Begitu Eko duduk dan mengambil sumpit, dia melihat keluar jalanan. Berbagai mobil hiruk pikuk apalagi kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Tetiba dia merasakan ada yang mengelus-elus kakinya.
Dia penasaran apa atau siapa yang mengelus-elus kakinya. Dia merasakan ada bulu-bulu halus yang menyentuh kulit kakinya. Karena dia penasaran, dia melihat ke bawah meja dan menemukan seekor anak kucing yang lucu dan mungil.
Anak kucing ini hanya sendirian tanpa induk. Dia juga keliatan sangat lapar. Hanya bisa mengharapkan orang untuk memberinya makan.
Eko melihat anak kucing ini berkaca-kaca sambil mengeong manja. Apa yang dia mau? Pikir si Eko. Apakah dia lapar, haus atau hanya ingin bermanja-manja?
Mangkuk penuh berisi mi dan potongan daging ayam tetiba ada di hadapan si Eko yang sibuk dengan anak kucing.
“Eko, itu mi ayam kamu.” Pak Husen mengingatkan si Eko.
“Terima kasih Pak Husen.” Eko merasa bahagia melihat mi pesanannya sudah siap.
Begitu laparnya, dia langsung saja memakai sumpit untuk memulai makan tetapi dia merasakan sesuatu yang tidak pantas. Dia merasa bagaimana dengan nasib makhluk kecil berbulu yang sedang mengeong?
Timbul simpati terhadap anak kucing tersebut. Dia berpikir untuk memberi potongan daging kepada anak kucing tapi bagaimana dengan dirinya sendiri?
Pikiran dia berkecamuk antara memberi atau menghiraukan si anak kucing. Dia melihat anak kucing itu lagi. Seakan-akan memohon untuk diberikan potongan daging.
“Anak kucing ini pasti sedang kelaparan sekali. Kemungkinan belum makan kalau dilihat dari fisiknya. Mana induknya tidak kelihatan.” Dia berpikir dan mulai merasa iba.