1.
Kau tidak akan pernah menyangka bahwa kebiasaanmu dari kecil. Malapetaka bagimu. Di sisi lain, kebiasaan itu pula adalah berkat bagi orang lain. Kebiasaan itu akan saya ceritakan sekarang.
Umurku kira-kira 8 tahun. Tinggi badanku tidak setinggi etalase kaca di toko buku. Seingatku, siang itu sehabis pulang sekolah. Antusias kuceritakan kepada papa bagaimana asiknya menggambar. Pensil krayon berwarna itu menggores-gores kerta putih. Warna-warna itu membentuk pemandangan indah pedesaan.
Tentu, saya tidak pernah ke pedesaan. Lamunan imajinasi pedesaan kulihat di televisi. Hamparan sawah, gunung, dan matahari terbit. Tidak ketinggalan jalanan aspal hitam dengan garis putih membelah jalan. Komposisi itu lukisan klise anak kecil.
Bau keringat papa masih tercium. Tambah seru dengan anyir kering matahari. Beliau sepertinya habis menyelesaikan pekerjaan di bengkel. Jelaga besi dan hitam oli menempel di baju kaos berkerah. Dia datang menjemput anak laki-laki kecilnya.
Mendengar antusias ceritaku, stir motornya diarahkan ke toko buku dan alat tulis. Tepat perempatan batu putih dan bulukunyi.Â
Seingatku, Gramedia satu-satunya toko buku dan alat tulis besar di kota Makassar pada waktu itu. Sisanya, mereka masih seukuran ruko. Tersebar di berbagai sudut kota. Dikelola mandiri.
Saya dipersilahkan papa menengok etalase. Kedua tangan kecil meraba kaca sambil menempelkan mata. Kulirik-lirik pensil krayon. Kutarik baju papa. Telunjuk mengarah ke salah satu kotak pensil warna.
Betapa girang mendapatkan pensil krayon. Otak ini membayangkan di rumah nanti akan kulanjutkan kegirangan menggambar. Selain itu, papa juga membelikan lanjutan buku AKU INGIN TAHU. Kegiranganku meluap-luap.
2.
Kebiasaan beli buku tidak berlanjut. Pergaulan sekolah tidak mengizinkan itu untuk tumbuh subur. Kami anak remaja lebih menyukai membeli mainan. Bahkan, rela juga menyisipkan uang jajan untuk dihabiskan pada akhir pekan.
Papa juga sudah tidak lagi secara rutin membelikan buku. Biaya tersebut dialihkan ke tabungan. Impian untuk memiliki rumah. Tabungan lain juga untuk anak-anaknya bersekolah. Otomatis, biaya membeli buku sama mewahnya dengan berliburan.
Sampai kira-kira tercetus kembali saat mengenyam pendidikan di sekolah tinggi. Saya berinteraksi dengan banyak teman. Mereka fasih mempertanyakan hal-hal di luar percakapan yang tak pernah kutemui. Fasih mengucapkan berbagai persoalan juga lengkap dengan nama-nama orang tidak familiar di telingaku.
Oleh mereka, seusai berbincang, disarankan kami para pendengar membaca buku. Katanya mulailah dari yang paling ringan sekali. Seingatku, DUNIA SOPHIE. Novel filsafat katanya, tetapi bacalah saja. Tidak berat.
Kuberanikan diri mencari buku itu. Tiga hari menghemat uang bensin dan uang jajan. Kukelilingi semua toko buku yang berada di areal perkotaan. Tidak ada. Saya pelan-pelan menelusuri toko buku di areal Unhas. Tidak mudah dan buku itu alahkah mahal harganya.
***
Kebiasaan berburu buku itu membuka mata saya hari ini. Ingatan penjual buku hanya itu-itu saja. Areal jalan Bulukunyi, Timor, dan Cenderawasih. Bahkan, Gramedia sesekali dijejali bersama Papa di waktu luang. Terakhir, saya tahu bahwa areal Bulukunyi masih menjual buku.
Belum lama ini saya pulang ke Makassar. Menengok orang tua dan anak. Rindu dengan kebiasaan membeli buku. Kuputuskan mencari menggunakan motor.
Pintu beberapa dari mereka sudah tergembok. Papan nama juga hilang. Bahkan, ada yang sudah berpindah sampai akhirnya entah ke mana. Kutelpon beberapa teman untuk menemukannya.
Tidak hanya toko buku yang berpindah. Teman yang dulu menjadi penjaga toko buku kini berpindah menjaga toko buku lain. Alangkah sulitnya mereka bertahan hidup.
Relatif toko buku di kota Makassar hidup di areal kampus. Tamalanrea Unhas dan UNM Malengkeri-Pettarani. Beberapa toko buku itu hidup bersama komunitas. Mereka gondrong, berenergi, dan juga mahir menyebutkan pemikiran dari Jerman, Timur-Tengah, Inggris, dan masih banyak lainnya.
Belakangan kutahu, komunitas itu tumbuh dari semangat mereka sejak kuliah. Hobi mereka dilepasliarkan, berimajinasi produktif, sampai berhasil menumbuhkembangkan komunitas lain. Anak-anak muda yang bisa berpikir. Kemampuan itu harus dikontrol dengan asupan nutrisi bacaan dari buku berkualitas.
Ironi memang mengingat bagaimana hobi bermanfaat ini kurang tersentuh ke sebagain besar anak muda lainnya. Hitung-hitung hobi ini tidak mahal juga tidak murah. Total belanja buku tahun 2023 lebih mahal dibandingkan membeli pakaian. Bahkan, lebih mahal dibandingkan harus liburan. Tetapi, hobi beli buku lebih murah dibandingkan harus menikmati sajian kuliner di rumah makan.
Harga buku dari tahun ke tahun makin menggila harganya. Buku bagus Gramedia paling murah menyentuh harga Rp.80.000 sampai Rp.200.000. Belum jenis buku lain di luar Gramedia. Aplikasi Shoppe misalnya, menjual buku di harga Rp.50.000 sampai Rp.100.000 untuk buku bekas ditambah dengan biaya ongkir. Intinya, harga buku tetap mahal.
Ini belum termasuk membeli buku berbahasa Inggris. Kalian harus merongoh kocek dalam. Kisaran Rp.300.000 sampai Rp.800.000 untuk menikmati buku tersebut. Bagaimana dengan versi digital? Banyak orang tidak menikmatinya. Apakah kita akan bergantung kepada buku digital dibagikan gratis. Pilihan buku bajakan tidak kalah menggoda.
Saya membayangkan bagaimana seorang mahasiswa tumbuh di kampus hari ini. Mahalnya harga buku, kos, dan kebutuhan hidup mewajibkan memilih memilah mana yang harus mereka belanjakan. Belum lagi diperparah dengan menikmati kopi sambil merokok.
Ide mencerdaskan otak dengan nutrisi baca buku nihil. Kita lihat hari ini baik capres-cawapres, caleg, dan calon kepala daerah tidak menjanjikan pilihan politik untuk buku. Skema pembangunan perpustakaan. Keberpihakan menciptakan harga buku murah sukar menjadi janji politik hari ini.
Cerminan itu bisa kita lihat bagaimana toko buku bertahan hidup hari ini. Toko buku bertumbangan. Pun, ada yang memilih menjual buku dari menyewa gedung hingga akhirnya beralih menjual secara online. Juga ada yang menjual buku, sembari alat tulis, hingga menanamkan gerai minum kopi serta mainan anak-anak.
***
3.
Dos besar kusiapkan. Saya akan kembali ke tempat tugas. Selain gadget, sepertinya saya akan membawa beberapa buku untuk menemani.
Kugeleng-geleng kepala melihat struk belanja buku. Kusingkirkan beberapa plastik yang masih membungkus. Aroma menyembur memenuhi hidup. Nikmat betul aroma buku baru.
Batinku sepertinya buku ini bagus. Yang ini juga. Tidak terasa tumpukannya hampir memenuhi dos.
Kuluruskan punggung. Kubaca beberapa pesan WhatsApp. Juga menikmati beberapa sosial media. Betapa terkejut, toko buku yang kusinggahi membeli satu buku yang hanya ada di situ menyatakan diri tutup dan beralih menjual buku secara online.
Lamunan terlempar ke sana. Gagang pintu putih dan bangku kayu. Tempat saya dan sang penjual berinteraksi. Kopi susu diseduh dan kami berbincang jauh tentang tempatnya berjualan. Menurutku, tempat itu enak sekali. Dan kebahagiaan itu sirna ibarat mendengar seorang sahabat karib pergi selamanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI