Dikutip dari seruu.com
Terkait aksi pencabutan, tepatnya “legalisasi perampasan” hak rakyat atas tanah di Teluk Jambe Karawang, publik dan pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo diharapkan dapat mengetahui persoalan riil di lapangan dan memperlihatkan sikap pro rakyat kecil.
Hal ini dikemukakan para tokoh dan penggiat advokasi hak rakyat di Karawang, yang mengambil posisi membela kepentingan rakyat, para petani pemilik dan penggarap tanah yang tergusur raksasa properti Agung Podomoro Land (APL) melalui anak usahanya PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP).
Demikian dikemukakan Valens Daki-Soo SH, politisi PDI Perjuangan yang lama mengasistensi Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, mantan Wakil KSAD dan pernah menjadi Ketua Umum Pejuang Siliwangi Indonesia. Kiki adalah putra asli Karawang yang kini antara lain menjabat Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD).
Banyak pihak mensinyalir, dengan kekuatan uang dan akses yang kuat di kalangan elite, pihak kapitalis bisnis properti menggusur rakyat kecil dalam kasus sengketa tanah di Teluk Jambe Karawang yang terletak di Desa Margamulya, Desa Wanasari dan Desa Wanakerta.
“Perjuangan para petani kecil ini sudah dibantu para politisi dari beberapa partai yang peduli pada nasib dan masa depan mereka. Sebutlah Eva Sundari, Rieke Dyah Pitaloka dan Rahardi Zakaria dari PDI Perjuangan. Begitu pula Ade Komaruddin dan Dadang S. Mochtar dari Golkar, juga H. Daulay dari Partai Demokrat,” ungkap Valens Daki-Soo, Sekretaris Departemen Pertahanan dan Keamanan DPP PDI Perjuangan yang pada Pemilu 2014 menjadi Caleg DPR RI nomor urut 3 dari Dapil Jabar IV (Sukabumi).
Menurut mantan Asisten Dubes Keliling RI Urusan Khusus/Timor Timur itu, dia tergerak hati untuk ikut membantu karena sejumlah petani yang mejadi korban seperti H. Dodo, H. Minda dan H. Amandus Djuang serta beberapa aktivis seperti Yono dan rekan-rekan dari Serikat Petani Karawang (Sepetak) berkali-kali menemuinya dan mengisahkan problematika tanah 350 hektar yang telah 23 tahun menjadi masalah kronis.
Eksekusi selalu tertunda karena masalahnya amat kompleks dan para petani terus melakukan perlawanan, meski akhirnya eksekusi paksa itu dilakukan 24 Juni 2014 dengan mengerahkan tujuh ribuan personel Polri.
“Ini tindakan yang sangat ironis. Pertama, eksekusi itu dilakukan secara paksa, padahal putusan tersebut secara yuridis-formal dan material tidak dapat dijalankan (unexecutable) karena tidak jelas obyek sengketa dengan batas-batas tanah mana yang harus dieksekusi,” tegas Valens.
Kedua, lanjutnya, eksekusi itu dilakukan pada momentum kampanye Pilpres sehingga nyaris samasekali luput dari perhatian publik dan sorotan media massa nasional.
Ketiga, ribuan personel Polri c.q. Polda Jabar dan Brimob disertai Baracuda dan water canon dikerahkan menghadapi rakyat yang hanya segelintir di lapangan. Pengerahan personel sebanyak itu lebih dari pengamanan Sidang MK dalam penetapan hasil Piplres, bahkan terkesan seolah menghadapi kaum separatis atau pemberontak bersenjata (armed rebellion).
"Bahkan hingga kini tanah itu masih dijaga aparat kepolisian. Siapa yang membiayai ribuan personel itu? Dari mana dana operasinya?" tukasnya.
Keempat, Karawang sejak dulu lumbung beras nasional. Tergusurnya para petani penggarap lahan seluas itu oleh pengusaha properti besar niscaya menggerus tanah pertanian rakyat dan digantikan oleh proyek bisnis yang hanya menguntungkan kapitalis.
“Pemerintahan Presiden Jokowi ditantang untuk memberantas tindakan seperti ini yang mengambil untung di atas penderitaan rakyat,” tegas Valens, tokoh muda asal Flores yang lama aktif di Dewan Pengurus Yayasan Jati Diri Bangsa (YJDB) bersama sejumlah tokoh nasional.
Harus Dilawan
Sementara itu, J. Badeoda SH, salah satu pengacara yang mengadvokasi para korban menegaskan, pembangunan daerah yang dilakukan dengan mencabut hak-hak rakyat atas tanah bukanlah tindakan yang mensejahterakan tetapi justru menyengsarakan rakyat. Tindakan itu bukan demi kepentingan umum melainkan kepentingan pribadi dan kelompok bisnis yang menghalalkan segala cara. “Hal ini tidak boleh dibiarkan, tetapi harus dilawan,” tegasnya.
Menurut Badeoda yang didampingi Yono dan beberapa aktivis Serikat Petani Karawang (Sepetak), terdapat beberapa perkara kepemilikan tanah antara SAMP – anak usaha Agung Podomoro -- dengan masyarakat di atas lahan seluas 350 ha di Kecamatan Teluk Jambe Barat Karawang.
Perkara tersebut ada yang masih berjalan dan ada pula yang sudah diputuskan. Terhambatnya pelaksanaan eksekusi putusan No. 160 PK/Pdt/2011 juncto No. 695 K/PDT/2009 juncto No.272/PDT/2009 juncto No. 272/PDT/2008/PT.BDG Juncto No. 02/Pdt/G/2007/PN. Krw karena putusan tersebut secara yuridis formal dan material tidak dapat dijalankan (unexecutable) karena tidak jelas obyek sengketa dengan batas-batas tanah mana yang harus dieksekusi sebagaimana tertera dalam amar putusan.
Badeoda menegaskan, putusan unexecutable dinyatakan oleh Ketua Pengadilan Negeri Karawang sejak tahun 2011. Pelaksanaan eksekusi baru dilakukan secara paksa dengan bantuan ribuan aparat Polda dan Brimob ketika Marsudi Nainggolan menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Karawang yang baru. Dia samasekali tidak memahami konteks persoalan dan kasus itu.
“Proses pelaksanaan eksekusi tidak dilakukan secara benar bahkan merupakan tindakan melawan hukum karena putusan dibacakan tanpa menunjuk batas-batas tanah yang jelas tetapi langsung dipatok oleh aparatur kepolisian di atas tanah rakyat yang tidak terlibat dalam perkara yang ada. Ini merupakan tindakan pencabutan hak-hak rakyat secara paksa oleh pengadilan dan aparatur penegak hukum,” tegas Badeoda dari kantor pengacara Amir Syamsuddin.
Jika pengacara SAMP menyatakan bahwa putusan No. 160 PK/Pdt/2011 juncto No. 695 K/PDT/2009 juncto No. 272/PDT/2008/PT.BDG juncto No. 2/Pdt.G/2007/PN.Krw telah memberikan kepastian hukum tentang hak atas tanah seluas 350ha kepada SAMP maka itu merupakan pernyataan yang menyesatkan karena putusan No. 160 PK/Pdt/2011 juncto No.160/PK/Pdt/2011 juncto No. 695 K/PDT/2009 juncto No.272/PDT/2008/PT.BDG juncto No. 2/Pdt.G/2007/PN.Krw tersebut justru memberikan ketidakpastian hukum kepada SAMP dan ketidakadilan kepada masyarakat, mengingat keputusan sejak awal penuh rekayasa karena tidak dilakukan pemeriksaan lokasi/Pemeriksaan Setempat (PS) sehingga tidak jelas tanahnya.
Ditandaskan Badeoda, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum semakin menjadi karena Putusan No. 160 PK/Pdt/3011 juncto No. 695 K/PDT/2009 juncto No. 272/PDT/2008/PT.BDG juncto No. 2/PDT.g/2007/PN.Krw yang memenangkan SAMP bertentangan dengan beberapa putusan yang memenangkan pihak lain antara lain Putusan MA No. 316 PK/PDT/2007 juncto No. 1526 K/Pdt/2005 juncto No. 497/Pdt/2004/PT.Bdg.
Atas eksekusi yang dipaksakan tersebut, masyarakat yang dirugikan dengan telah melakukan Gugatan Perlawanan terhadap eksekusi yang terdaftar dengan No. 37/Pdt.Plw/2014/PN. Krw. Masih terdapat perkara lain di atas tanah seluas 350ha tersebut antara SAMP dan anggota masyarakat lainnya sehingga meski sudah terjadi pelaksanaan eksekusi, masalah kepemilikan atas tanah seluas 350 ha tersebut masih belum selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H