Di suatu pasar tradisional yang berada tidak jauh dari pusat kota, ada seorang pedagang buah-buahan. Jualannya tidak banyak, hanya beberapa macam buah-buahan dan sedikit macam sayuran.
Orang-orang memanggil beliau dengan sebutan Bu Tia. Beliau tidak punya suami dan anak. Hanya hidup seorang diri.
Beliau muali berdagang di pagi hari sekitar jam enam pagi. Semua dagangannya diperoleh dari hasil kebun sendiri.
Semua pekerjaan dikerjakan seorang diri, mulai dari bercocok tanam, panen dan menyiapkan jualan. Hasil dagangan kadang ramai dan kadang sepi. Begitulah nasib seorang pedagang. Tidak ada yang pasti. Yang pasti adalah perubahan itu sendiri.
Dalam hal berjualan, beliau kadang mengalami ketidakberuntungan. Misalkan ada orang yang mencuri dan berbuat curang, padahal beliau sudah berjualan di sana cukup lama dan harganya sangat terjangkau.
Hanya saja Bu Tia tidak pernah mengeluh terhadap kejadian-kejadian tersebut. Beliau selalu mempunyai jalan keluar untuk menghadapi para pencuri dan pembeli yang tidak jujur. Dan solusinya selalu unik dan sulit diterka.
Kendati demikian, beliau tidak pernah menegur atau memarahi mereka. Beliau selalu memecahkan masalah tersebut dengan kebajikan. Yah kebajikan. Loh bagaimana bisa? Padahal mereka sudah berbuat sesuatu yang merugikan beliau.
Beliau mengerti bagaimana sulitnya hidup ini dan jika memang mereka sampai mencuri dan berbuat curang maka pasti mereka sedang mengalami kesulitan yang mendesak.
Suatu pagi seperti biasa Bu Tia sudah mempersiapkan buah-buahan dan sayuran untuk dijual. Namun ada seorang anak yang tetiba berlari ke arahnya dan mencuri beberapa buah apel. Dia lari dengan sangat kencang. Hampir menabrak orang-orang yang berpapasan.
Bu Tia bisa saja berteriak "Maling, maling!" Tetapi hal tersebut tidak dilakukan. Beliau hanya mencoba mengingat wajah dan penampilan anak itu.