Mohon tunggu...
Willy Marsaor
Willy Marsaor Mohon Tunggu... -

Murid Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hoaks, Sebuah Virus Digital

5 Oktober 2018   13:21 Diperbarui: 5 Oktober 2018   13:43 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: thinkstock

Pendapat tersebut mungkin benar, apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat, negara yang sama dengan Indonesia yang menjunjung demokrasi, namun telah melewati tradisi literasi terlebih dahulu sebelum masuk ke era sosial media.

Individu mana yang tidak memiliki sosial media di era digital ini? Rasanya hampir seluruh kalangan, termasuk usia, latar belakang, pasti memiliki minimal satu akun media sosial. Tentu saja platform-platform besar seperti Facebook, Twitter, atau yang kekinian Instagram, memiliki sifat yang sama, yaitu personal. 

Masyarakat yang memiliki akun tersebut diberikan kebebasan untuk mengunggah segala hal. Unggahan yang sifatnya personal tersebut kemudian dibaca atau dilihat oleh akun personal lain, kemudian disebarkan lagi, seolah menjadi sebuah kebenaran.

Lalu titik balik dari besarnya arus media sosial tersebut akibat dari hilangnya trust atau kepercayaan masyarakat kepada media pemerintah. Sadar atau tidak sadar, sebetulnya tidak ada lagi media yang memperoleh predikat layak baca dari masyarakat. Kemudian para penikmat berita mencari alternatif lain yang justru kadang tidak bertanggung jawab, namun lebih dipercaya juga memiliki nilai tambah, yaitu kemudahan memperoleh aksesnya melalui akun personal media sosial.

Sanksi Hukum Menunggu

Rasanya mungkin telah banyak kajian-kajian hukum sebagai respons dari maraknya hoax. Jauh sebelum munculnya era digital, hukum di Indonesia telah mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pemidanaan bagi penyebar hoax atau suatu kebohongan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dalam Pasal 14 dan Pasal 15 secara tegas memberikan sanksi yang berat.

Tabel
Tabel
Namun disayangkan, dalam undang-undang yang terkenal "galak", Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), memiliki kualifikasi tersendiri untuk konten yang mengandung hoax, yang memiliki ancaman pidana, yang pertama memuat pencemaran nama baik, yang kedua memuat penipuan untuk motif ekonomi yang merugikan konsumen, dan yang ketiga provokasi terkait SARA. Konten yang mengandung hoax tidak selalu memiliki kualifikasi seperti 3 kualifikasi di atas, bahkan lebih luas dari pada itu.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, seorang aktivis yang mengabarkan kebohongan kepada kalangan tertentu, yang disebarluaskan oleh kalangan tersebut (pihak lain), memiliki potensi "keonaran" di masyarakat, selang beberapa saat aktivis tersebut mengakui (melalui konferensi pers) bahwa kabar yang disampaikannya merupakan sebuah kebohongan. 

Apakah hal tersebut memenuhi unsur dalam hukum pidana? Jika ya, apakah aparat penegak hukum memiliki bukti permulaan yang cukup? Jika ya memiliki, biarlah aparat penegak hukum itu menjadi panglima yang "pro justitia" demi tegaknya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Bojonegoro, 4 Oktober 2018

*Oleh: Willy Marsaor, S.H. --Penulis merupakan ex-Tenaga Ahli Hukum Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, saat ini sedang menempuh Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim di Pengadilan Negeri Bojonegoro Kelas 1B.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun