Masih ingat dengan kasus pencuri cokelat yang sempat viral beberapa bulan lalu? Hari ini saya menyempatkan untuk menulis artikel yang mungkin dapat membuat kalian berpikir lebih jernih, kenapa sekarang? Karena ini adalah waktu yang tepat dimana kita tidak lagi terjebak secara emosional dengan kasus yang telah berakhir dengan damai ini.
Saya sependapat jika sang Ibu membuat laporan yang dianggap mencemarkan nama baiknya kepada salah satu karyawan tersebut, karena jika kita pelajari alur kejadian atas kasus tersebut, maka seharusnya memang tidak patut menyebarkan aib/permasalahan yang seharusnya sudah berakhir secara damai pada media sosial?
apa tujuannya? mempermalukan orang tersebut? toh, mereka sudah sepakat untuk tidak memperpanjang permasalahan, dimana sang pelaku telah membayar kerugian kepada si korban.
Masih tidak paham? Mari kita analogikan.
Ibaratkan Anda membuat kesalahan dengan menjatuhkan sebuah smartphone pada sebuah toko, kemudian Anda telah membayarkan kerugian pada sang pemilik toko, dimana permasalahan dianggap telah clear/tuntas, keesokan harinya Anda menemukan video Anda menjatuhkan smartphone telah viral. Lantas apa yang anda lakukan? Tentu akan muncul kekecewaan dan rasa marah karena Anda sudah menyakini jika permasalahan tersebut telah usai.
Masih belum puas dengan analogi tersebut? Saya berikan satu lagi contoh dengan variabel yang hampir sama.
Anda memiliki seorang anak yang memiliki kebutuhan khusus (Sang pelaku juga terindikasi Klepto) tiba-tiba anak Anda merusak beberapa produk yang ada pada toko yang Anda kunjungi dan Anda telah menyelesaikan permasalahan tersebut kepada pemilik toko, masih sama dengan analogi sebelumnya, dimana keesokan harinya Anda menemukan video tersebut di Social Media.
Bicara kebenaran maka harus dilihat dari sisi yang objektif, jangan ada anggapan bahwa orang kecil tidak pernah salah, ataupun pemahaman benar dan salah ditentukan oleh kekuatan massa.
Kenapa massa sangat mendukung karyawan tersebut? Ya bukan lain karena ada anggapan orang kecil tidak memiliki kuasa, selalu tertindas dan lemah.Â
Sayangnya hukum tidak melihat hal tersebut! karena pada dasarnya Hukum harus memiliki prinsip EQUALITY BEFORE THE LAW, kesetaraan itu harus hadir sebelum hukum ditegakkan, jabatan Anda harus diletakkan, baju Anda harus ditanggalkan, segala atribut kuasa dan profil Anda benar-benar telanjang di depan hukum.
Sayangnya masyarakat kita masih belumlah bijak, terkadang Empati berlebihan mengaburkan logika dan kebenaran. Anda semua selalu menuntuk kebijaksanaan tapi Anda sendiri jugalah yang tidak bijaksana.
Apakah kita sudah cukup bijak dalam menyikapi masalah yang setiap harinya akan hadir pada hidup kita baik itu secara real maupun digital? Sudahkan kita melihat segala hal dengan objektif? Sayapun belum, namun tetap berusaha.
William.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI