Mohon tunggu...
Andri W
Andri W Mohon Tunggu... Jurnalis di Harian Pagi Jambi Independent (Jawa Pos Grup) -

Manusia yang haus akan pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

CAT dalam PPDB

24 Juli 2016   16:26 Diperbarui: 24 Juli 2016   16:32 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisruh dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi hal yang lumrah terjadi di Kota Jambi, setiap tahunnya. Namun, sejauh yang saya tahu, tahun ini menjadi yang terparah, sampai-sampai ada orang tua siswa yang melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Dinas Pendidikan Kota Jambi, hingga aksi anarkis memecahkan kaca kantor dinas tersebut. Pangkalnya, sudah pasti atas dasar ketidak puasan orang tua siswa karena anaknya tidak diterima di sekolah yang diinginkan. Dan orang tua selalu berargumen bahwa ada oknum penyelenggara atau kepala sekolah yang bermain.

Menurut saya ada permasalahan yang lebih kompleks dalam PPDB, dari sekadar oknum penyelenggara yang bermain curang atau memanfaatkan momen PPDB untuk meraup keuntungan sendiri. Khususnya dalam konteks penyelenggaraan PPDB tahun ini. Mari saya bahas satu per satu.

Pertama, kurangnya sosialisasi dari penyelenggara, terutama mengenai proporsi seleksi sesuai daya tampung, pada akhirnya membuat adanya miskomunikasi antara orang tua dan pihak penyelenggara. Dalam Petunjuk Teknis (Juknis) PPDB Kota Jambi tahun 2016/2017, 70 persen siswa masuk sekolah melalui jalur online, tidak banyak orang tua yang mempermasalahkan hal ini, karena ketentuannya hanya mengacu kepada Nilai Akhir (NA) siswa. Artinya, NA dan kuota yang tersedia di sebuah sekolah menjadi faktor mutlak penentu calon siswa diterima di sebuah sekolah.

Jalur offline, saya kira paling banyak dipermasalahkan oleh orang tua siswa. Jalur ini menerima 30 persen calon siswa, terdiri dari 8 persen untuk calon peserta didik berprestasi, 10 persen tidak mampu, dan 12 persen peserta didik bina lingkungan. Artinya, tidak semua siswa berprestasi, tidak mampu ataupun dekat dari lingkungan sekolah mampu ditampung oleh sebuah sekolah. Tetap ada kuota yang membatasi. Nah, hal ini saya kira tidak disosialisasikan dengan baik oleh penyelenggara atau panitia PPDB. Akibatnya, banyak orang tua siswa yang komplen jika anaknya tidak masuk sekolah yang diinginkan, sementara memenuhi kriteria yang ada di jalur offline.

Hal lain, tentu masalah kecurangan atau praktik KKN yang terjadi dalam pelaksanaan PPDB, itu pasti ada. Dalam konteks pelaksanaannya tahun ini, jalur offline yang paling besar kemungkinan terjadinya praktik kecurangan. Terlebih, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, kurangnya sosialisasi dari penyelenggara. Semakin parah, jika Dinas Pendidikan yang seharusnya bisa mengawasi jalannya PPDB, juga ikut bermain. Misalkan, hal yang menurut saya paling jelas dan paling berkemungkinan terjadi, yakni pada peserta didik yang masuk dari jalur bina lingkungan. Dalam jalur ini, ada mensyaratkan memprioritaskan anak kandung guru, pengelola/pembina lembaga Dinas Pendidikan Kota Jambi. Hal ini memberi ruang kepada oknum guru atau Dinas Pendidikan Kota Jambi untuk memasukkan peserta didik sesuka hati, dan lebih parahnya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau keuntungan sendiri.

Secara umum, saya katakan, banyak celah yang memungkinkan terjadinya praktik kecurangan dengan adanya jalur offline.Itu di luar adanya praktik kecurangan pasca PPDB atau biasa dikenal dengan istilah masuk lewat belakang.

Selanjutnya. Selain dari sisi penyelenggara, orang tua punya andil dalam kisruh setiap PPDB. Orang tua terkadang tidak ingin membaca apalagi memahami Juknis yang ada dalam PPDB. Sehingga, ketika anaknya tidak lulus dalam PPDB, secara reaktif langsung menjustifikasi bahwa ini adalah kesalahan dari pihak penyelenggara.

Perkara lain, orang tua terkadang terlalu berambisi dalam menempatkan anaknya di sekolah tertentu, terutama yang berlabel “favorit”. Sehingga, ada oknum orang tua yang menghalalkan segala cara agar anaknya masuk ke sekolah tertentu. Praktik kecurangan pun terjadi karena adanya faktor semacam ini. Pihaknya penyelenggara pun tidak akan berlaku curang, jika orang tua juga mau jujur dalam setiap pelaksanaan PPDB dan mengatakan tidak pada praktik kecurangan. Ya saya analogikan, tidak akan ada produsen, jika  tidak ada konsumen yang menikmati.

Praktik kecurangan atas peran orang tua pun beragam. Pertama, memanfaatkan relasi dengan kepala sekolah, penyelenggara, atau pihak Dinas Pendidikan untuk memasukkan anaknya ke sekolah yang diinginkan. Kedua, memberi upeti kepada kepala sekolah, penyelenggara, atau pihak Dinas Pendidikan agar anaknya masuk ke sebuah sekolah yang diinginkan. Terakhir, masih menggunakan upeti atau relasi, namun pasca PPDB. Bahkan terkadang ada orang tua yang anaknya lulus di sebuah sekolah, namun karena tidak berlabel “favorit” lalu dipindahak “lewat belakang” ke sekolah “favorit”.

Terakhir, kisruh dalam PPDB juga terjadi karena peran dari masyarakat. Sama halnya dengan orang tua, masyarakat secara umum “suka” melabeleli sekolah tertentu. Label sekolah favorit itu sudah barang biasa, namun hal lain yang juga terjadi adalah memberi label “kasta kedua” kepada sekolah swasta. Akibatnya, tidak banyak sekolah yang berkembang di kota ini. Bahkan, ada beberapa sekolah swasta yang selalu menerima siswa dengan jumlah yang sangat sangat sedikit. Bahkan, ada sekolah yang siswanya bisa dihitung dengan jari.

Intinya, seperti yang saya jelaskan di awal, ada banyak penyebab adanya kisruh dalam setiap penyelenggaraan PPDB. Oleh karena itu, diperlukan langkah yang tepat untuk menyelesaikannya. Menurut saya, yang pertama harus dilakukan adalah menghapus jalur offline, lalu menerapkan Computer Assisted Test (CAT) dalam penyelenggaran PPDB, guna meminimalisir kekisruhan. Berkaca dari pelaksanaan CAT dalam pelaksanaan penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tahun 2014 lalu, tidak banyak kekisruhan yang terjadi. Bahkan, kita tentu ingat bagaimana anak Presiden Indonesia, Joko Widodo, tidak lulus dalam ujian CAT tahun tersebut, sehingga dipastikan tidak lulus sebagai PNS. Jadi tidak ada salahnya menerapkan hal ini dalam PPDB.

Teknisnya, secara garis besar, setiap siswa yang mengikuti PPDB menentukan pilihan sekolah, lalu melaksanakan CAT. Setelah itu, nilai siswa akan langsung diumumkan, seusai tes tersebut, sehingga mereka tahu berapa nilai mereka. Rekap hasil seluruh siswa yang mengikuti CAT juga harus disampaikan secara online guna menghindari siswa titipan. Selanjunya, tugas panitia memasukkan nama dan nilai siswa ke setiap sekolah dan menyelaraskannya dengan kuota yang tersedia di setiap sekolah. CAT juga harus dilaksanakan dalam dua tahap, di mana tahap kedua diperuntukkan bagi sekolah swasta.

Pelaksanaan CAT selain mempermudah proses rekap data, juga akan menciptakan objektivitas, transparansi, akuntabilitas dalam penyelenggaraan PPDB. Dan semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan yang berkualitas. Mau kaya, miskin, selama seorang calon peserta PPDB mempersiapkan diri dengan baik dalam menghadapi CAT, tentu sangat berkemungkinan besar mendapatkan sekolah yan dia inginkan.  

Lalu pertanyaannya, apakah praktik curang dalam PPDB akan hilang. Tentu tidak ada yang menjamin, apalagi selama oknum kepala sekolah atau lainnya masih melakukan praktik “masuk sekolah lewat belakang”. Permasalahan lain adalah terjadinya praktik perjokian dalam pelaksanaan CAT nantinya. Namun, intinya pelaksanaan CAT akan meminimalisir praktik kecurangan dalam PPDB. Soal praktik curan itu masih ada, ya kembali lagi ke mental manusianya. Intinya, tidak ada salahnya, kalau hal ini dicoba untuk dilaksanakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun