Kekalahan Timnas Indonesia 2-0 melawan Vietnam di Stadiun My Dinh pada tanggal 9/1/2023 menyebabkan rasa kecewa yang mendalam. Kecewa berat dialami oleh Timnas Indonesia beserta para suporter dan simpatisan.
Banyak dari kita yang mengungkapkan rasa kecewa tersebut dalam berbagai hal. Contohnya dengan menyalahkan pihak luar dan keadaaan.
Pelatih Shin Tae-Yong sendiri mengungkapkan bahwa kekalahan Timnas karena kondisi lapangan My Dinh yang kurang baik. Apakah hal itu benar? Bisa saja itu benar atau bisa juga keliru.
Serunya adalah sewaktu Timnas Indonesia berlaga vs Vietnam, kita selalu memberi semangat. Bahkan memberi semangat melalui suatu bentuk tulisan.
Seperti melalui puisi dari Bu Ety Supriyatin, yang berjudul "Harusnya Penentuan", di sana beliau memberikan semangat kepada Timnas Indonesia.
Namun hasil akhir tidak sesuai harapan dengan skor tanding Timnas Indonesia 2-0 kalah telak oleh tim Vietnam sebagai tuan rumah.
Di sana saya memberi semangat pula melalui kolom komentar, tapi sudah kepalang kalah. Game over. Mau apa lagi?
Lantas saya berpikir kenapa tidak tetap dan terus bersemangat meskipun telah gagal masuk babak final Piala AFF 2022? Toh di kemudian hari pasti akan ada pertandingan lagi.
Biasanya kalau kita mengalami kegagalan dalam suatu bentuk kekalahan pastinya ada rasa kecewa. Ada kecewa ringan, sedang, bahkan ada yang sampai depresi. Ya karena sudah menaruh harapan yang besar untuk menang dan sulit menerima kekalahan.
Kecewa sebenarnya merupakan perasaan yang wajar terjadi karena hal yang telah kita harapkan ternyata tidak sesuai ekspektasi. Atau setidaknya meleset tidak sempurna.
Namun jangan sampai kegagalan tersebut membawa penderitaan yang lebih serius seperti rasa putus asa, ratap nangis, kesedihan dan kekecewaan mendalam, serta depresi.
Nah melalui artikel inilah penulis ingin berbagi tentang pentingnya tetap merespon segala sesuatu dengan baik, meskipun telah mengalami kekalahan dan kegagalan
Mari langsung dibahas saja.
Penulis mengambil contoh pada saat kita mengalami kegagalan, cobalah untuk tidak bereaksi dengan tanpa pertimbangan dan terburu-buru.
1. Daripada kita membiarkan emosi awal membentuk reaksi yang negatif, cobalah untuk merasakan emosi itu. Kita bisa memberikan izin bagi diri sendiri untuk merasakannya.
2. Lalu tanpa mengatakan hal pertama yang terlintas di pikiran sebagai sebuah reaksi, cobalah untuk meluangkan waktu yang cukup untuk memikirkan tindakan selanjutnya dengan berhati-hati. Berikan jeda waktu di sana.
Ada kalanya kita akan terhanyut dan terbawa oleh emosi negatif. Saat itu kita lebih mengandalkan dan menurut emosi semata.
3. Alih-alih membiarkan emosi mengambil keputusan sebagai sebuah bentuk reaksi, kita bisa memperhatikan fakta dari situasi dan perubahan pada emosi.
Dari sana kita lebih bisa mengerti akan emosi yang muncul. Apakah emosi yang positif atau negatif. Apakah emosi itu yang bermanfaat atau berbahaya.
4. Kalau sudah sampai di sana, kita bisa berusaha untuk memandang situasi apa yang menyebabkan kegagalan dari perspektif yang berbeda. Bukan dari perspektif kita semata-mata.
Dengan demikian kita bisa mengarahkan emosi pada hal yang wajar, tidak berada di sana terus menerus, dan tidak menyalahkan keadaan dan pihak luar.Â
Itulah serangkaian dari respon yang baik dan bukan berupa reaksi yang buruk dan terburu-buru.
Bukankah lebih baik kita menghadapi semua hal dengan tenang, sabar, dan tidak gusar.
Apalagi keadaan dan pihak luar benar-benar sulit untuk dikontrol sesuai kehendak. Kita hanya bisa fokus pada apa yang bisa dikontrol yaitu bagaimana kita merespon situasi.
Bagaimana sobat Kompasiana, apakah kita ingin menjadi pribadi yang mudah terbawa emosi negatif atau sebaliknya?
Yuk belajar merespon segala situasi dengan baik tanpa memunculkan reaksi yang negatif.
****
Penulis: Willi Andy untuk Kompasiana.
Januari 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H