Perjuangan hidup sebagai anak-anak yatim di tempat pembuangan sampah terpadu (TPST), Bantargebang, Bekasi sungguh berat. Di usia masih belia mereka harus berpikir keras bagaimana bisa bertahan hidup selepas ditinggal orang tua.
Walau masih bisa sedikit memiliki harapan lantaran ditampung sebagai santri di Pondok Pesantren Nurjadiid, Kampung Ciketing, RT003/RW 003, Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.
Tetapi jangankan untuk mendapat fasiltas pendidikan yang layak, untuk makan sehari-hari saja anak-anak yatim di Pondok Pesantren Nurjadiid masih kesulitan. Bahkan setiap hari rela bergantian memulung di sekitar tempat pembuangan sampah. Barang-barang bekas yang dipungut dijual ke lapak. Hasilnya digunakan untuk menopang biaya konsumsi sehari-hari.
Tidak ada donatur. Pendiri Pesantren Nurjadiid hanya seorang pemulung bernama Saung Galing. Penghasilan Rp100 ribu sehari dari pria berusiah 28 tahun itu tidak mampu mencukupi kehidupan sehari anak-anak yatim di sana.
Aktivitas belajar pun terbatas selain mengandalkan guru yang mengajar hanya dalam seminggu sekali, fasilitas pendidikan seperti buku pelajaran, alat tulis dan sarana terkait lainnya juga minim. Namun pendidikan Islam terus diajarkan bagi anak-anak di sana.
Bagi Saung Galing fondasi utama mengubah masa depan anak-anak itu menjadi orang yang berguna adalah mengerti agama yang diyakini sejak belia.
Persoalan keterbatasan tidak hanya berhenti pada hal-hal di atas. Para anak-anak yatim di sana juga tidur di atas tikar bekas tanpa bantal, ditambah basah kuyup akibat tampias air hujan yang masuk lewat celah-celah atap.
Mata para santri juga mengalami kesakitan lantaran kerap kemasukan serbuk campuran semen dan pasir akibat dinding tembok masih kasar belum 'aci'.
Ketika berada di lantai dua, para santri tidak bisa leluasa. Sedikit lengah saja berisiko jatuh ke bawah. Tingginya sekitar 3,5 meter. Pagar di balkon tak kokoh, karena tak ada biaya terpaksa menggunakan bambu sebagai tiang penyanggah guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan tetapi rasa takut jatuh tetap membayangi anak-anak yatim itu.
Dapur yang digunakan untuk memasak juga masih gubuk, sudah reyot termakan usia dan sering bocor jika hujan turun.
Dari tahun 2010 hingga sekarang pembangunan Pondok Pesantren Nurjadiid tak kunjung selesai. Ada sekitar 250 anak di sana, namun yang bisa ditampung hanya sebagian karena tempat dan biaya terbatas. Tidak cukup hanya mengandalkan penghasilan Saung Galing dari memulung.
Kawan para orang baik saat ini Saung Galing membutuhkan dana sebesar Rp150 juta guna membeli berbagai perlengkapan untuk menunjang fasilitas pendidikan bagi para anak yatim. Juga membeli matras, bantal, lemari, dan membangun dapur serta meneruskan pembangunan pondok pesantren. Seperti mengokohkan pagar yang rapuh dan benahi kamar para santri yang belum layak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H