Mohon tunggu...
W. Bintang
W. Bintang Mohon Tunggu... Freelancer - Variety Writer

Penulis lepas, memberikan perspektif atas apa yang sedang ramai dibicarakan.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Hubungan Toxic? Move On dengan 4 Langkah Strategis

12 Maret 2021   13:24 Diperbarui: 19 Maret 2021   11:51 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit: Joey Velasquez/Pixabay

Apa yang anda bisa pertimbangkan agar tidak terjerat dalam hubungan tidak sehat? Beberapa tips move on dari mantan / hubungan yang toxic.

Jika ada satu kesalahan paling umum yang dijumpai manusia, kesalahan tersebut adalah bertahan pada suatu hubungan jauh melewati tanggal kedaluwarsanya.

Anda bisa menanyai orang atas perjalanan percintaan mereka: Bandingkan berapa kali Anda mendengar seseorang berkata, "Maaf saya tidak memberi kesempatan untuk hubungan ini bertahan," dengan seberapa sering Anda mendengar, "Saya seharusnya keluar dari hubungan ini sejak lama."

Kita adalah makhluk yang menginginkan kestabilan, namun di saat sama ingin melangkah dan menatap ke depan. Kita tahu bahwa kita harus maju, tetapi kita bertahan karena berbagai alasan --- rasa nyaman, optimisme berlebihan bahwa bertahan adalah sesuatu yang baik, atau menjatuhkan pilihan pada hal yang diketahui daripada ketidakpastian masa depan, rasa takut membuat kesalahan, atau memang lamban untuk sadar bahwa hubungan sudah toxic.

Apa yang bisa anda lakukan untuk mulai move on? Berikut adalah empat strategi yang disarikan dari publikasi Psychology Today yang dapat membawa hati dan pikiran Anda ke tempat yang lebih baik:

1. Kenali faktor yang menahan Anda

Apakah Anda menyadari bahwa kecenderungan Anda untuk bertahan pada suatu hubungan terjadi ketika Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan dalam satu dari sekian kesempatan? Ketika intuisi anda berkata untuk pergi, lawan anda malah mengatakan apa yang telah Anda tunggu-tunggu untuk didengar atau bertindak seperti yang selalu Anda inginkan.

Anda kemudian menaruh harapan sehingga memberi seseorang "satu kesempatan lagi" atau bertahan sembari "menunggu dan melihat apa yang terjadi." Dalam kondisi seperti ini, jangan bohongi diri anda.

Optimisme bahwa semua akhirnya akan baik -- baik saja hanyalah impian semu. Ingatlah bahwa beberapa orang dalam suatu hubungan mampu memanipulasi pasangannya dengan sekali-kali memberikan apa yang diinginkan, dan upaya tersebut malah menegaskan betapa timpangnya posisi mereka atas pasangannya. Ingatlah bahwa Anda pantas dicintai dan diperlakukan sebaik mungkin setiap waktu dan bukan hanya sesekali.

2. Berhenti memikirkan investasi Anda atas suatu hubungan

Manusia terkenal perhitungan, seperti yang ditunjukkan oleh Amos Twersky dan Daniel Kahneman, dan begitu kita mulai membiarkan masalah untung rugi masuk dalam pikiran kita, kita secara otomatis menginventarisasi semua hal yang telah kita berikan untuk suatu hubungan.

Investasi yang sudah diberikan tidak akan kembali walaupun anda pikirkan baik -- baik (sunk-cost fallacy). Jika Anda mendapati diri Anda berpikir atau berbicara tentang seberapa besar investasi atas hubungan, segera hentikan! Sebaliknya, berkonsentrasilah pada apa yang dapat Anda lakukan dengan waktu dan energi Anda di tempat baru atau dengan orang baru. Pepatah lama ternyata benar: tidak ada gunanya menangisi susu yang tumpah.

Halaman selanjutnya: Waspadai zona nyaman

3. Waspadai zona nyaman

Kadang-kadang, kita bertahan dalam hubungan toxic karena sudah terbiasa. Manusia bisa merasa akrab dan nyaman atas sesuatu yang bisa jadi salah karena telah terbentuk sejak masa kecil.

Coba jujur pada diri sendiri dan cari tahu apa yang terasa "familiar" tentang situasi hubungan yang sedang anda hadapi. Kita sering tertarik pada orang dan situasi yang membuat kita merasa "di rumah," terlepas baik atau buruknya.

Ethan Kross dan rekan-rekannya lalu merekomendasikan Anda untuk meninjau hubungan yang sedang dijalani dari perspektif luar, bukan sebagai yang terlibat. Posisikan diri anda sebagai pengamat dan membayangkan bahwa orang lain menjalani hubungan yang sedang Anda alamai.

Alih-alih berfokus pada APA yang Anda rasakan, berkonsentrasilah pada MENGAPA Anda merasakannya. Dari sana, Anda diharapkan mampu mengelola emosi Anda tidak mengambil alih rasionalitas Anda ketika memutuskan untuk move on dari suatu hubungan.

Baca juga: "Alasannya Tidak Anggap Enteng Luka Batin dari Pasangan Hidup" oleh Gobin Dd

4. Mengantisipasi stres saat meninggalkan hubungan

Melepaskan itu sulit -- bahkan jika itu yang Anda inginkan dan butuhkan dan Anda yakin itu adalah hal yang benar untuk dilakukan -- dan Anda harus mempersiapkan diri untuk merasakan sesuatu yang hilang bersamaan datang dengan euforia.

Merasa kehilangan tidak bisa dihindari, bahkan jika hubungan sudah di tahap merusak atau menyakitkan. Jika keputusan Anda memengaruhi orang lain --- anak-anak dalam kasus perceraian, atau meninggalkan pekerjaan atau karier yang bergaji tinggi --- peluang untuk stress semakin tinggi.

Orang luar cenderung kritis terhadap mereka yang "egois" untuk menyelamatkan diri sendiri dalam suatu hubungan yang melibatkan banyak orang; penting untuk Anda mengatakan ke diri sendiri bahwa Anda sudah berani untuk pergi walau ditekan dari setiap penjuru.

Jika anda masih dalam hubungan toxic, namun sudah mulai berpikir untuk move on, tulisan E.J. Masicampo dan Roy F. Baumeister telah menunjukkan bahwa hanya dengan membuat rencana --- bahkan jika Anda belum siap untuk melaksanakannya --- dapat membuat Anda lepas dari kekhawatiran yang berulang-ulang dan invasif. 

Tentu saja, akhir terbaik dari suatu rencana adalah dengan Anda benar-benar meninggalkan hubungan toxic. Namun hanya dengan memvisualisasikan dan merumuskan niat untuk bertindak akan membantu mengurangi stres.

Baca juga: "Bucin Boleh, Toxic Jangan!" oleh Ardiana

Saya berharap bahwa Anda dapat menjalani setiap hubungan dengan baik. 4 strategi di atas harapannya dapat membantu Anda yang sedang dalam kesusahan mampu mengambil keputusan besar atas hubungan yang sedang anda jalani. Salam hangat.

Sumber:

Baumeister, Roy F. and John Tierney, Willpower. New York: Penguin Books, 2011.

Kross, Ethan, Ozlem Ayduk, and Walter Mischel. "When asking "why" does not hurt: Distinguishing rumination from reflective processing of negative emotions." Psychological Science, 16, vol.9 (2005), 709-715.

Masicampo, E.J. and Roy F. Baumeister, "Consider It Done! Plan Making can Eliminate the Cognitive effects of Unfulfilled Goals," Journal of Personality and Social Psychology (October, 2011), 4, 667-683.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun