Mohon tunggu...
William Jefferson Ling
William Jefferson Ling Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - ​

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Toleransi dalam Langkah Nyata

23 November 2024   00:02 Diperbarui: 23 November 2024   00:04 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu."
- Gus Dur

Indonesia dan toleransi. Kedua kata yang tidak dapat dipisahkan sejak terbentuknya negara kesatuan Indonesia ini. Dari dulu Indonesia merupakan negara beragam yang multikultural, mulai dari sukunya, budayanya, sampai agamanya. Hal ini terlihat dalam seluruh perjuangannya saat memerdekakan diri melawan penjajahan, ketika banyaknya rakyat dari daerah-daerah yang berbeda bersatu untuk membentuk negara Indonesia.
 
Menurut Sahal dkk (2018), toleransi adalah sikap ketersediaan dan kemampuan seseorang untuk menghargai agama, suku, etnis, pendapat, sikap atau tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya sendiri. Toleransi juga berarti mengakui dan menghormati adanya golongan minoritas dalam suatu komunitas sehingga sadar atas hak yang dimiliki.

Namun, apakah semangat persatuan ini masih bertahan di tengah realitas masyarakat kita sekarang? Dalam perkembangan zaman, kasus intoleransi sering kali muncul dalam masa-masa kini. Sampai sekarang masih ada saja kasus pembakaran gereja dan larangan pembuatan tempat ibadah, hingga adanya penyebaran perpecahan di media sosial. Dari hal ini terlihat bahwa lama-kelamaan nilai toleransi itu hilang

Walau pernyataan tersebut terdengar pesimistik, sebenarnya Indonesia masih mempunyai harapan untuk kembali untuk menghidupkan kembali toleransi yang ada di tengah masyarakat, dan kadang hal tersebut muncul dari tempat yang paling tidak disangka. Hal tersebut muncul dengan sangat jelas ketika kita mengikuti kegiatan live-in ekskursi ke pondok pesantren dengan kami sebagai seorang dengan latar belakang yang sangat berbeda.

Pondok Pesantren

Hari diawali dengan lebih pagi dari biasanya, keseharian pergi pulang dari sekolah menengah kanisius untuk kali ini tidak akan berlaku, tetapi ternyata hal seperti itu hanyalah sebuah kebiasaan bagi tempat yang akan dikunjungi. Saya diberi kesempatan untuk melakukan ekskursi ke pondok pesantren Amanah Muhammadiyah di Tasikmalaya.

Ekskursi dapat diartikan sebagai sebuah perjalanan imersif yang bertujuan untuk membuka pandangan menjadi lebih luas terkait toleransi keagamaan yang ada di Indonesia. Kanisius sebagai sekolah katolik yang ada di tengah Jakarta kadang terasa sangat minim apabila lingkungan dan kebudayaan yang diketahui hanya lingkungan kota jakarta. Oleh karena itu, maka sekolah melakukan kegiatan drastis setiap tahunnya oleh Kanisius untuk mengetahui kehidupan dari pondok pesantren dan memperluas pandangan para siswa kanisius.

Pondok pesantren adalah sekolah asrama yang menekankan nilai-nilai agama dengan lebih kuat, dengan siswanya dikenal sebagai santri dan siswinya sebagai santriwati. Karena merupakan sekolah pesantren, maka pendidikan agama merupakan salah satu kekhasan utamanya yang diterapkan dalam pembelajaran bahasa arab dan melakukan ibadah di sekolah

Mengalami ekskursi secara langsung mempunyai perasaan yang jauh berbeda dibandingkan apa yang diceritakan mereka yang sudah melakukannya sebelumnya. Sebelum berangkat, ada yang merasa takut atas kebudayaan mereka yang jauh sangat berbeda, ada yang langsung semangat untuk bertemu dengan budaya baru, dan ada juga yang bersedia mengikuti apa adanya.

Perjalanannya diperkirakan untuk membutuhkan waktu sekitar 6 jam, tetapi terasa jauh lebih lama karena tidak diperbolehkan menggunakan gawai, tak sangka mereka sendiri tidak boleh menggunakan gawai selama ratusan harinya mereka tinggal di pondok pesantren.

Akhirnya ketika sampai di pondok pesantren, kami langsung disambut dengan sangat hangat oleh para santri dan langsung diarahkan ke auditorium untuk pembukaannya yang dapat dikatakan berjalan sebagaimana mestinya.

Namun, semuanya berubah ketika pembukaan tersebut berakhir. Kami langsung berdinamika dengan santi secara langsung, dan percakapan yang dilakukan sudah langsung sama seperti cara kami berbicara ke teman dekat. Tanpa mempermasalahkan suku atau agama, mereka langsung memperkenalkan kami ke lingkungan pesantren, dan setiap kali kami bertanya tentang kebudayaan mereka, mereka selalu menjawab dengan senang hati. Kita berbicara bersama, bercanda bersama, dan paling pentingnya belajar bersama

Kehidupan Berbeda

Saat mereka memperkenalkan kami ke lingkungan sekitar, kami juga mulai mengetahui seberapa bedanya kehidupan mereka dibandingkan siswa SMP/SMA yang biasanya dijumpai. Jika biasanya kami pulang pergi dari sekolah setiap harinya, mereka selalu menetap di tempat yang sama dan kesempatan untuk bepergian sangatlah jarang. Yang menarik, penggunaan gawai dilarang di pesantren, sehingga para santri memanfaatkan waktu untuk berdiskusi, berdinamika, atau mengikuti kegiatan produktif lainnya.

Sebagai pondok pesantren, pastinya mereka mendapatkan pendidikan agama yang lebih mendalam, tetapi ternyata toleransi agama masih diteguhkan dengan kuat, dan hal tersebut dapat dilihat langsung saat awal penerimaan kedatangan kami. Konsep tinggal di sekolah juga berarti melakukan seluruh kegiatan keagamaan di lingkungan pesantren, mulai dari bangun tidur subuh untuk berdoa, mengikuti pelajaran pada pagi harinya, mengikuti ekstrakurikuler pada siang menjelang hari, dan kembali melanjutkan rutinitasnya, termasuk berdoa lagi pada sisa harinya.

Selain itu, jika kurikulum SMA hanya mewajibkan sekitar 12 pelajaran, para santri harus menghadapi 32 pelajaran dalam kesehariannya, suatu hal yang harus dihargai terkait dengan ketekunan dan ketahanan mereka belajar di pesantren.

Setelah mengikuti ekstrakurikuler bersama pada hari pertama, kita melakukan diskusi bersama di masjid mereka yang sangatlah detail. Pada awalnya dibuka dengan perwakilan setiap sekolah yang berbicara kepada yang lain. Kami diajarkan cara mengenakan sarung dengan benar, dan sebaliknya perwakilan Kanisius menyampaikan kesehariannya sebagai sekolah katolik.

Berikutnya dilanjuti dalam kelompok kecil untuk diskusi yang lebih mendalam. Salah satu dari kami cukup tertarik pada bagaimana mereka dapat mempersiapkan studi lanjutnya walau mereka tertutup dari informasinya, dan kami juga merasa terkejut atas kemampuan mereka, belajar secara mandiri, aktif mencari informasi, dan membuktikan bahwa keterbatasan teknologi bukanlah halangan untuk mempersiapkan masa depan.

Hal-hal tersebut sudah cukup jelas juga bahwa pondok pesantren muhammadiyah Amanah bukanlah hanya sekolah islam yang mengajarkan pendidikan islam dan hanya mementingkan satu hal saja.

Pengalaman Tak Terlupakan

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kami semua sudah siap untuk mengikuti pembelajaran bersama mereka untuk mengetahui apa perbedaan mereka. Tetapi sedikitnya yang kami tahu, ternyata mereka bersedia melampaui pikiran kita dan memberikan perjalanan khusus mengikuti komunitas pecinta alamnya dan mendaki gunung galunggung.

Saya yang awalnya hanya melihat pemandangan yang sama di Jakarta kini kembali melihat keindahan pemandangan luas di Indonesia dengan penuh keindahannya. Perjalanan ke gunung galunggung membawa udara segar bagi kita di tengah lautan tugas dan pelajaran yang biasa dihadapi, serta merupakan kesempatan prima untuk mempererat hubungan dengan lebih jelasnya.

Selanjutnya pada akhir dari hari itu kami juga diberikan kesempatan untuk melakukan pentas seni. Walau saya sendiri tidak terlalu bisa mengikutinya dengan penuh karena masalah kemampuan, pengalaman tersebut masih merupakan hal yang luar biasa. Kesempatan ini sudah sangat jauh berbeda dengan ekskursi pondok pesantren yang biasanya juga dan membentuk pengalaman yang unik, serta juga merupakan kesempatan untuk menunjukkan budaya dan minat masing-masing dari lamanya waktu para santri berada di sekolahnya

Nilai Hidup

Jika awalnya pemikiran saya tentang pondok pesantren hanya merupakan sekolah islam di Indonesia dengan pengajaran yang ketat, sekarang wawasan saya sudah jauh berbeda. Mereka bukanlah generasi rakyat yang hanya diajarkan untuk berdoa sampai hafal mati al-quran, tetapi tetap menjunjung nilai yang sama sebagai warga rakyat Indonesia.

Dalam keseharian, kita sering kelupaan atas hal-hal kecil yang merupakan titik awal dari bangsa kita sendiri. 

Dari banyaknya komentar positif dan negatif yang ada di sosial media, kadang kita juga perlu merasakannya langsung dan belajar bahwa mereka hanyalah manusia, sama seperti kita semua, bahkan mempunyai kehidupan yang layak dihargai dengan kesusahan yang mereka alami setiap harinya. Mereka tidak hanya diajarkan ilmu agama, tetapi juga keterampilan hidup yang mempersiapkan mereka untuk masa depan.

Keberagaman tidak memandang latar belakang kita, tetapi sudah tertanam kuat dalam kebudayaan Indonesia. Semakin kita menghayati nilai keberagaman, semakin kita mengenal dunia dengan lebih baik. Perjalanan ekskursi ke pondok pesantren merupakan hal yang istimewa, dan kenangannya akan selalu tersimpan selama keseluruhan dari hidup saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun