Dalam beberapa tahun belakangan, dunia seolah tiada henti -- hentinya di landa konflik antar negara yang berpotensi akan semakin masif dengan berjalannya waktu. Sebut saja bagaimana perang antara Rusia dan Ukraina yang masih berlanjut hingga saat ini atau bagaimana konflik antara Palestina dan Israel yang kini makin membesar ke seluruh Kawasan Timur Tengah dan Persia.
Belum lagi ditambah dengan ambisi China untuk menguasai Laut China Selatan dengan klaim nine dash line-nya yang juga bersinggungan dengan beberapa negara ASEAN termasuk Indonesia.
Oleh karena, Indonesia sebagai salah satu negara besar di dunia yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah tentu harus selalu waspada akan bahaya -- bahaya eksternal dan internal yang mengintai kedaulatan NKRI termasuk dalam skenario -- skenario terburuk mengingat ketidakstabilan politik global saat ini.
Oleh karena itu, TNI sebagai garda terdepan pelindung seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke haruslah memiliki kekuatan pertahanan yang mumpuni terutama dalam hal modernisasi alutsista dari segi kuantitas dan juga kualitas.
Tulisan ini akan mencoba membahas sedikit sudah sejauh mana transformasi alutsista TNI berada saat ini. Untuk bagian pertama mari kita melihat TNI Angkatan Darat.
Dari segi alutsista, TNI Angkatan Darat saat ini memiliki sekitar 600 Tank yang dibagi dalam beberapa varian. Pertama adalah Tank Leopard 2 yang saat ini menjadi andalan bagi divisi lapis baja TNI AD selama bertahun -- tahun sebagai main battle tank. Leopard juga banyak digunakan oleh beberapa negara di dunia. Sejauh ini terdapat 103-unit aktif Tank Leopard yang dioperasikan oleh TNI AD dan terbagi dalam dua varian yakni Leopard 2A4 dan Leopard 2RI.
Kemudian, Indonesia kini juga memiliki tank berukuran medium modern dengan nama Tank Harimau yang merupakan varian dari Kaplan MT sebanyak 10 unit. Tank ini merupakan buah dari kerja sama antara PT Pindad dan Perusahaan senjata Turki, FNSS. Direncanakan TNI AD akan kedatangan tambahan Tank Harimau sebanyak 8 buah pada tahun depan menurut beberapa sumber yang beredar.
Lalu Indonesia juga masih mengoperasikan Tank Scorpion FV101 buatan Inggris sebanyak 90-unit ditambah dengan Tank AMX 13 buatan Prancis sebanyak kurang lebih 200-unit yang masih beroperasi. Keduanya merupakan jenis varian tank ringan. Terkhusus untuk AMX 13, usianya sudah lumayan sepuh mengingat Indonesia membelinya sudah sejak tahun 60-an. Kendati sepuh AMX 13 adalah tank yang boleh dibilang sangat cocok dengan lanskap Indonesia dan terkenal akan kelincahannya. Namun TNI pun sadar jika mereka tidak bisa terus -- terusan mengandalkan AMX 13 untuk kedepannya.
Nah, disinilah letak salah satu fokus utama modernisasi alutsista untuk Angkatan Darat, yakni memensiunkan unit tank AMX 13 secara perlahan -- lahan dan mulai menggantikannya dengan Tank Harimau yang jauh lebih modern dari segi teknologi. Tentu dengan kapasistas Pindad yang saat ini baru bisa memproduksi sekitar maksimal 12 tank harimau per tahun, prosesnya masih akan berjalan selama beberapa tahun kedepan.
Tidak hanya tank, TNI AD juga memerlukan banyak peremajaan untuk beberapa jenis alutsista lainnya seperti Meriam artileri medan, artileri pertahanan udara, helicopter, dan juga kendaraan kavaleri dari segi kualitas dan juga kuantitas.
Beberapa dari alutsista tersebut bahkan ada yang berasal dari tahun 1940an seperti Meriam M48 produksi Yugoslavia yang sudah digunakan oleh TNI sejak 1959 ataupun Helikopter Bell buatan Amerika Serikat yang berasal dari tahun 1960an.
Sejauh ini, Kementerian Pertahanan sendiri sudah secara bertahap memperbaharui alutsista selain tank untuk TNI AD dengan mendatangkan Penembak Rudal (Howitzer) Nexter CAESAR buatan Prancis sebanyak 55 unit, Peluncur Roket Avisbas ASTROS II buatan Brazil sebanyak 63 unit, dan 8-unit helikopter Sikorsky S-70 Apache.
Hal tersebut juga ditambah dengan rencana pengadaan unit helikopter Blackhawk buatan Amerika Serikat yang sudah berjalan per 2024 ini. Menurut beberapa sumber, Kemenhan menggelontorkan dana hingga 585 juta dollar Amerika atau setara 9,14 triliun Rupiah untuk 22-unit Helikopter Blackhawk.
Kemudian dari lini kendaraan taktis lapis baja dan kendaraan taktiks ringan, TNI AD kini juga sudah banyak bergantung kepada produksi dalam negeri seperti kehadiran Pindad Anoa dan Pindad Badak yang bersanding dengan kendaraan -- kendaraan taktis impor milik TNI AD dari luar negeri seperti Alvis Stormer, Marder, Bushmaster, dan lain sebagainya.
Masuk ke bagian kedua, kita akan membahas transformasi alutsista yang dimiliki oleh TNI Angkatan Laut selama beberapa tahun terakhir.
Dalam beberapa tahun belakangan, TNI AL juga gencar melakukan transformasi terhadap alutsista mereka dalam proyek -- proyek baru yang saat ini tengah berjalan.
Pertama adalah lini kapal fregat. Saat ini TNI AL mengoperasikan 7-unit kapal fregat yang terbagi dalam Kelas Martadinata dan Kelas Ahmad Yani. Untuk tahap berikutnya, TNI AL kini juga tengah menanti kehadiran dua kapal fregat baru yang merupakan hasil kerja sama antara PT. PAL dengan beberapa Perusahaan senjata luar negeri dari Denmark, Inggris, dan Turki. Proyek ini sendiri dikenal sebagai "Fregat Merah Putih" yang saat ini masih dalam tahap pembangunan awal di galangan milik PT. PAL di Jawa Timur.
Untuk lini kapal Corvette, TNI AL dan Kemenhan sudah melakukan proses upgrade teknologi terhadap kapal -- kapal dari kelas Diponegoro, Kelas Bung Tomo, dan Kelas Bung Karno sejak tahun 2019 hingga sekarang. Upgrade teknologi ini sendiri kebanyakan dilakukan melalui kolaborasi yang dilakukan Perusahaan Indonesia dengan Perusahaan -- Perusahaan dari luar negeri.
Selain upgrade teknologi, TNI AL juga akan menerima hibah kapal corvette kelas Pohang Class dari Korea Selatan yang saat ini masih dalam tahap pemolesan ulang sebelum di kirim ke Indonesia. Biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia untuk kapal ini adalah 35 juta Dollar atau sekitar 570 milyar Rupiah.
Kemudian, kabar menarik juga datang dari lini kapal OPV (Kapal Patroli Lepas Pantai) yang dimana saat ini Indonesia sudah berhasil meluncurkan dua kapal OPV Kelas Raji Haji Fisabillilah (KRI Raja Haji Fisabillilah 391 dan KRI Lukas Rumkorem 392) yang merupakan buatan dalam negeri. Dalam hal ini, PT Daya Radar Utama adalah eksekutor utama dari pembangunan kedua kapal ini. Tahap selanjutnya adalah pemasangan SEWACO dan sea trial yang akan memakan waktu selama setahun sebelum kedua kapal itu siap di integrasikan dalam armada TNI AL.
Selain itu, Indonesia juga mendatangkan dua kapal OPV kelas Paolo Thaon di Revel buatan Perusahaan Italia, Fincantieri. Untuk kedua kapal ini, statusnya dapat ditingkatkan menjadi fregat tergantung kebutuhan.Â
Nominal yang harus dikeluarkan Kemenhan untuk kedia kapal ini adalah sekitar 20,4 Triliun Rupiah menurut rilis data kontrak yang dikeluarkan oleh Fincantieri beberapa waktu lalu. Kedua kapal OPV itu akan datang secara bertahap, yang dimana Kapal pertama akan datang pada Oktober 2024 ini dan yang kedua akan datang pada April 2025.
Kemudian, TNI AL juga telah melakukan penambahan armada kapal selam baru jenis Scorpene melalui kerja sama PT. PAL dan Naval Group dari Prancis. Unit Scorpene yang akan diterima oleh TNI AL adalah versi evolved-nya yang memiliki keunggulan teknologi yang tidak dimiliki oleh Scorpene biasa. Kapal Selam ini menggunakan baterai lithium-ion yang membuatnya dapat beroperasi selama 80 hari non-stop tanpa naik ke permukaan serta mengcover jangkauan hingga 8000 mil laut. Pembangunan kedua kapal selam ini sendiri dilakukan di galangan kapal milik PT. PAL.
Selain lini -- lini kapal yang sudah disebutkan di atas TNI AL juga gencar memperbaharui, mengadakan, atau menambah unit -- unit lain di alutsista mereka seperti kapal rudal cepat, kendaraan penyelamat kapal selam, kapal pendeteksi ranjau, dan kapal penelitian hidrografi dan oseanografi.
TNI AL juga baru -- baru ini dikabarkan menjajaki rencana untuk pengadaan rudal anti kapal supersonic Brahmos pabrikan India yang akan menjadi deterens pertahanan pesisir Indonesia jika terealisasi. Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muhammad Ali mengatakan pada sebuah wawancara jika pengadaan rudal Brahmos ini akan masuk ke belanja prioritas untuk renstra (rencana strategis) tahun 2024 -- 2029.
Dan tibalah kita membahas sejauh mana rencana TNI AL untuk memiliki unit kapal LHD (Landing Helicopter Dock) dan kapal destroyer untuk masa depan.
Untuk kapal LHD sendiri, TNI AL sebenarnya sudah melakukan beberapa penjajakan termasuk studi banding ke luar negeri seperti ke Italia dan Turki unruk mendapatkan gambaran awal.
Namun yang pasti, jika Indonesia memiliki unit LHD, tentu akan menjadi semacam game changer bagi kekuatan armada laut Indonesia di masa depan terutama dalam menghadapi konflik di perbatasan perairan karena LHD sendiri tentunya memiliki kemampuan untuk membawa ribuan prajurit ditambah dengan alutsista helikopter yang membuatnya seolah menjadi base militer mini yang terapung di lautan dan bisa berpindah -- pindah.
Sehingga, untuk mewujudkannya, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan, yakni membeli dari negara lain atau memproduksi sendiri dalam negeri dengan transfer blueprint sebagai pedoman seperti pada produksi fregat merah putih dan OPV Raja Haji Fisabillilah. Spekulasi mengenai desain LHD untuk Indonesia sendiri mulai banyak beredar mulai dari mengikuti desain LHD Spanyol, Juan Carlos hingga desain kapal LHD milik Turki, Anadolu. Bahkan PT. PAL pun juga sudah mengeluarkan desain LHD versi mereka sendiri.Â
Sementara untuk kapal destroyer, situasinya pun sama dengan Kapal LHD yang dimana Indonesia saat ini tidak memilikinya sama sekali.
Namun Indonesia sudah mulai membuat perencanaan kasar untuk memiliki armada kapal destroyer di masa depan. Salah satunya adalah dengan membelinya dari negara lain seperti China yang dimana Indonesia memiliki ketertarikan kepada kapal destroyer Type 052D milik AL China, namun karena situasi geopolitik terutama Konflik di Laut Cina Selatan membuat berita ketertarikan ini masih menjadi sebatas rumor.
Selain China, Jepang juga menjadi negara yang kemungkinan akan memberikan hibah kapal destroyer kelas Murasame ke AL Indonesia. Sejatinya rencana itu sudah terendus mulai dari tahun 2020 dan Jepang bahkan sudah mengirimkan kapal destroyer Murasame mereka ke latihan bersama TNI AL pada Maret silam. Namun hingga kini, kesepatakan antara Indonesia dan Jepang belum tercapai.
Tentunya peluang untuk memproduksi sendiri kapal destroyer untuk TNI AL juga tidak dikesampingkan, akan tetapi tentu prosesnya akan sangat panjang dan memakan waktu karena pasti akan melibatkan banyak pihak baik internal maupun eksternal.
Kira -- kira seperti itulah progress dari transformasi alutsista milik TNI AL selama beberapa tahun belakangan. Nah sekarang sudah saatnya kita membahas transformasi alutsista milik TNI Angkatan Udara.
Boleh dibilang, transformasi alutsista milik TNI AU adalah yang paling banyak mendapatkan sorotan dalam beberapa tahun terakhir terutama dari lini pesawat jet tempur (fighter jet).
Transformasi pertama terlihat pada pembelian 42-unit jet tempur multirole Rafale F4 yang diproduksi oleh pabrikan asal Prancis, Dassault Aviation. Rafale menjadi pilihan karena sudah teruji efektifitasnya dalam pertempuran ditambah dengan teknologi canggih yang menyertainya.
Kemenhan sendiri harus menggelontorkan dana hingga 8,1 milyar Euro untuk mendatangkan armada jet tempur generasi 4.5 ini untuk TNI AU. Untuk pemesanannya sendiri dilakukan dalam tiga tahap mulai sejak penandatanganan kontrak pada tahun 2022 silam dengan batch terakhir pemesanan sudah diselesaikan sejak Januari 2024 yang lalu.
Kehadiran jet tempur Rafale ini tentunya akan menambah lini kekuatan armada fighter jet Indonesia yang saat ini diperkuat oleh F16 Fighting Falcon, Sukhoi SU-30, dan Sukhoi SU-27. Selain itu pembelian jet tempur Rafale ini juga menjadi momentum penguatan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Prancis kedepannya.
Dari segi transfer teknologi, ternyata Dassault belum memberikannya secara penuh karena Dassault memiliki persyaratan tersendiri soal transfer teknologi penuh yang dimana Indonesia harus menambah pesanannya lagi hingga genap menjadi 100-unit jet Rafale. Syarat ini juga dapat membawa Indonesia melalui PT Dirgantara Indonesia ke jalur produksi mandiri jet tempur jika transfer teknologi dari Dassault dapat tercapai.
Selain, mengakuisisi jet tempur Rafale F4, Indonesia juga berencana mengakuisisi jet tempur F-15 EX buatan pabrikan perusahaan asal Amerika Serikat, Boeing. Pada Agustus 2023 silam, Kemenhan menandatangani MOU yang berisi komitmen Indonesia untuk membeli 24-unit jet tempur F-15 EX. Sama seperti Rafale, F-15 EX adalah pesawat tempur generasi 4.5.
Sempat lama tidak terdengar kabar kelanjutannya, terkuaklah jika rencana pembelian F-15 EX ternyata tertunda karena pembiayaan untuk mengakuisisinya belum mendapatkan alokasi dari Kementerian Keuangan. Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan perwakilan Boeing di Indonesia, Zaid Alami yang mengatakan jika proses akuisisi F-15 EX masih dalam tahap penyelesaian jual dan beli dengan mekanisme pembayaran yang tidak disebutkan. Namun yang pasti, Boeing mengaku optimis jika Indonesia akan tetap melanjutkan akuisisi F-15 EX.
Kemudian, Indonesia juga terlibat dalam proyek pembangunan jet tempur generasi 4.5, KF-21 Boramae dengan Korea Selatan yang dimana pada proyeksi awalnya, Indonesia akan mendapatkan 48-unit jet tempur tersebut.
Namun pada prosesnya ada banyak kendala dan drama yang dihadapi dalam proyek bersama ini mulai pembayaran sebelum produksi yang belum selesai hingga Korea Selatan yang menuduh dua insinyur Indonesia mencuri data jet KF-21 yang tentu saja membuat pihak RI langsung menolak tuduhan tersebut dan mendampingi kedua insinyur tersebut melalui KBRI mereka di Seoul.
Hal ini membuat segalanya menjadi rumit untuk kelanjutan proyek KF-21 Boramae untuk Indonesia yang dimana Kemenhan juga sempat mengajukan "penyesuaian pembayaran" dalam proyek tersebut setelah berbagai pertimbangan yang makin membuat Korsel sempat skeptis soal komitmen Indonesia di proyek jet tempur tersebut. Namun, pada akhirnya menurut laporan terakhir, Korsel menyetujui proposal Indonesia dalam mengurangi porsi pembayaran dalam proyek KF-21 Boramae setelah mempertimbangkan faktor hubungan bilateral dan faktor -- faktor lainnya sehingga proyek bersama KF-21 ini tetap dapat berjalan setelah penyesuaian -- penyesuaian tadi.
Selain lini jet tempur, TNI AU kini sudah memiliki 5-unit pesawat angkut C-130J Super Hercules yang sudah datang dari periode 2023 hingga 2024 saat ini. Kehadiran Super Hercules ini akan menemani 22-unit C-130 Hercules milik Indonesia yang saat ini beberapa unit sedang masuk dalam tahap upgrading.
Kemudian TNI AU juga akan segera memiliki dua pesawat Airbus A400M yang memiliki fungsi serbaguna mulai dari pengangkutan logistik hingga pengisian bahan bakar di udara dengan pesawat lainnya.
Dispen AU juga mengungkapkan pada Juli lalu jika TNI AU akan kedatangan Helikopter Caracal H225, Pesawat Terbang Nirawak, Pesawat Angkut Ringan NC212, Pesawat Boeing VIP, dan Radar dalam waktu dekat.
Dan, selesailah artikel rekap transformasi alutsista 3 Matra TNI sejauh ini. Untuk penutupan, penulis dan seluruh masyarakat Indonesia berharap jika TNI dan pihak -- pihak terkait dapat terus melanjutkan transformasi yang sudah berjalan sekarang untuk mewujudkan pertahanan dan keamanan yang lebih baik lagi serta menjaga kedaulatan NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H