Mohon tunggu...
William Kertha Adi Tama
William Kertha Adi Tama Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer/Tiktok Content Creator/History and Football Enthusiasts

Halo, nama saya William Kertha Adi Tama, saat ini saya berkarier sebagai freelancer di dunia penulisan dan penerjemahan sekaligus menyalurkan minat saya dalam dunia sejarah dan sepakbola dengan menjadi content creator di platform Tiktok dan Instagram. Di laman ini saya akan menulis tentang 2 topik tersebut dan tidak menutup kemungkinan untuk mengeksplor topik lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dinamika Naturalisasi Pemain dan Perkembangan Sepak Bola Indonesia

13 September 2024   14:09 Diperbarui: 13 September 2024   14:13 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Erick Thohir bersama Mees Hilgers dan Eliano Reijnders. Sumber Gambar: Media Indonesia

Dalam konteks ini, terdapat 5 kategori pemain berdasarkan keturunan yang berada di tubuh timnas saat ini seperti yang dikutip dari berbagai sumber:

  • Full-Blood - Pemain yang lahir dari ayah dan ibu asal Indonesia, serta memiliki kakek dan nenek asal Indonesia, dan sudah menyandang status WNI sejak lahir. Contohnya: Asnawi Mangkualam, Witan Sulaeman, Rizky Ridho.
  • Half-Blood - Pemain yang sudah berstatus sebagai WNI sejak lahir dan tinggal di Indonesia sejak lahir, dan merupakan hasil perkawinan antara ayah/ibu WNI dengan ayah/ibu WNA. Contohnya: Ronaldo Kwateh.
  • Half-Blood Diaspora - Pemain yang lahir dan tumbuh besar di luar Indonesia tetapi memiliki darah keturunan dari ayah/ibu/nenek/kakek-nya. Ada yang sejak awal memang sudah menjadi WNI (seperti Elkan Baggott) dan ada juga yang awalnya WNA, lalu menjadi WNI (seperti Jay Idzes, Sandy Walsh, dan Nathan Tjoe-A-On)
  • Blijvers - Blijvers mengacu pada pemain yang lahir dan tinggal di luar Indonesia serta tidak memiliki darah keturunan Indonesia dari ayah/kakek/ibu/nenek mereka. Tetapi mereka bisa mendapatkan status WNI karena nenek/kakek mereka lahir dan pernah menetap di Indonesia. Contoh: Maarten Paes.
  • Naturalisasi Murni -- Pemain yang lahir sebagai WNA di luar Indonesia tanpa garis keturunan Indonesia dari ayah/ibu/nenek/kakek-nya. Pada awalnya, WNA tetapi bisa menjadi WNI karena sudah memenuhi persyaratan seperti misalnya: menetap selama lima tahun berturut-turut di Indonesia. Contoh: Marc Klok.

Lalu, Peter F. Gontha dalam salah satu poinnya juga membuat pertanyaan, "Apakah mereka mau membuang tunjangan sosial mereka di negara asal mereka begitu saja?"

Untuk itu mari kita melihatnya dari perspektif pemain keturunan itu sendiri. Semua pemain keturunan dan diaspora yang akhirnya memilih untuk membela Indonesia tentu sudah memikirkan matang -- matang keputusan yang akan mereka ambil dan mendiskusikannya dengan orang -- orang terdekat mereka seperti orang tua dan saudara. Keputusan itu pada akhirnya datang dari hati nurani mereka.

Kendati alasannya berbeda -- beda untuk setiap pemain tetapi motivasi mereka adalah sama. Merasa terpanggil untuk membela tim Garuda. Sehingga mereka pun sudah tidak memiliki penyesalan apapun.

Lihat saja bagaimana Sandy Walsh misalnya, yang sudah berusaha untuk membela timnas sejak medio 2019 ketika timnas saat itu berada pada era terpuruknya. Kendati baru terealisasi beberapa tahun kemudian, Sandy terlihat begitu senang dan dengan cepat mengintegrasikan dirinya di skuad Indonesia, dan mempelajari Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

Saat ini pun, Sandy juga diberi tugas oleh STY untuk memandu para pemain keturunan dan diaspora yang baru bergabung supaya mereka juga bisa secepat dirinya dalam beradaptasi dengan kultur Indonesia yang membuat pergaulan antara pemain diaspora dan keturunan dengan pemain lokal Indonesia kini semakin tidak ada batas, terlihat dari banyak-nya momen -- momen yang dibagikan di media sosial.

Lalu apakah pantas harmonisasi yang rukun dan damai di tubuh timnas yang saat ini sedang berjuang bersama -- sama dianggap sebagai sesuatu yang merendahkan martabat bangsa seperti dalam poin terakhir yang Peter F. Gontha sampaikan di unggahannya? Tentu saja jawabannya adalah tidak sama sekali.

Banyak yang tidak habis pikir kepada mantan duta besar itu mengapa ia juga sampai menyatakan jika "lebih baik timnas kalah terhormat daripada menang/seri dengan banyak pemain diaspora dan keturunan". Tentu saja hasil -hasil - hasil positif yang timnas raih dengan harmoni antara pemain keturunan dan diaspora dengan pemain lokal sangat membanggakan bagi 270 juta rakyat Indonesia.

Mungkin satu -- satunya hal yang tepat dari postingan Peter F. Gontha adalah soal pembinaan pemain di Indonesia. Ya, proses scouting pemain -- pemain keturunan dan diaspora juga harus diikuti oleh pembenahan sepakbola dalam negeri terutama dari segi pembinaan seperti yang kita lihat di negara -- negara besar sepakbola dunia seperti Spanyol dan Jerman.

Untuk menciptakan hal tersebut, pertama -- tama PSSI dengan kolaborasinya dengan LIB harus menciptakan ekosistem kompetisi sepakbola di Indonesia yang kompetitif dan berjenjang mulai dari Liga 1 hingga ke level grassroots dan amatir.

Struktur kompetisi harus dibuat lebih modern dan menyesuaikan dengan kondisi Indonesia. Saat ini setelah membenahi timnas, PSSI memang sudah menargetkan akan membenahi Liga Indonesia serta membuatnya menyadi 4 kasta ditambah dengan Liga Sepakbola Putri dan Piala Liga Indonesia yang akan memperluas jaringan national pool untuk menyaring bakat- bakat lokal Indonesia yang bisa disatukan dalam satu database besar yang akan sangat membantu timnas di berbagai jenjang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun