Cara Manusia Menghadapi Realitas
Penulis menjelaskan ada tiga tindakan manusia setelah mengalami suatu peristiwa. Peristiwa yang dialami manusia disebut oleh Jiemi adalah peristiwa pencetus. Kemudian, pikiran kita akan otomatis berpikir tentang suatu hal atau dogma yang kita anggap benar. Walaupun, belum tentu apa yang kita pikirkan adalah benar. Setelah menyimpulkan sesuatu atas pikiran otomatis manusia, manusia cenderung akan merasakan sesuatu berdasarkan kesimpulannya sendiri. Manusia pun mulai berperilaku sesuai kesimpulan dan perasaannya tadi.Â
Contoh dari pemahaman ini adalah saat opera. Teman-teman lain sedang menjalankan opera seperti biasa. Beberapa teman terlambat pada kesempatan itu. Salah satu teman beranggapan bahwa mereka malas opera. Teman itu merasa kesal dan mengumbar informasi tidak pasti itu kepada teman lain. Alhasil, teman yang opera marah pada teman-teman yang tidak opera. Saat teman-teman yang terlambat datang, mereka menjelaskan alasan mereka terlambat, yakni harus membantu karyawan dapur yang tiba-tiba sakit.Â
Contoh di atas menunjukkan bahwa salah satu teman tadi mengalami peristiwa pencetus, yakni opera dan beberapa temannya tidak datang. Kemudian, pikiran otomatisnya mulai bekerja. Ia menyebarkan informasi yang tidak pasti itu pada teman-teman lain. Ini menandakan bahwa ia tidak banyak berpikir, mungkin ia menyimpulkan berdasarkan pengalaman pribadinya, di mana banyak teman-teman yang terlambat karena bermalas-malasan mengganti baju. Padahal, apa yang dipikirkan olehnya belum tentu benar.
Kebiasaan Berpikir yang Negatif
Pikiran otomatis timbul karena kebiasaan berpikir manusia. Suatu kebiasaan yang dilakukan terus menerus membuat manusia menjadi terbiasa dengan kebiasannya. Kebiasaan yang negatif menimbulkan hasil yang negatif pula. Penulis ingin mengantisipasi hal ini dengan mengkategorikan sepuluh kebiasan berpikir manusia. Pertama, kebiasaan berpikir dunia hitam putih. Kalau tidak benar pasti salah itulah kebiasan berpikir hitam putih. Seakan-akan tidak ada warna lain dalam dunia ini. Semua dihadapkan pada dua hal yang kontras, seperti benar-salah dan gagal-berhasil. Kebiasaan berpikir seperti ini menyederhanakan pikiran kita sehingga setiap kali kita gagal dalam melakukan sesuatu kita akan menyesal akan segala proses yang telah kita lakukan. Cara menanggulangi kebiasaan seperti ini adalah dengan memandang sesuatu berdasarkan pada lebih dari satu aspek pengalaman kita. Kita dapat menggunakan berbagai kacamata sehingga kita dapat lebih dekat dengan realitas.Â
Kedua, kebiasaan berpikir seharusnya, hidup dalam harapan dan aturan yang tidak fleksibel. Orang yang cenderung berpikir seperti ini merupakan orang yang tidak bisa fleksibel. Semuanya harus sesuai dengan apa yang sudah direncanakan. Bila ada yang tidak sesuai dengan dirinya, ia membuat tameng akan ketidaksesuaiannya. Ketidakmampuannya mencapai suatu harapan bisa menyebabkan depresi. Sebuah "keharusan" yang harus ada dalam diri kita. Padahal, manusia bukanlah pribadi yang sempurna. Harapan itu baik tetapi kita diharapkan tetap mencintai diri kita sendiri dan tidak memaksa sesuatu harus berjalan sesuai rencana.
Ketiga, kebiasan berpikir selektif, hanya memikirkan sisi gelap. Setiap kali manusia mendapatkan peristiwa yang tidak enak, misalnya remedial suatu mata pelajaran kecenderungannya mereka akan berpikir hal negatif. Mereka menyesali aktivitas remedi yang ia dapat. Kalau dilihat dari kacamata positif, siswa itu dapat menjadi lebih paham materi yang diberikan yang mungkin bisa digunakan dalam hidup sehari-hari. Cara konkret untuk melawan kebiasaan berpikir seperti ini adalah dengan menuliskan tiga hal baik yang diterima hari ini. Dengan begitu, kita akan menyadari segala kebaikan yang diterima.Â
Keempat, kebiasaan berpikir mengubah positif menjadi negatif, sang sinis. Manusia seringkali tidak percaya akan perkataan orang lain. Misalnya, ada orang yang memuji dirinya. Pujian itu adalah bentuk apresiasi atas dirinya yang telah melakukan sesuatu. Namun, manusia sering mengubah pengertian itu, mereka malah mengganggap bahwa pujian itu sebagai alat untuk menjilat dirinya. Kebiasaan berpikir ini dapat kita lawan dengan memandang sesuatu dengan realistis. Kalau ada orang memuji berarti kita mengucapkan terima kasih karena telah mengapresiasi diri.
Kelima, kebiasaan berpikir generalisasi, semua sama. Generalisasi ini adalah penyamarataan pandangan kita terhadap setiap orang. Misalnya, tiga perempuan yang pernah dekat denganku adalah playgirl. Mereka bermain dengan laki-laki lain di belakang. Aku pun beranggapan bahwa semua cewe adalah playgirl. Padahal, semua yang ada di dunia ini variatif, beragam-ragam orangnya. Mungkin tiga perempuan tadi merupakan salah tiga dari banyaknya perempuan. Tidak semua perempuan sama seperti yang kupikirkan. Tidak ada kata semua dan selalu karena pasti ada celah di antara dua kata itu. Cara mengantisipasi kebiasaan berpikir ini adalah mengganti kata "semua" dengan beberapa dan kata "selalu" menjadi kadang.Â
Keenam, kebiasaan berpikir malapetaka, ketika betu kerikil terlihat seperti gunung. Kebiasaan berpikir ini manusia menyambungkan hal-hal kecil yang kemungkinan menimbulkan malapetaka di masa depan. Sayangnya, manusia cenderung melebih-lebihkan beratnya situasi yang tidak menyenangkan dan memperbesar permasalahan lebih dari realitasnya sendiri. Cara melawan kebiasaan berpikir ini adalah memahami bahwa semua berkat dan masalah datang bergantian. Tidak selalu berkat datang dan tidak pernah masalah tidak datang dalam hidup kita.