Mohon tunggu...
Willibrodus Nafie
Willibrodus Nafie Mohon Tunggu... Wiraswasta - Doa Terbaik Adalah Melakukan Kebaikan

Setia Melakukan Perkara Kecil

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita Lolos dari Kondisi Buruk karena Ilmu Saat Nyantri

19 Desember 2021   10:08 Diperbarui: 19 Desember 2021   10:26 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiky Ikhsan saat mengisahkan pengalamannya (foto Willibrdus Nafie)

Cerita lolos dari kondisi buruk, karena ilmu saat nyantri  adalah kisah seorang pemuda bernama Fiky Ikhsan. 

Pria berusia 26 tahun ini, mengawali dengan berucap bahwa  lulusan pesantren tak selamanya hanya bisa menjadi guru ngaji ataupun kyai, tetapi bisa menjadi guru bagi diri sendiri dalam mengarungi perjalanan hidup.

"Manusia tempatnya salah. Tetapi saya kan sudah belajar banyak saat mondok dulu. Saya harus berusaha sekuat tenaga menjaga nilai-nilai norma yang sudah diajarkan saat nyantri dulu," ungkap Fiky saat membagikan pengelaman tinggal di Jakarta.


Cerita Berawal dari Binjai, Sumatera Utara

Berawal selepas lulus sekolah di Binjai, Sumatera Utara, saat banyak sesama rekan 'tongkronggan' masih berpikir senang-senang. Berbeda dengan Fiky Ikhsan. Dia mulai memikirkan bagaimana menata masa depannya, serta membantu perekonomian kedua orang tua.

Fiky Ikhsan dalam hari-harinya terus berupaya keras. Bahkan hingga mencoba peruntungan dengan berdagang bensin eceran di kampung halaman. Proses demi proses dilalui. Berjalannya waktu usahanya tak berbuah hasil maksimal. Timbul dalam pikiran untuk mencoba peruntungan di luar kampung halaman.

Fiky Ikhsan memutuskan untuk merantau di usia muda. Ibu Kota menjadi pilihan mencari pekerjaan dan uang, sekaligus mengejar impian untuk kuliah.

"Tahun 2013 masih di Kampung. Baru tahun 2014, saya berangkat dari Binjai, Sumatera Utara menuju Jakarta," kata pemuda jebolan Pondok Pesantren  Al-Muhajirin itu.


Cerita Lolos dari Kondisi Buruk karena Ilmu Saat Nyantri


Fiky Ikhsan yang masih muda tiba di Ibu Kota pada awal tahun 2014. Berbagai rintangan mengiringi hari-hari perjalanan hidupnya di Jakarta. Terkadang terasa mimpi sangat sulit untuk digapai. Proses panjang dan melelahkan sempat membuatnya nyaris menyerah.

Memang kemarin gelap, mungkin hari ini mendung. Namun pada dasarnya di balik awan, matahari tidak pernah berhenti bersinar. Tiba-tiba Fiky yang sedang dalam kurungan kepasrahan, dihubungi untuk proses interview. Singkat cerita diterima bekerja bagian marketing di salah satu perusahaan asuransi.

Bekerja bukan berarti masalah selesai. Timbul persoalan baru, Fiky Ikhsan muda yang belum berpengelaman ini tidak pandai berbicara, sementara marketing adalah ujung tombak guna menghasilkan cuan bagi perusahaan.

Memang Tidak ada jalan yang mudah dari bumi ke bintang-bintang. Tetapi Jangan menyerah hanya karena waktu yang diperlukan untuk mencapainya. Fiky Ikhsan  yakin dengan belajar semuanya akan datang pada waktunya sendiri. 

Semuanya datang saat memang sudah matang. Terbukti, dirinya bisa bahkan  mampu memasarkan barang atau jasa sesuai target perusahaan.

"Setiap hari saya belajar dari yang enggak bisa ngomong jadi bisa ngomong. Benar pesan bapak saya, kalau kamu yakin dan terus belajar suatu saat pasti bisa," ucap Fiky mengenang pesan ayahnya dengan optimis.

Waktu terus berjalan. Fiky Ikhsan bertransformasi menjadi marketing handal di perusahaan asuransi tempatnya bekerja. Bersamaan penghasilan terus bertambah, teman pun beragam karena dari berbagai latar belakang.

Jalan masuk ke ruang pergaulan bebas pun semakin terbuka lebar. Hati nurani Fiky, bersebrangan dengan gaya hidup rekan-rekan sejawatnya.  Dua poros yang berbeda ini sungguh mengguncang akalnya.

Satu sisi kerap diajak ke hal negatif, di sisiain Fiky Ikhsan adalah seorang mantan Santri. Sudah banyak belajar ilmu pendidikan agama Islam di pondok pesantren. Putra ke-2 dari Bapak Syahibul Anwar ini meski menjaga sikap sosio-religius yang telah membekalinya selama mengemban ilmu di ponpes.

"Saya pernah mondok. Saya santri yang harus menjaga nilai-nilai pedoman perilaku yang sudah saya dapat. Kawan kerjaan pada bebas ngobat macam-macam, diajak selalu saya tolak. Akhirnya saya memilih untuk  berhenti dari kerja daripada kejerumus. Jadi 2 tahun kerja saya putuskan mengundurkan diri dari marketing," ungkap pemuda yang mengenakan sweater berwarna putih itu.


Dok Pribadi
Dok Pribadi
Seminggu Belajar Nyetir, Langsung Jadi  Sopir Taksi Online

Fiky Ikhsan saat masih bekerja sebagai marketing rajin menabung. Resign dari pekerjaan ia mencoba kredit mobil untuk dimamfaatkan sebagai taksi online dengan tabungan uang yang dimiliki.  

Mobil baru pun datang bersama dengan masalah baru. Fiky Ikhsan tidak bisa mengemudi mobil. Dia harus mengambil tindakan. Melakukan yang mustahil karena menyerah tidak pernah bisa menjadi pilihannya.

Dia lalu mencoba belajar sendiri, alhasil dalam seminggu sudah seperti sopir profesional. Bahkan pemuda optimis ini bisa mengemudi di jalan umum tanpa hambatan.

"Saya akhirnya belajar nyetir sendiri seminggu dan bisa. Beberapa hari pas waktu itu bapak saya mau pulang dke Binjai, saya dari Citayam antar sendiri ke Bandara Soekarno Hatta. Alhamdulilah selamat enggak ada hambatan, bahkan saya juga kayak sopir-sopir yang sudah pengelaman gitu," ungkap pria yang sudah 7 tahun tinggal di perantaun itu.

Fiky Ikhsan yang sempat kuliah jurusan Teknik Komputer itu, akhirnya menjalankan hari-harinya sebagai seorang sopir taksi online. Penghasilan  memang tak statis alias selalu berubah. Namun tetap dijalani dengan nikmat dan syukur.

Bagi pemuda jebolan Madrasah Aliyah Negeri Binjai itu, bila bekerja hanya mencari kemewahan dunia, sulit hati merasakan ketentraman hidup. Bila menempatkan pekerjaan sebagai ladang ibadah Insyallah berkah.

"Manusia diciptakan lengkap dengan rezekinya masing-masing, tak akan tertukar. Tinggal jemput dengan ikhtiar dan doa. Intinya kerja apapun itu kalau hati kita damai, Insyallah berkah bermamfaat," tutup anak dari pasangan suami istri Syahibul Anwar dan Kartika itu.

Penulis: Willibrodus Nafie/Aktivis Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun