"Sekali terbentuk, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) "terbang sendiri" dengan aturan dan ketentuannya sendiri yang melekat pada dirinya, tidak lagi tunduk pada kemauan si pembentuk, baik MPR, konstituante, dan sebagainya." -- Jakob Tobing (Anggota Komisi A MPR-RI 1999-2002, tim perumus Amandemen UUD 1945)
Di tengah riuhnya kontestasi politik, menuju perebutan kekuasaan, di "sudut Senayan" muncul usul mengenai penguatan kewenangan MPR untuk menjadi satu-satunya lembaga yang berhak menafsirkan UUD. UUD memberikan batasan-batasan terhadap lembaga negara atas kewenangan-kewenangannya yang juga diberikan oleh UUD itu sendiri.
Lembaga MPR sejatinya berisi anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum, yang masing-masing anggotanya berlatar belakang politik, sehingga muncul penyebutan bahwa "Senayan merupakan lembaga politik" dengan tidak meninggalkan makna sesungguhnya bahwa DPR dan DPD merupakan representasi rakyat (House of Representative).
Kedudukan MPR
Kedudukan MPR setelah dilakukan perubahan UUD (1999-2002) tidak lagi menempati sebagai Lembaga Tertinggi Negara, kini memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan lembaga tinggi lainnya, yakni Presiden, DPR, DPD, Mahkamah Agung, BPK, dan Mahkamah Konstitusi.
Sesungguhnya MPR secara sukarela melalui kewenangannya (dalam Amandemen ke-3) telah menurunkan kedudukannya sendiri melalui perubahan konstitusi. Selain itu, MPR menyerahkan kedudukannya yang tertinggi tersebut kepada UUD, sehingga UUD lah yang mengatur, menentukan, membatasi, dan mengarahkan bagaimana kekuasaan negara dibagi kepada lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dengan perubahan tersebut, maka tidak ada lagi lembaga negara yang lebih tinggi kedudukannya dari pada lembaga lainnya, begitu juga tidak ada lagi lembaga negara yang lebih dominan atau bahkan memonopoli kekuasaan dan kedaulatan.
Mengapa memonopoli kekuasaan dan kedaulatan? Kita bias melihat pengalaman sebelum Reformasi, karena kewenangannya untuk mengatur kedudukan dan kewenangan lembaga tinggi lainnya, sehingga MPR dapat mengatur penyelenggaraan negara sesuai kehendaknya. Belum lagi apabila kita mengingat dalam pelaksanaannya, MPR lah yang memiih Presiden dan Wakil Presiden, serta menentukan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Implikasi langsung karena dipilihnya sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, maka MPR tidak lagi memiliki wewenang langsung untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden, meskipun kewenangan pemakzulan tetap ada. Sebelum dilakukan pemberhentian tersebut, harus didahului dengan mengajukan permintaan kepada cabang yudikatif, yakni Mahkamah Konstitusi yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus. Tujuannya agar memperkecil bahkan menghilangkan alasan politik yang mungkin digunakan, sehingga pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden harus berdasarkan alasan hukum atau alasan yang sudah ditetapkan dalam UUD.
Perubahan konstitusi yang cukup signifikan, seolah adanya "Supremasi Konstitusi" yang dianut dalam sistem ketatanegaraan, yang menempatkan konstitusi pada kedudukan tertinggi dalam negara, dan menjadikan konstitusi sebagai pedoman pokok dalam mengatur dan membatasi kekuasaan dan penyelenggaraan negara.
Siapa Penafsir UUD?
Apabila kita melihat melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, maka sebetulnya penafsir UUD yaitu undang-undang, baik undang-undang yang diamanatkan langsung oleh UUD, maupun undang-undang sebagai ketentuan pelaksana dari UUD. Undang-undang, maka di dalamnya terdapat konsiderans yang memuat landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis, yang sebetulnya memuat tafsiran dari UUD. Hal tersebut juga termuat dalam Naskah Akademik setiap undang-undang, serta dimuat dalam pasal demi pasal undang-undang sebagai pelaksanaan dari tafsiran UUD. Maka undang-undang merupakan penafsir UUD pada tingkat, lingkup, dan tata caranya masing-masing undang-undang tersebut.
Undang-undang merupakan kesepakatan lembaga legislatif (DPR) dan lembaga eksekutif (Presiden c.q pemerintah), merupakan perwujudan dari prinsip-prinsip negara demokrasi, kedaulatan rakyat, negara hukum, peradilan yang bebas, hak asasi manusia, prinsip checks and balances, dan sirkulasi kekuasaan secara demokratis (karena dalam undang-undang dapat memuat sebuah kewenangan).
Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Pancasila dan UUD menjadi dasar dalam sistem hukum nasional, dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam mengantisipasi dan mengatasi permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Usul penguatan kewenangan MPR bukanlah hal sederhana, tetapi sangat prinsipil karena mencederai prinsip negara hukum yang telah dibangun oleh UUD. Sebagai norma paling tinggi, sudah sepatutnya dipatuhi oleh seluruh lembaga negara, organ pemerintahan, dan seluruh rakyat Indonesia, namun hendak diturunkan kembali derajatnya di bawah kendali lembaga politik MPR seperti sebelum masa Reformasi dan Amandemen UUD.
UUD telah memberikan amanat bagi sebuah lembaga penjaga konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi. Dialah sebetulnya yang memiliki kewenangan menjaga konstitusionalitas dari sebuah undang-undang, agar undang-undang sebagai bentuk penafsiran UUD, tidak ditafsirkan melampaui hakekat hidup berbangsa dan bernegara yang telah diatur dalam UUD.
Bojonegoro, 17 Januari 2019
*Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Bojonegoro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H