Timnas Indonesia sedang hangat diperbincangkan. Bukan sebab berhasil lolos dari penyisihan grup Piala Asia 2023. Melainkan, sosok seorang Shin Tae-Yong.
Coach Shin, sapaan akrab pelatih asal Korea Selatan, menjadi publik figur baru di wajah persepakbolaan Indonesia. Bagaimana tidak, pelatih memiliki tinggi 173 cm ini berhasil menyisihkan Luis Milla dari kursi pelatih timnas Indonesia. Dia dibawa dengan banyak harapan mendongkrak prestasi.
Tidak ada yang special dari dirinya. Prestasinya juga biasa-biasa saja. Kita hanya mengingatnya sebagai pelatih timnas Korea Selatan. Mereka berhasil mengalahkan sekaligus memulangkan timnas Jerman. Kejadian bersejarah itu terjadi di edisi Piala Dunia 2018.
Prestasi itu juga tidak membantu timnas Korsel. Mereka juga ikut angkat koper. Celakanya, telur dan bantai dilempar ke arah timnas negara ginseng. Itu terjadi tidak lama saat mereka tiba di bandara Seoul.
Prestisius suporter ditengarai menjadi penyebab kejadian itu. Korsel yang tidak pernah lepas dari tangan pelatih asing. Mereka berhasil keluar sebagai juara keempat. Catatan bersejarah itu terjadi di Piala Dunia 2002. Coach Shin sejatinya gagal menjawab tantangan membawa prestasi untuk negaranya.
Tangan dingin mulai terasa saat menangani timnas Indonesia. Angin segar itu berhembus dengan berbagai macam mitos. Juga glorifikasi dari kebanyakan orang.
Potongan cerita kemenangan Korea Selatan atas Jerman didengungkan terus menerus. Akan tetapi, catatan kekalahan atas Swedia dan Meksiko disimpan rapi. Para pendengung berusaha menyakinkan publik bahwa coach Shin bisa berprestasi lebih.
Keraguan dan juga optimis bak bayangan. Mereka jalan berdampingan. Akan tetapi, coach Shin dan timnya terus bekerja dengan keras.
Kontrak Shin Tae-Yong berdurasi empat tahun bersama timnas Indonesia sejak Januari 2020. Tanda-tanda membaik sudah mulai terlihat. Indikatornya adalah kemenangan dan pola permainan. Jika itu adalah indikator, sebaiknya kita harus menyelam melihat lebih dalam lagi.
Kita masih ingat bagaimana Coach Shin memangkas generasi. Pemain-pemain senior tidak mendapat tempat. Ini seperti permainan kartu. Di mana terjadi kocok ulang. Meramu ulang komposisi pemain dengan mempertimbangkan banyak aspek.
Salah satunya adalah kedisiplinan. Bukan perkara mudah untuk membentuk para pemain yang sudah terbentuk karakternya. Mulai dari masalah tepat waktu dan mengatur pola makan. Itu sepertinya, alasan diantara banyaknya alasan. Akar masalahnya adalah sulitnya pelatih mentransfer ilmu untuk membentuk karakter permainan.
Selain masalah bahasa, juga karakter permainan para pemain senior sangat sulit diubah. Kita bisa lihat bagaimana para pelatih timnas terdahulu mengadaptasi pola permainan liga masuk ke timnas. Mengandalkan kecepatan. Juga umpan bola atas yang belum tentu akurat.
Seleksi ketat yang dilakukan hingga menyisihkan banyak nama. Kita tidak melihat lagi Evan Dimas, Osvaldo Haay, ataupun Maldini Pali. Nama-nama baru bermunculan. Sebut saja Ricky Kambuaya dan Marselino. Tetapi, yang paling menyolok adalah kehadiran para pemain naturalisasi.
Coach Shin mencari pemain keturunan Indonesia sampai keluar negeri. Berbeda dulu dengan yang dilakukan oleh Indra Sjafri. Beliau berkeliling Indonesia untuk mencari pemain. Tujuannya sama, tetapi metode yang lakukan berbeda.
Shin Tae-Yong lebih menginginkan pemain pengalaman. Pengalaman bukan berarti bermain bola lebih lama. Melainkan, tumbuh di lingkungan yang punya kultur sepakbola. Aspek itu tidak tumbuh di liga sepakbola Indonesia.
