkurangnya waktu untuk mengakses ruangan Gamelan, mengingat tahun 2020 penuh dengan aturan ketat sebagai bentuk antisipasi menyebarnya virus Covid-19. Hal tersebut layak mendapatkan pemakluman dari audience, dan penulis sangat memberikan apresiasi terhadap kelima komposer yang telah sanggup melewati masa pandemi dengan menghasilkan produk bebunyian yang bernilai tinggi.

Terlebih untuk Sisih Selatan Studio (sebagai tuan rumah acara), live stream ini layak untuk dinilai secara positif oleh pelaku seni, khususnya pelaku Karawitan. Sebuah karya akan hilang sebagai memori berharga tanpa adanya kekuatan di bidang pengarsipan dan publikasi media sosial. Akhir kata, selamat untuk kerja gigih dari Sisih Selatan Audio dan 5 komposer. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembacanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun