Mohon tunggu...
Willibrodus Nafie
Willibrodus Nafie Mohon Tunggu... Wiraswasta - Doa Terbaik Adalah Melakukan Kebaikan

Setia Melakukan Perkara Kecil

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Debt Collector Beralih Menjadi Wartawan

6 Desember 2021   00:10 Diperbarui: 6 Desember 2021   07:29 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah debt collector beralih menjadi wartawan, merupakan bagian yang mengisi perjalan hidup Tahta Amrilah, seorang wartawan di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

Dia mengambarkan bahwa perjalanan hidup bakal selalu melewati sebuah terowongan gelap tetapi harus tetap menjaga cahaya hati agar tidak pernah padam.

Tahta Al'Djamaz, begitu panggilan akrabnya tampak begitu antusias membagikan pengelaman pribadinya di sela-sela uji kompetensi wartawan di Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, pada Sabtu (5/12/2021).

Berawal dari lulus kuliah pada tahun 2005, anak bungsu dari empat bersaudara ini memilih mengabdikan dirinya sebagai guru SMP Abdi Persada dan SMA Muhammadiyah Muara Enim.

Setiap hari Tahta meski berbagi waktu pagi dan siang untuk mengajar di kedua sekolah tersebut. Pengamatan orang ini adalah bentuk kerja keras, tetapi Tahta Al'Djamaz melihatnya sebagai perjalanan untuk dinikmati, bukan tuntutan untuk dijalani.

"Saya serius mengabdi. Bahkan saya pernah disuruh ketua Yayasan untuk jadi kepala sekolah. Tetapi karena waktu itu saya masih muda, akhirnya saya serahkan amanah itu kepada yang senior," kenang pria berkacamata itu saat masa-masa usia muda menjadi seorang guru, Minggu (5/12/2021).


dokpri
dokpri
 

Pria yang juga aktif di Pemuda Muhammadiyah ini menyampaikan pendidikan adalah suatu pintu peradaban. Namun gerbang tersebut tidak bakal terbuka tanpa ada seorang guru. Tetapi di republik ini nasip guru honorer bagaikan anak tiri di negerinya sendiri.

Kondisi ini yang kemudian memantik

Tahta Al'Djamaz kerap ikut bersuara di daerah untuk memperjuangkan nasip para guru honorer. 

Bahkan mengkoordinir rekan-rekannya dari Muara Enim berangkat ke Jakarta melakukan aksi unjuk rasa di Gedung DPR RI terkait RUU Guru dan Pegawai Honorer.

Demonstrasi itu membuat sebagian rekannya sesama guru honorer diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara sementara dirinya dan masih banyak lagi tidak. 

Meski demikian Tahta tetap legowo dan bahagia. Baginya perjuangan adalah perjalanan yang harus dilalui tak peduli seberapa buruk jalan yang harus dilewati.

"Itulah risiko dari perjuangan," ungkap pria jebolan Sarjana Ilmu Pendidikan Sejarah itu dengan penuh semangat.

Pada tahun 2010, Tahta Al'Djamaz  berhenti menjadi seorang guru. Bapak beranak satu ini mencoba profesi baru, yakni bekerja di bidang perusahaan finance. Dia ditempatkan pada bagian penagihan atau yang santer disebut debt collector.

Hari-hari dilaluinya sangat berisiko tinggi. Teror menjadi hal yang selalu menemani hari-harinya saat melakukan penagihan ke nasabah.

"Saya bahkan pernah diancam untuk dibunuh gara-gara tagih utang. Tapi ya mau bagaimana lagi. Itulah risiko kerja," ungkap pria kelahiran 20 Juni 1982 itu sembari tersenyum.

Di tengah pelik menjadi seorang penagih utang, Tahta Al'Djamaz mencoba peruntungan maju sebagai Calon Anggota DPRD di Pileg 2014. 

Walau berproses sesuai ketentuan Pemilu, namun keberuntungan belum berpihak padanya untuk menjadi seorang anggota legislatif.

"Saya maju dari Partai PKS, tetapi tidak lolos. Tapi ya itu lagi risiko perjuangan. Hidup ini tidak selamanya berjalan sesuai yang kita inginkan," ungkap ayah dari M. Yusuf Amrilah itu.

Tahta Al'Djamaz mengatakan dalam kehidupan, manusia meski menentukan sikap, karena sikap yang mampu membuat diri seorang bertahan atau tidaknya di tengah kuatnya hantaman badai dan gelombang kehidupan.  

Hal itu dibuktikannya dengan walau banyak hambatan tidak bisa menghentikan gerak langkahnya.

Seperti ombak yang terus menggelinding ke bibir pantai, putra daerah Muara Enim ini akhirnya merasa menemukan sesuatu yang dianggapnya cocok untuk berkarya sekaligus bekerja, yakni menjadi seorang wartawan.

"Modal saya cuman sering membaca dan suka menulis dan akhirnya saya memilih sebagai Jurnalis. Bagi saya profesi jurnalis merupakan bagian dari mengapdikan diri untuk rakyat karena menjadi alat kontrol sosial dan menyalurkan hobi," tutup suami dari Eva Sustinawati ini.

PENULIS : WILLIBRODUS NAFIE // AKTIVIS SOSIAL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun