Di era informasi yang semakin terhubung, budaya populer telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dari lagu-lagu yang mengisi playlist Spotify kita hingga meme yang membanjiri linimasa media sosial, pop culture mewarnai cara kita berkomunikasi, mengekspresikan diri, dan bahkan memandang dunia.Â
Namun, di balik kemeriahan dan keriuhannya, budaya populer menyimpan dinamika yang kompleks -- sebuah arena pertarungan antara kekuatan dominan dan subordinat dalam masyarakat.
Mengacu pada pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni, kita bisa memahami budaya populer bukan sekadar sebagai hiburan ringan, melainkan sebagai situs perjuangan ideologis. Di satu sisi, kelompok dominan berusaha mempertahankan status quo melalui produk-produk budaya populer.Â
Di sisi lain, kelompok subordinat mencoba melawan atau menegosiasikan posisi mereka. Ambil contoh kontroversi seputar lirik lagu-lagu pop Indonesia yang dianggap "tidak senonoh" atau "tidak sesuai budaya". Di balik perdebatan tersebut, sesungguhnya ada pertarungan nilai antara kelompok konservatif yang ingin mempertahankan "kemurnian budaya" dan kelompok progresif yang menuntut kebebasan berekspresi.
Era digital telah menghadirkan dimensi baru dalam dinamika ini. Demokratisasi teknologi memungkinkan siapa saja menjadi kreator konten, mengaburkan batas antara produsen dan konsumen budaya.Â
Fenomena konten "viral" dan meme di media sosial menunjukkan bagaimana warga biasa kini memiliki kekuatan untuk menciptakan dan menyebarkan narasi tandingan terhadap wacana dominan. Sebut saja bagaimana meme "IndonesiaWithoutKPK" viral sebagai bentuk protes publik terhadap pelemahan lembaga antikorupsi.
Namun, di tengah euforia partisipasi ini, kita juga perlu waspada terhadap kekuatan komersialisasi yang terus-menerus berusaha mengkooptasi setiap bentuk ekspresi budaya menjadi komoditas.Â
Ketika sebuah meme viral berubah menjadi merchandise atau ketika seorang influencer menjual personal brand-nya, kita menyaksikan bagaimana kapitalisme dengan cepat menginkorporasi apa yang awalnya mungkin merupakan bentuk resistensi.
Meski demikian, potensi budaya populer sebagai alat perubahan sosial tidak boleh diremehkan. Dari musik dangdut yang menjadi corong aspirasi masyarakat kelas bawah hingga film-film indie yang mengangkat isu-isu sensitif, pop culture memiliki kekuatan untuk mengartikulasikan suara-suara yang terpinggirkan dan menantang status quo.
Sebagai konsumen sekaligus potential creator budaya populer di era digital, kita perlu mengembangkan literasi kritis untuk memahami lapisan-lapisan makna di balik teks dan praktik budaya yang kita konsumsi sehari-hari. Kita harus mampu mengapresiasi kreativitas dan kegembiraan yang ditawarkan pop culture, sambil tetap mempertanyakan relasi kuasa yang mungkin tersembunyi di baliknya.
Budaya populer bukanlah sekadar cermin pasif masyarakat, melainkan medan pertarungan aktif di mana identitas, nilai, dan relasi kuasa terus-menerus dinegosiasikan. Di era di mana batas antara online dan offline semakin kabur, kemampuan untuk membaca, memaknai, dan bahkan menciptakan budaya populer secara kritis menjadi keterampilan yang esensial bagi warga negara yang aktif dan partisipatif.