Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan bahwa vaksin COVID-19 dari AstraZeneca haram, namun dapat digunakan untuk sementara waktu dikarenakan ketiadaan alternatif.
Jika perdebatan vaksin halal atau haram menjadi isu yang sering muncul di Indonesia, bagaimana kemudian umat Islam di negara lain melihat halal -- haram dari vaksin tersebut?Â
Sadakat Kadri lewat publikasi The Guardian memberikan pertimbangan atas vaksin ditinjau dari sudut pandang umat Muslim di berbagai penjuru dunia.
Anda dapat membaca tulisan penuhnya di sini.
Selain itu, fakta terkait vaksin AstraZeneca yang telah masuk di Indonesia ada di sini: "Amankah Vaksin AstraZeneca? Fakta Bagian Kedua"
Seiring dengan percepatan program vaksinasi Covid-19 di Inggris, optimisme tentang keefektifannya telah meningkat.
Menurut Kantor Statistik Nasional pada rilis bulan Februari 2021, sembilan dari 10 orang ingin mendapatkan suntikan vaksin, naik dari 78% pada Desember 2020 lalu. Tetapi ada disparitas jika menilik perbedaan identitas.
Royal College of General Practitioners melaporkan bahwa antusiasme akan vaksinasi dalam komunitas Asia dan kulit hitam turun antara dua pertiga setengah, dan - seperti yang diakui banyak imam - kecurigaan terhadap vaksin sangat tinggi di kalangan Muslim.
Mengapa? Perhatian umat Islam menyoroti bahwa vaksin mengandung babi.
Keyakinan ini tidak dibuat - buat. Gelatin yang berasal dari babi dan dimurnikan secara kimiawi berguna untuk menstabilkan bahan aktif banyak obat. Produsen telah mengupayakan pengganti gelatin di luar babi, tetapi produk turunan dari hewan ini masih umum digunakan dalam larutan injeksi.
Hal itu membuat Muslim terkadang khawatir bahwa vaksin bisa jadi haram dan dilarang digunakan. Sebagai contoh, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam vaksinasi untuk meningitis pada tahun 2008 (yang, cukup kontraproduktif, mendiskualifikasi ribuan Muslim yang tidak bisa berangkat haji karena tidak mengambil vaksinasi tersebut).