Seruan Presiden Jokowi agar presiden baru pada 2024 untuk melanjutkan program pemerintahannya banyak mendapat reaksi dan tidak sedikit yang mempertanyakan seruan ini.Â
Memang, dari banyak indikator ekonomi makro, tidak sedikit yang masih jauh dari harapan pemerintah sendiri. Namun bila kembali disisir, setidaknya masih ada satu yang terlihat on track yakni pengentasan kesenjangan ekonomi.
Dalam RPJMN 2020 -- 2024, disebutkan bahwa pemerintah menargetkan rasio gini untuk turun dari 0.382 ke 0.374. Rasio gini adalah indikator ekonomi makro yang mengukur keparahan kesenjangan di sebuah ekonomi.Â
Semakin kecil rasio gini, maka variasi kekayaan antar individu semakin kecil - distribusi pendapatan semakin rata. Maka, dengan target angka yang lebih kecil, Pemerintah menargetkan kesenjangan ekonomi yang semakin rendah.
Dilihat dari data yang dirilis oleh BPS, rasio gini Indonesia di semester kedua 2021 adalah sebesar 0,381 yang artinya tingkat ketidakmerataan sudah termasuk pada tingkat rendah.Â
Data terakhir ini tentu memberikan kelegaan karena rasio gini Indonesia sudah sempat naik pada awal krisis pandemi Covid-19. Data ini juga mengukuhkan status ketidakmerataan rendah yang sudah diperoleh Indonesia sejak semester satu 2016.Â
Bila tidak ada aral melintang, rasio gini Indonesia sangat berpotensi mencapai target 0,374 setidaknya bila data ini diekstrapolasi dengan teknik sederhana CAGR.
Namun bila pertanyaannya adalah apa yang perlu dilanjutkan, maka cukup rumit jawabannya. Ide besar dari Pemerintahan Jokowi ini adalah pemerataan melalui penciptaan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru terutama di luar Jawa.Â
Oleh alasan ini, Pemerintah gencar melakukan pembangunan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara, hingga pembangkit listrik. Akan tetapi, sulit untuk mengkonfirmasi narasi ini ketika tersedia tidak hanya satu indikator yang bisa dipakai untuk menyangkal.
Data di tingkat makro menunjukan belum ada perubahan kontribusi pulau luar Jawa dalam PDB secara signifikan yakni 42.01% pada 2013 dan 42.11% pada 2021.Â
Artinya, belum ada persebaran sumber pertumbuhan ekonomi yang sebagaimana diharapkan Pemerintah. Sedangkan data di sektor perbankan, proporsi simpanan orang kaya masih terus mendominasi simpanan di bank.Â
Andil simpanan di perbankan nasional dengan tiering nominal lebih dari Rp5 miliar justru naik dari 44.6% di tahun 2013 menjadi 51% di tahun 2022. Dus, patut diduga penurunan rasio gini terkini adalah efek dari pemberian bantuan sosial yang semakin masif selama periode krisis pandemi seperti Rastra, Program Keluarga Harapan, dan Subsidi Listrik.
Lalu apakah artinya pembangunan ekonomi yang dicanangkan Pemerintahan Jokowi gagal? Belum tentu. Model pembangunan mengedepankan infrastruktur bukanlah tidak berdasar dan tanpa pembuktian empiris yang cukup.Â
Dengan kerangka teori Harod-Domar, pembangunan infrastruktur bisa menjadi katalis pertumbuhan ekonomi karena menjadi tambahan kapital yang dibutuhkan untuk keperluan produksi.Â
Lebih jauh menurut Auscher (1989), belanja modal pemerintah berpeluang menghasilkan fungsi produksi dengan fitur increasing returns to scale dibandingkan hanya constant returns to scale bila pemerintah tidak hadir.Â
Pemerintah adalah penyedia infrastruktur dasar untuk merasionalisasikan investasi yang tidak bisa atau tidak mungkin dilakukan oleh pihak swasta. "Tidak bisa" di sini mungkin karena terbentur kondisi economies of scale dalam produksi dan/atau tidak bisa mengecualikan agen lain dalam mengakses output produksi yang menyebabkan investasi menjadi tidak efisien.Â
"Tidak mungkin" karena dalam beberapa kasus pemerintah berkepentingan membatasi struktur pasar yang monopolistik, seperti akusisi dan distribusi air bersih misalnya. Maka secara teori, pembangunan infrastruktur dasar dengan tujuan konektivitas lebih tinggi sudah tepat.
Akan tetapi bila tujuan akhir dari pemerintah adalah pemerataan, model pembangunan mengedepankan infrastruktur jelas tidak cukup. Seperti juga tersirat dari model Auscher, infrastruktur menjadi tidak berarti bila tidak ada sektor swasta yang memberdayakannya.Â
Juga karena tujuan akhir tersebut, Pemerintah tidak bisa mengandalkan perusahaan-perusahaan besar saja karena karakter perekonomian Indonesia yang masih hollow in the middle seperti yang dijelaskan oleh Professor Ari Kuncoro dalam tulisannya di Kompas tanggal 3 Agustus 2021. Â
Oleh karena itu, Pemerintah harus mulai mulai melirik model-model pembangunan yang berhubungan dengan penyuburan kewiraswastaan dan inovasi di tingkat akar rumput yakni usaha mikro kecil menengah (UMKM). Model-model ini biasa dikenal sebagai model pertumbuhan baru dalam cabang ilmu ekonomi.
Model milik Phelps (2013) misalnya menunjukan bahwa inovasi akar rumput yang berkelanjutan adalah faktor yang menentukan pertumbuhan jangka panjang perekonomian. Model ini senada dengan temuan Lowrey (2005) bahwa ada korelasi signifikan antara densitas bisnis dengan kesejahteraan ekonomi. Dilihat secara sekilas menggunakan data sektor manufaktur mikro-kecil, hipotesa Phelps dan Lowrey ini do hold di Indonesia. Â
Densitas bisnis di Jawa pada tahun 2020 adalah sebesar 34 usaha per 1000 angkatan kerja; rata-rata PDB per kapita nya adalah sebesar Rp55 juta. Sedangkan di luar Jawa densitas bisnisnya hanya sebesar 26 usaha per 1000 angkatan kerja, rata-rata PDB per kapitanya lebih kecil yakni sebesar Rp40 juta.
Lebih lanjut, Pemerintah juga perlu mendorong pelaku usaha akar rumput untuk terus melakukan inovasi sebagaimana disyaratkan oleh Phelps. UMKM di Indonesia jumlahnya sangatlah banyak yaitu 65.5 juta pada tahun 2019. Namun, sebanyak 98.7%-nya hanyalah usaha mikro.Â
Mengecualikan pertanian, sekitar 60% dari UMKM bergerak di sektor perdagangan dan akomodasi & makan minum. Industri pengolahan yang notabene sarat dengan inovasi hanya berkontribusi sekitar 16.5%. Tipe UMKM di Indonesia juga mayoritas tidak dimulai dengan inovasi melainkan untuk memenuhi kebutuhan subsisten.Â
Riset BI (2015) menemukan karakter UMKM di Indonesia dikuasai oleh sektor informal, tidak memisahkan keuangan keluarga dengan usaha, memiliki karaterisktik one man show atau tergantung kepada orang tertentu sehingga keberlanjutan usaha tergantung pada figur bukan sistem.
Usaha Pemerintah
Perlu dicatat juga, cara praktis Pemerintah seperti bantuan sosial tidaklah salah melainkan dibutuhkan. Model perilaku wiraswasta Lowrey (2019) menyiratkan dibutuhkan prakondisi masyarakat yang sejahtera agar bisa menumbuhkan kewiraswataan yang berbasis inovasi, bukan pemenuhan kebutuhan subsisten.Â
Hal ini dikarenakan terdapat risiko besar seperti gagal ataupun return yang rendah pada pelaku kewiraswastaan inovasi yang pastinya tidak dapat ditanggung oleh masyarakat yang masih prasejahtera.Â
Maka, program bantuan sosial bisa dilihat sebagai program komplementer dalam rangka membentuk ekosistem untuk kewiraswastaan berbasis inovasi.
Pemerintah juga tidak bisa dikatakan abai dan juga telah terus berusaha mendukung UMKM di Indonesia agar bisa naik kelas. Pada tahun 2021 saja terdapat beberapa stimulus untuk mendukung UMKM dengan alokasi sebesar Rp96,21 triliun seperti subsidi bunga KUR dan Non-KUR, penempatan dana pemerintah pada bank umum untuk ekspansi serta restrukturisasi kredit UMKM, penjaminan kredit modal kerja UMKM, dan lainnya.Â
Pada tahun ini, Presiden Joko Widodo menargetkan anggaran belanja Kementerian dan Lembaga sebesar Rp500 triliun untuk dibelanjakan produk-produk UMKM.
Namun bila dibandingkan dengan anggaran infrastruktur yang telah berjalan, tentu terlihat paradigma pembangunan ekonomi Pemerintah masih lebih condong ke model klasik.Â
Dari tahun 2019 hingga tahun 2021, anggaran infrastruktur mencapai lebih dari Rp1000 triliun. Sedangkan untuk tahun 2022 jumlahnya dipagu sebesar Rp365.8 triliun. Ke depannya, proses pembangunan perlu dilanjutkan ke tahap selanjutnya dengan cara semakin mengadopsi model pertumbuhan yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H