Mohon tunggu...
W. Bintang
W. Bintang Mohon Tunggu... Freelancer - Variety Writer

Penulis lepas, memberikan perspektif atas apa yang sedang ramai dibicarakan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Setahun Pandemi: Kerja dari Rumah Mengaburkan Waktu

18 Maret 2021   12:14 Diperbarui: 19 Maret 2021   12:12 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nilai akan waktu menjadi kabur ketika bekerja di rumah (Tumisu/Pixabay)

Minggu-minggu ini menandai setahun setelah COVID-19 mulai melanda dunia. Rasa - rasanya bekerja dari rumah menyebabkan kita lupa makna akan waktu.

Setahun terakhir telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan kita. Bekerja dari rumah dengan pernak pernik yang tidak terbayangkan ketika berkantor secara normal kemudian menjadi biasa saja, bahkan menjemukan.

Sementara itu, teman, keluarga, kolega, dan komunitas kita telah melalui perubahan masif yang dampaknya akan terasa lama setelah pandemi berlalu. Hidup melalui pandemi global telah mendorong perubahan dramatis dalam pekerjaan kita, kebiasaan makan, pengasuhan anak, dan bahkan kesadaran waktu kita secara kolektif.

Mari kita cermati dua refleksi berikut

Bekerja dari rumah

Mungkin tidak ada fenomena COVID-19 yang memiliki dampak yang lebih tahan lama daripada WFH (Work From Home), atau bekerja dari rumah. Pandemi telah mendorong perusahaan di seluruh dunia untuk menutup kantor mereka dalam waktu sekejap.

Perubahan suasana dari kantor dan rumah memberikan sesuatu baru. Kemacetan lalu lintas menghilang di kota-kota besar. Perusahaan melaporkan penghematan terkait utilitas dan biaya operasi on-site, dan mulai memandang kantor mereka yang mahal sebagai hal yang tidak perlu karena bisnis mereka tampaknya berjalan baik-baik saja tanpa mereka.

Sekarang, setahun kemudian, tampaknya kehidupan kantor mungkin tidak akan pernah sama lagi. Bagi jutaan orang, bekerja dari rumah telah menandakan suatu privilese. Jurang sangat jelas terlihat di jalanan antara mereka yang dapat melakukan pekerjaan mereka dari jarak jauh, dan pekerja transportasi, kesehatan, atau ritel bergaji rendah yang tidak memiliki pilihan WFH.

Dengan tutupnya kantor, sejumlah besar pekerja restoran kantin dan jam makan siang, petugas kebersihan, dan lainnya telah kehilangan pekerjaan sama sekali. Ini adalah "bom waktu lonjakan ketidaksetaraan," kata ekonom Stanford, Nicholas Bloom.

Terlepas daripada kemewahan bekerja dari rumah, sebagian besar karyawan jarak jauh mengatakan bahwa ketika pandemi akhirnya berakhir, mereka akan menginginkan kebebasan untuk memilih tempat mereka bekerja, dengan banyak yang lebih memilih perpaduan fleksibel antara kantor dan rumah.

Baca juga: "WFH dan Dampaknya" oleh Ropiyadi ALBA

Di sisi lain, perusahaan juga harus mempersiapkan perubahan drastis atas kantor mereka. Mulai dari elevator tanpa sentuhan dan kubikel yang lebih akomodatif untuk pembatasan sosial, perusahaan harus memikirkan akomodasi tersebut ketika aktivitas on-site kembali.

Kembali lagi, bisnis bisa saja menghemat jutaan untuk utilitas dan sewa kantor dan produktivitas lebih terukur ketika semua orang bekerja di rumah tanpa diselingi rapat atau kumpul di kantor. Tapi kerugian dari menjadikan WFH permanen sama besarnya.

Mereka yang baru memulai karier mengalami kelelahan setelah berjuang keras untuk menjadi produktif saat bekerja dari rumah. Dan penelitian menunjukkan bahwa kontak tatap muka masih cukup penting untuk menghasilkan ide-ide baru. Gmail, Google News, dan Street View semuanya berkembang dari obrolan melalui makan siang gratis di Kantor Pusat Google.

Namun pada akhirnya, WFH akan jadi budaya dari dunia kerja modern.

Makna akan waktu

Banyak orang menggambarkan bahwa setiap hari pandemi adalah Groundhog Day. Seperti yang dialami Bill Muray dalam film dengan judul yang sama, kita terbangun dan menyadari bahwa kita dipaksa melakukan rutinitas yang sama.

Pandemi telah membuat kita sulit merasakan peristiwa penting dalam hidup kita --pekerjaan, sekolah, kencan, acara sosial, acara olahraga, perjalanan, hal - hal yang akan melahirkan memori yang terus kita ingat senantiasa. Hidup cenderung kabur tanpa jangkar itu, Ruth Ogden dari John Moores University, Liverpool, menjelaskan.

Bagi orang yang telah dapat bekerja dari rumah selama pandemi, efek disorientasi tersebut diperparah oleh runtuhnya batas antara pekerjaan dan rumah, dan hari kerja bukan lagi 9-17, namun 24 jam sepenuhnya; Anda tidak pernah benar-benar dapat meninggalkan kantor selama pandemi.

Teknologi, tentu saja, mulai mengikis tembok antara pekerjaan dan rumah beberapa dekade yang lalu, membagi karyawan menjadi dua jenis: "segmenters" yang menyukai batas dan "integrator" yang lebih fleksibel ---tetapi para ahli, seperti Nancy Rothbard, profesor manajemen di Wharton School University of Pennsylvania menunjuk bahwa pandemi semakin mengikis batas jelas antara rumah dan kantor.

Studi menunjukkan pekerja jarak jauh bekerja lebih lama. Sebuah tim dengan Harvard Business School, menggunakan rapat dan metadata email dari sekitar 3,1 juta karyawan di seluruh dunia, menemukan bahwa hari kerja selama pandemi rata-rata lebih lama 48,5 menit. Dalam sampel karyawannya, Microsoft menemukan bahwa mereka lebih sering bekerja di malam hari, saat makan siang, dan selama akhir pekan.

Namun, bagaimana kita mengalami perjalanan waktu selama pandemi lebih bersifat pribadi, kata Ogden. Dalam studinya selama lockdown kedua di Inggris Raya pada musim dingin ini, sekitar 40% responden merasakan bahwa waktu berlalu lebih lambat dari biasanya. 40% lainnya merasa itu bergerak lebih cepat. (Dan 20%, mungkin pekerja esensial, tidak mengalami perubahan.)

Perbedaan, menurut Ogden, berasal dari beberapa faktor. Untuk orang-orang yang sibuk, yang puas dengan interaksi sosialnya, dan yang tidak stres, waktu kembali bergerak cepat. Kebalikannya, bagi mereka yang kesepian, bosan, serta mengalami kecemasan dan depresi, waktu bergerak perlahan.

Akankah setahun dalam waktu pandemi, bagaimanapun kita mengalaminya, memiliki implikasi jangka panjang? Para ahli melihat setelah pandemi, hari kerja akan tetap lebih fleksibel dan lancar daripada sebelumnya, dan bahwa untuk sementara, setidaknya orang mungkin sedikit lebih menghargai dan bijaksana tentang waktu yang mereka miliki dan bagaimana mereka menggunakannya.

"Kita menyadari bahwa waktu selama satu tahun itu cukup penting," kata Simon Grondin, seorang profesor psikologi di Laval University dan penulis The Perception of Time: Your Questions Answers. Tapi, jika pandemi terus berlangsung, Grondin secara ironis yakin bahwa kepekaan terhadap berharganya waktu akan ikut lenyap karena realita baru.

Baca juga: "Begini Cara WFH Tetap Efektif" oleh Budi Hermawan

Budaya kerja dan waktu berubah karena COVID-19. Dua refleksi ini penulis tawarkan untuk jadi titik berangkat dalam kita melihat lebih jauh apa lagi yang berubah setahun setelah pandemi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun