Data buku
Judul: Merawat Luka Batin
Pengarang: dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xii + 312 halaman
ISBN: 978-602-06-6512-0
Penulis buku ini adalah seorang dokter spesialis kesehatan jiwa. Ia merupakan psikiater lulusan Universitas Sebelas Maret. Penulis memiliki keprihatinan dengan kuantitas kejadian depresi yang begitu tinggi, minimnya pengetahuan masyarakat dan kesadaran masyarakat yang rendah untuk mencari pertolongan. Alasan inilah yang menggerakkan hati penulis untuk memberi tahu pembaca betapa pentingnya mengolah kesehatan jiwa manusia.Â
Manusia pasti pernah mendapati masalah dalam kehidupannya sehari-hari, mulai dari masalah pribadinya hingga masalah dari orang-orang di sekitarnya. Beberapa orang tidak bisa mengendalikan permasalahan mereka sehingga berujung pada kondisi stres, menyakiti diri bahkan bunuh diri. Mereka menyebutkan kondisi ini serupa dengan depresi. Depresi inilah yang menjadi peluru empuk bagi manusia untuk menyimpan luka.Â
Aktivitas "merusak" diri itu berakar pada pandangan kita terhadap suatu permasalahan yang sedang kita hadapi. Penulis buku merawat luka batin ini menuliskan dalam bukunya bahwa akar permasalahan depresi adalah cara manusia memandang suatu peristiwa.Â
Cara Manusia Menghadapi Realitas
Penulis menjelaskan ada tiga tindakan manusia setelah mengalami suatu peristiwa. Peristiwa yang dialami manusia disebut oleh Jiemi adalah peristiwa pencetus. Kemudian, pikiran kita akan otomatis berpikir tentang suatu hal atau dogma yang kita anggap benar. Walaupun, belum tentu apa yang kita pikirkan adalah benar. Setelah menyimpulkan sesuatu atas pikiran otomatis manusia, manusia cenderung akan merasakan sesuatu berdasarkan kesimpulannya sendiri. Manusia pun mulai berperilaku sesuai kesimpulan dan perasaannya tadi.Â
Contoh dari pemahaman ini adalah saat opera. Teman-teman lain sedang menjalankan opera seperti biasa. Beberapa teman terlambat pada kesempatan itu. Salah satu teman beranggapan bahwa mereka malas opera. Teman itu merasa kesal dan mengumbar informasi tidak pasti itu kepada teman lain. Alhasil, teman yang opera marah pada teman-teman yang tidak opera. Saat teman-teman yang terlambat datang, mereka menjelaskan alasan mereka terlambat, yakni harus membantu karyawan dapur yang tiba-tiba sakit.Â
Contoh di atas menunjukkan bahwa salah satu teman tadi mengalami peristiwa pencetus, yakni opera dan beberapa temannya tidak datang. Kemudian, pikiran otomatisnya mulai bekerja. Ia menyebarkan informasi yang tidak pasti itu pada teman-teman lain. Ini menandakan bahwa ia tidak banyak berpikir, mungkin ia menyimpulkan berdasarkan pengalaman pribadinya, di mana banyak teman-teman yang terlambat karena bermalas-malasan mengganti baju. Padahal, apa yang dipikirkan olehnya belum tentu benar.
Kebiasaan Berpikir yang Negatif
Pikiran otomatis timbul karena kebiasaan berpikir manusia. Suatu kebiasaan yang dilakukan terus menerus membuat manusia menjadi terbiasa dengan kebiasannya. Kebiasaan yang negatif menimbulkan hasil yang negatif pula. Penulis ingin mengantisipasi hal ini dengan mengkategorikan sepuluh kebiasan berpikir manusia. Pertama, kebiasaan berpikir dunia hitam putih. Kalau tidak benar pasti salah itulah kebiasan berpikir hitam putih. Seakan-akan tidak ada warna lain dalam dunia ini. Semua dihadapkan pada dua hal yang kontras, seperti benar-salah dan gagal-berhasil. Kebiasaan berpikir seperti ini menyederhanakan pikiran kita sehingga setiap kali kita gagal dalam melakukan sesuatu kita akan menyesal akan segala proses yang telah kita lakukan. Cara menanggulangi kebiasaan seperti ini adalah dengan memandang sesuatu berdasarkan pada lebih dari satu aspek pengalaman kita. Kita dapat menggunakan berbagai kacamata sehingga kita dapat lebih dekat dengan realitas.Â
Kedua, kebiasaan berpikir seharusnya, hidup dalam harapan dan aturan yang tidak fleksibel. Orang yang cenderung berpikir seperti ini merupakan orang yang tidak bisa fleksibel. Semuanya harus sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Bila ada yang tidak sesuai dengan dirinya, ia membuat tameng akan ketidaksesuaiannya. Ketidakmampuannya mencapai suatu harapan bisa menyebabkan depresi. Sebuah "keharusan" yang harus ada dalam diri kita. Padahal, manusia bukanlah pribadi yang sempurna. Harapan itu baik tetapi kita diharapkan tetap mencintai diri kita sendiri dan tidak memaksa sesuatu harus berjalan sesuai rencana.
Ketiga, kebiasan berpikir selektif, hanya memikirkan sisi gelap. Setiap kali manusia mendapatkan peristiwa yang tidak enak, misalnya remedial suatu mata pelajaran kecenderungannya mereka akan berpikir hal negatif. Mereka menyesali aktivitas remedi yang ia dapat. Kalau dilihat dari kacamata positif, siswa itu dapat menjadi lebih paham materi yang diberikan yang mungkin bisa digunakan dalam hidup sehari-hari. Cara konkret untuk melawan kebiasaan berpikir seperti ini adalah dengan menuliskan tiga hal baik yang diterima hari ini. Dengan begitu, kita akan menyadari segala kebaikan yang diterima.Â
Keempat, kebiasaan berpikir mengubah positif menjadi negatif, sang sinis. Manusia seringkali tidak percaya akan perkataan orang lain. Misalnya, ada orang yang memuji dirinya. Pujian itu adalah bentuk apresiasi atas dirinya yang telah melakukan sesuatu. Namun, manusia sering mengubah pengertian itu, mereka malah mengganggap bahwa pujian itu sebagai alat untuk menjilat dirinya. Kebiasaan berpikir ini dapat kita lawan dengan memandang sesuatu dengan realistis. Kalau ada orang memuji berarti kita mengucapkan terima kasih karena telah mengapresiasi diri.
Kelima, kebiasaan berpikir generalisasi, semua sama. Generalisasi ini adalah penyamarataan pandangan kita terhadap setiap orang. Misalnya, tiga perempuan yang pernah dekat denganku adalah playgirl. Mereka bermain dengan laki-laki lain di belakang. Aku pun beranggapan bahwa semua cewe adalah playgirl. Padahal, semua yang ada di dunia ini variatif, beragam-ragam orangnya. Mungkin tiga perempuan tadi merupakan salah tiga dari banyaknya perempuan. Tidak semua perempuan sama seperti yang kupikirkan. Tidak ada kata semua dan selalu karena pasti ada celah di antara dua kata itu. Cara mengantisipasi kebiasaan berpikir ini adalah mengganti kata "semua" dengan beberapa dan kata "selalu" menjadi kadang.Â
Keenam, kebiasaan berpikir malapetaka, ketika betu kerikil terlihat seperti gunung. Kebiasaan berpikir ini manusia menyambungkan hal-hal kecil yang kemungkinan menimbulkan malapetaka di masa depan. Sayangnya, manusia cenderung melebih-lebihkan beratnya situasi yang tidak menyenangkan dan memperbesar permasalahan lebih dari realitasnya sendiri. Cara melawan kebiasaan berpikir ini adalah memahami bahwa semua berkat dan masalah datang bergantian. Tidak selalu berkat datang dan tidak pernah masalah tidak datang dalam hidup kita.
Ketujuh, kebiasaan berpikir personalisasi, ini semua salah saya. Kebiasaan ini mengandaikan bahwa dirinya adalah pemegang tanggungjawab atas permasalahan yang terjadi bahkan hal-hal yang tidak dapat dikendalikan sekalipun. Manusia yang berpikir seperti ini membatasi kelebihan-kelebihan dalam dirinya. Ketika ada yang salah, ia mengatakan bahwa ialah yang salah. Cara melawan kebiasaan berpikir ini adalah dengan membebaskan diri dari rasa bersalah. Manusia perlu membebaskan dirinya dari perasaan bersalah.Â
Kedelapan, kebiasaan berpikir tenggelan dalam emosi, saya merasa, maka itu pasti nyata. Manusia terkadang menyimpulkan sesuatu berdasarkan perasaannya sendiri. Perasaan itu merupakan respon spontan dari diri kita setelah manusia mengalami sesuatu kejadian. Lagi dan lagi apa yang dirasakan manusia belum tentu benar. Ia hanya mempersepsikan sesuatu berdasarkan pengalaman pribadinya. Baik bagi kita untuk tidak terlalu percaya pada pikiran dan perasaan kita sendiri.
Kesembilan, kebiasaan berpikir melompat ke kesimpulan, penghakiman lebih cepat dari penjelasan. Manusia sering menghakimi seseorang tanpa ingin mengetahui penjelasan dari orang lain. Bukti-bukti yang ada pun bisa jadi keliru, namun dianggap benar. Cara melawan kebiasaan ini adalah dengan memahami semuanya dengan rinci. Kita perlu mengumpulkan bukti-bukti objektif dan bersabar untuk mengetahui fakta lainnya agar kita dapat membentuk suatu kesimpulan yang kuat dan benar.
Kesepuluh, kebiasaan berpikir ruminasi, terjebak dalam pikiran. Kebiasaan berpikir seperti menenggelamkan kita pada hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Manusia sering berpikir "Seandainya dulu aku begitu, pasti kejadian ini tidak akan terjadi". Kebiasaan berpikir seperti ini biasanya mengulang dan mengganggu diri kita. Kita terbelenggu dengan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi kita.Â
Kebiasaan berpikir negatif perlu dibenahi. Kebiasaan berpikir seperti ini mengotomatisasi pikiran manusia sehingga ia sering berpikir hal negatif ketika mengalami suatu peristiwa. Pikiran ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Manusia perlu menyadari secara sungguh pikirannya sendiri, bagaimana cara manusia menanggapi suatu permasalahan.
Kebiasaan berpikir negatif justru menghilangkan kebahagiaan manusia. Bayangkan saja peristiwa positif bisa dianggap negatif ketika manusia menggunakan kacamata negatif. Pikiran sangat memengaruhi tanggapan kita terhadap suatu peristiwa. Kebahagiaan manusia bisa saja dirampas oleh pikiran negatif karena yang negatif tetaplah negatif. Ia bisa membawa bencana bagi kehidupan manusia.Â
Kelebihan Buku
Penulis telah menyampaikan gagasannya dengan runtut dalam buku Merawat Luka Batin. Penulis memberikan konteks atas topik pembahasan yang ingin dibahasnya. Dokter spesialis kesehatan jiwa ini menjabarkan konteksnya dengan begitu detail sehingga pembaca mudah memahaminya. Jiemi juga membagikan berbagai contoh konkret agar pembaca mudah memahami gagasan penulis. Penulis tidak hanya memberikan konteks saja, tetapi ia juga menyertakan langkah-langkah konkret agar manusia terbebas dari depresi, topik pembahasan penulis.Â
Kekurangan Buku
Judul buku kurang memiliki korelasi dengan isi buku. Judulnya adalah merawat luka batin, sedangkan isinya membahas persoalan tentang depresi. Jiemi memang mencantumkan beberapa contoh dari penjelasan yang ia tuliskan. Namun, dalam beberapa contoh yang diberikan, terdapat penjelasan yang kurang runtut sehingga pembaca tidak dapat memahami maksud dari contoh tersebut.
Kesimpulan
Buku ini sangat cocok dibaca untuk mereka yang belum bisa merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan manusia dapat dirasakan olehnya ketika pertama-tama ia berpikir positif. Dengan pikiran positif, ia akan semakin mensyukuri segala rahmat yang ia dapat dari-Nya. Pikiran negatif jelas memberikan dampak negatif, sebaliknya pikiran positif tentu memberikan dampak yang positif pula.Â
Pikiran positif tidak perlu hal yang besar-besar. Manusia dapat memandang hal positif dari hal-hal kecil, seperti nafas, tubuh dan lingkungan sekitar yang bisa kita nikmati setiap hari. Dari hal-hal kecil itulah manusia akan semakin menemukan kebahagiaannya. Alhasil, manusia dapat menjalani harinya dengan penuh semangat dan sukacita.
*opera: kegiatan bersih-bersih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H