Kartini tetap saja mengelak. Hingga pada akhirnya mereka pun bercerai. Karena persoalan-persoalan inilah Hasan kembali membutuhkan kekuatan Tuhan. Kesadaran inilah yang membuat Hasan merasa berdosa tidak hanya kepada orangtuanya tetapi juga kepada Allah. Ia menyesal telah meninggalkan nilai-nilai keagamaan dalam dirinya.
Setelah ia bercerai dengan Kartini ia pun pulang ke rumahnya. Untuk bertemu dengan kedua orang tuanya dan meminta maaf atas apa yang telah ia perbuat. Ia ingin bersujud di kaki ayahnya yang ternyata tengah sakit parah. Ayahnya tidak sudi dan tidak menerima semua permintaan maaf yang Hasan ucapkan. Ia pun menyuruh Hasan untuk pergi dari rumahnya.
Lalu saat ia pergi ke sebuah hotel dekat stasiun Bandung, ia mendapati fakta bahwa pada hari saat ia dan istrinya bertengkar, dan istrinya kabur dari rumah. Anwar dan Kartini berada dalam satu kamar di hotel tersebut. Hasan mengetahuinya dari buku tamu yang iseng-iseng ia baca. Semakin memuncak kemarahannya Anwar dan ia pun pergi mencari Anwar hingga tengah malam. Ia tidak sadar bahwa saat itu telah terjadi jam malam masa pendudukan Jepang sehingga ia pun tertembak oleh peluru yang menembus punggungnya. Ia pun tewas di tempat kejadian dengan penuh rasa sesal.
Alur dan gaya bahasa
Yang sangat menarik dari novel ini adalah alurnya yang tidak linier. Menurut ahli sastra Indonesia asal Belanda A. Teeuw, plot novel ini menggunakan urutan [C {B (A) B} C]
Huruf A mewakili masa yang dibahas dalam tulisan tokoh Hasan (dari masa kecil sampai bercerai dengan Kartini), huruf B mewakili masa yang diceritakan narator, dan huruf C mewakili waktu Hasan terbunuh. Jadi terdapat 3 sudut pandang penceritaan dalam satu novel yang membuat saya sebagai pembaca mengetahui sosok Hasan dari 3 sisi perspektif berbeda. Hal tersebut semakin menguatkan karakter tokoh-tokoh yang ada didalam benak pembaca.
Diksi dalam Atheis menunjukkan pengaruh bahasa Sunda yang besar dengan  bahasa Indonesia yang digunakan kadang-kadang seakan dipaksakan, dengan bentuk kalimat menyimpang dari kebiasaan penulis-penulis Minang yang mendominasi dunia sastra Indonesia pada saat itu.
Maier menulis bahwa roman ini menggunakan "simile dan metafor yang aneh tetapi cocok", dengan gaya yang mirip karya-karya yang sudah ada seperti Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis, Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan Belenggu (1940) karya Armijn Pane. Balfas mencatat bahwa ada kemiripan lain dengan karya sebelumnya, termasuk kematian protagonis di puncak cerita, sementara Sastrowardoyo berpendapat bahwa Belenggu malah lebih modern biarpun diterbitkan sembilan tahun sebelum Atheis
Tema dan nilai-nilai
Novel yang terbit tidak lama setelah Indonesia merdeka ini boleh dikatakan sebagai novel yang sangat berani pada masanya yang mengangkat tema ketuhanan dan ideologi. Pada peluncuran novel ini tokoh agama menolak keras karena menggambarkan Hasan, yang mereka menganggap sebagai wakil agama dan orang beriman, sebagai orang yang tidak dapat mengatasi godaan; mereka juga tidak setuju dengan kurangnya pembahasan doktrin agama.
Tokoh-tokoh Marxis dan anarkis juga merasa bahwa ideologi mereka kurang dijelaskan, dan menganggap bahwa tokoh Rusli dan Anwar tidak benar-benar mencerminkan pemikiran para filsuf seperti Karl Marx dan Friedrich Nietzsche.Sebagai tanggapan, Achdiat menulis bahwa tokoh-tokoh tersebut dimaksud untuk realistis, dan jarang ada orang di kehidupan nyata yang mempunyai pengetahuan tentang suatu ideologi yang sangat mendalam seperti yang diinginkan para kritikus.Namun, pembaca lain – terutama dari dunia sastra – memuji Atheis, termasuk Pramoedya Ananta Toer dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).Â