Kita tidak memiliki kunci kedisiplinan. Terutama menjaga kedisiplinan menjaga pola makan. Atlet butuh asupan gizi. Kebutuhan ini tentu berbeda dari orang kebanyakan.
Tujuan asupannya tidak hanya padat kalori. Dipertimbangkan bagaimana gizi tersebut dapat menyangga pembentukan otot. Serta bisa menjaga kebugaran pemain. Intinya, kebanyakan orang makan untuk kenyang. Akan tetapi, atlet sepakbola makan agar bisa terus bugar.
Suplai gizi tersebut dihitung oleh orang ahli gizi. Ditakar satu per satu. Antara atlet yang satu dengan atlet lain berbeda. Pola makan sebelum latihan dan setelah latihan berbeda. Tidak hanya itu, juga sebelum bertanding pola gizi diatur agar pemain tidak terlihat berat dan malas berlari.
Apakah pemain senior bisa paham dengan ini? Mungkin iya. Tetapi, saya sendiri meragukan. Bagaimana lingkungan di luar lapangan membuat itu menjadi meragukan. Asupan nutrisi yang tidak sehat menggoda sekali. Makanan cepat saji dan tentu saja sebatang rokok.
Kita baru berbicara asupan displin nutrisi. Bagaimana dengan aspek berikutnya. Yakni, pemahaman taktik bermain. Air laut akan susah dibuat tawar, jika sumber airnya masih ditimba dari air laut. Mungkin inilah yang menjadi pola dasar dibentuk ulangnya komposisi pemain timnas Indonesia.
Pemahaman taktik bermain akan mudah dibentuk. Jika pemainnya punya asupan nutrisi yang baik. Kesehatan paru-paru, kekuatan otot, dan banyak lainnya. Ini yang menyangga pemain agar dapat bermain selama mungkin.
Jam terbang pemain juga mendukung terbentuknya pemahaman taktik. Kebiasaan ini terbentuk dari akademi dan kultur sepakbola yang kuat. Mau tidak mau, jalan pintas itu diambil dengan kebijakan naturalisasi. Tidak sembarang juga memungut pemain. Kerja para scouting yang ditugaskan oleh coach Shin.
Perubahan terlihat sejauh ini. Target lolos ke babak penyisihan grup Piala Asia 2023 terpenuhi. Pun, timnas Indonesia berhasil lolos ke babak 16 besar. Walaupun, harus menggantungkan nasib ke hasil pertandingan negara lain. Australia sudah menanti.
Tentu kita ingin coach Shin terus bertahan. Tidak selamanya. Pun, jangan menjadi sebuah mitos. Apalagi glorifikasi. Ia sejatinya menjadi monumen perubahan. Sebab, kita butuh momentum. Seorang tokoh perlu hadir di panggung depan.
Kita terlalu lama membuang-buang momentum perubahan. Ia lahir berulang kali. Gagal digarap dengan maksimal. Sudah saling bertatapan lalu kemudian memunggunginya kembali.
Cita-cita itu membentuk industri sepakbola Indonesia. Beberapa negara sudah mencoba itu sampai sekarang. Lihat Amerika Serikat, Tiongkok, dan Arab Saudi berlomba-lomba. Jumlah penontonnya tidak sebanyak liga Inggris. Mungkin mendekati liga Eropa lainnya.
Kita punya keunggulan jumlah penduduk. Potensi ekonomi ini akan mempengaruhi penjualan harga tiket nonton dan hak siar. Ini belum digarap maksimal.
Konon katanya harga hak siar Liga Indonesia emapt kali bahkan lima kali lebih mahal dibandingkan hak siar Liga Inggris. Juga lebih mahal dibandingkan dengan Bundesliga Jerman. Sekonyol-konyolnya, saya bahkan menikmati liga Jepang free streaming di youtube. Ironisnya, vidio mewajibkan penggunanya membayar Rp786.990 untuk paket Diamond Liga Inggris.
Pemasukan ini bisa digarap oleh para pemangku kepentingan. Potensi ekonomi ini menjadi pondasi dari segala perubahan. Lihat bagaimana klub-klub Liga Indonesia sudah menyatakan susah secara finansial. Mustahil ini bisa berubah jika tidak ada investor dan kebijakan publik yang mampu mendorong kemajuan finansial klub. Akar dari segala perubahan adalah kelancaran suplai finansial ke klub. Dan sejatinya, kritik itu mesti didengungkan dibanding harus meneriaki dengan keras glorifikasi akan Shin Tae-Yong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H