Kisah Dewa_Kipas dan GothamChess dibuat mirip kisah David dan Goliath yang sebenarnya gagal kita pahami.
Publik membicarakan bahwa Ali Akbar "memanfaatkan" (atau "bekerja sama dengan") Pak Dadang Subur dan simpati publik Indonesia yang berujung kepada perisakan kepada Levy Rozman (GothamChess) dan pertandingan catur dengan hadiah total 300 juta Rupiah melawan GM Irene Kharisma Sukandar.
Baca kisah Dewa Kipas dan Gotham Chess dari kacamata media internasional: Bagian 1, Bagian II, dan Bagian III.
Tulisan ini berangkat dari argumen pertama berupa "pemanfaatan". Ali Akbar memanfaatkan simpati publik dengan menampilkan kisah "GothamChess vs Dewa_Kipas" sebagai kisah "David melawan Goliath".
Selama 3.000 tahun, kisah David dan Goliath telah meresap ke dalam sanubari kita. Biasanya beginilah kisah ini diceritakan: seorang gembala muda bertempur dengan prajurit raksasa dan, hanya menggunakan katapel, keluar sebagai pemenang. Sosok yang kecil melawan raksasa besar dan berhasil mengalahkannya. Sang underdog berjaya atas topdog.
Mayoritas orang suka kepada jika sosok yang tidak diunggulkan atau yang diremehkan menjadi pemenang.
Jika di Alkitab cerita berakhir pada saat David menang, maka di dunia nyata Goliath dilihat punya beragam cara untuk membalikkan hasil jerih payah David.
Kemenangan Dewa_Kipas atas GothamChess berujung kepada pemblokiran akun Pak Dadang Subur yang dianggap melakukan kecurangan. Ali Akbar menceritakan sosok Dewa_Kipas yang tidak berdaya dihadapan mereka yang berkuasa.
Obsesi masyarakat untuk berpihak kepada sosok kecil lalu mengaburkan bahwa kedua pihak tidak bertanding dalam posisi timpang. Setiap pertandingan catur dimulai dengan pemain memiliki bidak dengan jumlah yang sama dan berada di posisi awal yang serupa. Kedua pihak bisa bertandingan dengan adil atau salah satu diantara mereka melakukan tindak curang.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya David and Goliath: Underdogs, Misfits and the Art of Battling Giants. Bukunya membedah ulang mitos akan David dan Goliath dan menunjukkan bahwa cerita tersebut memiliki detil yang gagal dipahami awam.
Hal yang membuat Goliath tampak kuat (manusia raksasa dengan pelindung badan dan persenjataan lengkap) adalah sumber kelemahan terbesarnya. Hal ini diisyaratkan dalam catatan asli tentang pertempuran Daud dan Goliat, dan yang telah dikonfirmasi baru-baru ini oleh para sarjana modern.
David juga tidak seperti yang Anda pikirkan. Bagian yang menarik adalah berapa banyak cendekiawan, terutama cendekiawan Israel sepanjang sejarah, yang terpesona oleh cerita ini dan catatan tertulis tentang apa sebenarnya senjata David itu.
Kita sekarang mengerti bahwa senjata David bukanlah mainan anak-anak. Ketapel yang efeknya begitu menghancurkan dan mirip pistol di era modern digunakan David melawan Goliath.
David bukan lagi yang tertindas ketika memasuki pertandingan. Setelah Anda memahami bahwa Goliath jauh lebih lemah dari yang Anda kira, dan David memiliki teknologi yang unggul, Anda akan berkata: mengapa kita menikmati kisah romantis yang mengaburkan situasi sebenarnya dimana kedua sosok memulai pertandingan sama kuat?
Nyatanya kita menyukai cerita romantis dimana kemenangan David merupakan kemustahilan yang terwujud. Kisah David menampakkan dunia tampak adil. Jika sosok yang kuat memenangkan semua pertempuran, tidak ada harapan bagi kita semua, bukan?
Kesuksesan David melawan Goliath dan Dewa_Kipas melawan Gotham Chess bergantung kepada sosok pencerita dan bagaimana perspektif pembacanya menerima. Menerima cerita dari penulis Alkitab dan Ali Akbar memaksa kita untuk percaya penuh atau tidak sama sekali.
Cerita underdog memberi kita semua yang tidak berada di atas suatu harapan. Kadang-kadang kita bisa menjadi yang teratas. "Underdog has its day," Mereka yang tidak diunggulkan akan berada di atas pada suatu hari.
Anda melihat polanya, bukan? Menampilkan diri sebagai sosok hero kepada media, sempat tidak berminat untuk melakukan tanding ulang, pada akhirnya mau melakukannya dan kalah secara mutlak, menutup drama dengan meminta kisah tidak diungkit kembali sembari membawa pulang hadiah akhir.
Yang saya sulit percayai adalah kekaguman masih dialamatkan kepada sosok Ali Akbar dan Pak Dadang Subur, lama setelah kelanjutan kisah mereka memberikan indikasi bahwa kecurangan terjadi dan yang terjadi adalah mereka menang atas sistem.
Yah, saya pikir ini adalah salah satu kontradiksi yang kita bawa di kepala kita tanpa pernah sepenuhnya terselesaikan.
Kita ingin berada di pihak yang menang, dan di saat bersamaan ingin mendukung yang tidak diunggulkan.
Hal ini tentu masuk akal. Maksud saya, jika kita bisa berada di posisi berkuasa dan berada di atas, saya ingin menggegamnya. Jika tidak, kita ingin memposisikan diri sebagai yang tertindas dan terlindung dari tekanan.
Baca juga: "GM Irene Menang Atas Dewa Kipas, Netizen Indonesia Siap Minta Maaf?"
Ali Akbar bisa jadi benar mendorong Pak Dadang Subur untuk meraih keuntungan finansial dari drama yang dibangun berdasarkan rasa simpati kepada "sosok kecil" melawan "raksasa" (GothamChess, chess.com, pecatur profesional beserta asosiasinya) dengan sedikit bumbu nasionalisme.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI