Mohon tunggu...
William Manggala Putra
William Manggala Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peneliti untuk datamakro.com

Peneliti untuk datamakro.com | Pelaku UMKM |

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Cacat atau Demokrasi ala Indonesia?

23 Februari 2024   13:41 Diperbarui: 23 Februari 2024   13:42 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu 2024 banyak meninggalkan catatan kritis terhadap pembangunan demokrasi Indonesia. Dari kaca mata demokrasi textbook-ish, demokrasi Indonesia yang saat ini sudah dianggap sebagai 'flawed democracy' bisa  menjadi semakin 'flaw' alias cacat. Bukan tidak mungkin Indeks Demokrasi Indonesia kembali terkoreksi pada tahun ini. Pendukung pemerintah bisa berkelit demokrasi yang dibangun adalah demokrasi ala Indonesia, tidak textbook-ish yang sarat pemikiran politik barat. Siapakah yang benar pada akhirnya akan tergantung bila sistem yang dianut benar-benar bisa mengantarkan kita pada tujuan bernegara, yaitu mencapai kesejahteraan bersama dan terwujudnya keadilan sosial.

Dalam teori demokrasi modern yang dijabarkan oleh begawan ilmu politik seperti Larry Diamond, Juan Linz, Alfred Stephen, dan sebagainya, demokrasi secara ringkas setidaknya memerlukan tiga hal, (i) lembaga demokrasi -- seperti trias politika, partai politik, pemilu yang jujur dan adil; (ii) budaya demokrasi; dan last but not least (iii) kebebasan sipil. Mengacu pada data Economist Intellegence Unit (EIU), kondisi (ii) dan (iii) yang masih tidak ideal-lah yang menyebabkan demokrasi Indonesia tergolong sebagai 'demokrasi cacat'. Pelanggaran hak minoritas, pemidanaan aktivis-aktivis demokrasi dan hukum, turunnya kebebasan berbicara dan mengutarakan pendapat di ruang siber adalah beberapa alasan utamanya di balik buruknya poin (ii) dan (iii) di Indonesia. Terkini, Indeks Demokrasi Indonesia bisa saja semakin turun yang dikontribusikan oleh poin (i). Sebut saja pelanggaran etik yang terjadi di lembaga yudisial Mahkamah Konstitusi hingga pelanggaran etik di KPU yang dapat mencederai salah satu syarat demokrasi terpenting: pemilu yang jujur dan adil. Adapun pelanggaran etik tersebut erat kaitannya dengan perluasan dan perpanjangan kekuasaan pemimpin lembaga eksekutif, yakni agar anak Presiden Joko Widodo yang bernama Gibran Rakabumingraka bisa ikut kontestasi Pilpres.

Paragraf di atas terdengar kelam, tentu. Namun, dengan kaca mata teori berbeda, narasi di atas justru bisa menjadi lebih masuk akal. Sudah akrab di kuping kita, gaya kepemimpinan Jokowi memang lebih dekat dengan pemikiran Tradisionalisme Jawa dibandingkan pemikiran demokrasi yang kebarat-baratan. Wahono (2023) misalnya, untuk menjelaskan standar berpolitik Jokowi dalam kaitannya melanggengkan kekuasaan melalui anaknya melalui jalur modifikasi hukum di MK, menggunakan pisau analisa antropologi politik Jawa di mana keabsahan sumber kekuasaan memang bukan menjadi persoalan utama karena sumber kekuasaan dianggap homogen. Dalam pemikiran politik tradisionalisme Jawa, monopoli atau pengumpulan kekuasaan menjadi lebih penting agar dapat menjaga integralitas sebuah negara dibandingkan merunut sumbernya. Menurut Prof. Soepomo pada sidang PPKI (1945) konsep negara integralistik inilah yang sesuai dengan corak masyarakat Indonesia -- sesesuai kodrat keselarasan antara makro-mikro kosmos -- gusti dan kawulanya, begitu juga kodrat relasi pemimpin dan rakyatnya. Negara tidak berpusat pada individualisme melainkan pada negara yang di dalamnya ada keteraturan dan persatuan rakyat yang tersusun. Pemikiran politik ini sedikit banyak bisa tercermin dalam pernyataan Jokowi, "Di Indonesia tidak ada yang namanya oposisi seperti di negara lain. Demokrasi kita ini adalah demokrasi gotong royong."

Suka atau tidak, 'demokrasi' yang dibangun oleh Jokowi dalam tiga tahun terakhir beresonansi secara baik dengan masyarakat Indonesia. Dalam survei Indikator Politik besutan Prof Muhtadi, kepuasan terhadap demokrasi Indonesia selalu stabil di atas 70%. Hanya saja, data survei yang memotret persepsi masyarakat saja tidak cukup untuk menjelaskan keberhasilan dari sebuah model demokrasi saat ini. Seperti disampaikan di awal, keberhasilan akan bergantung pada pencapaian tujuan bernegara -- kesejahteraan dan keadilan sosial.

Apakah model ini akan berhasil mencapai tujuan bernegara? Negara ini memiliki preseden menggunakan model negara integralis untuk mempermulus tujuan pembangunan -- model yang disebut oleh Indonesianis Herbert Faith (1988) sebagai "developmentalis integralis". Model negara ini dipakai circa 1966 -- 1998. Dalam periode tersebut, tercatat banyak pencapaian pembangunan yang luar biasa. Namun, perlu diwaspadai rezim saat itu juga berakhir dengan sangat tidak mengenakan oleh krisis multidimensi -- ekonomi, sosial, dan politik -- yang terjadi pada 1998 (Chaniago, 2012). Catatan pentingnya: pembangunan ekonomi oleh para elit tidak boleh terlalu pragmatis, pengawasan lemah menyuburkan sistem yang korup, dan jangan mengabaikan pembangunan sosial dan politik. 

Saat ini, ada beberapa indikator yang harus diwaspadai pemburukannya agar negara tidak jatuh ke lubang yang sama. Pertama, data Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tercatat menurun dalam empat tahun terakhir, dari 40 pada tahun 2019 menjadi 34 pada tahun 2022. Kedua, data ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang masih tinggi di atas 6x dan bahkan disebut menjadi yang tertinggi di kawasan. Kedua indikator ini menyiratkan ada gejala inefisiensi pembangunan ekonomi yang bisa menyebabkan tujuan kesejahteraan bersama dan keadilan sosial tidak tercapai. Bahkan sebaliknya, kondisi keadilan sosial justru bisa memburuk karena distribusi kekayaan hanya terjadi pada kelompok-kelompok tertentu.

Dengan demikian, tampaknya Indonesia masih akan terus berproses dan mencari keseimbangan terbaik antara demokrasi yang textbook-ish dan ala Indonesia terutama dalam konteks distribusi kekuasaan negara yang optimal. Bila mengadu teori politik yang paling valid, sampai saat ini justru yang paling valid datang dari satu adagium politik yang berbunyi sebagai berikut: "Power tends to corupt, absolute power corupts absolutely."  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun