Yang aneh justru terjadi di mulut tambang PT. Freeport Indonesia, setelah konfirmasi 51 orang karyawan positif Covid-19, induk holding BUMN INALUM sebagai pemilik saham mayoritas PT. Freeport Indonesia, tidak juga menghentikan aktivitas puluhan ribu karyawan, yang setiap harinya berinteraksi dalam lingkungan kerja yang sempit dan crowded, dan justru dibiarkan tanpa instruksi "penanggulangan" yang jelas oleh Pemerintah Pusat. Bahkan permintaan Pemda dan DPRD Mimika juga tidak di indahkan dan tidak digubris oleh Pemerintah Pusat.Â
Situasi ini menunjukkan betapa kuatnya "rezim kapitalisme negara/ baca kepentingan pusat" mengontrol hajat hidup rakyat dan bahkan dapat mendikte "aktor negara" di atas kekayaan emas, tembaga, perak di Tembagapura dan Grasberg di Tanah Papua..
Negara dalam arti sempit "local government" sebut saja Bupati, DPRD, Gubernur, DPRP, tidak dapat berbuat apa -apa untuk menghentikan aktivitas penambangan yang berisiko mempercepat penularan covid, yang pada gilirannya membahayakan masyarakat Papua pada keseluruhannya.Â
Dalam model IUPK, yang identik dengan Model Pengelolaan Kontrak Karya pada era KK 1 dan KK 2, rezim yang mengendalikan pengelolaan pertambangan di Tembagapura dan Grasberg diatas Tanah Papua, tidak mengenal definisi "local government", seperti Gubernur, Bupati, wali kota, apalagi berbentuk DPRP, MRP, atau DPRK/DPRD.. Sebab cengkeraman kapitalisme Freeport di atas tambang Grasberg dikendalikan atas persetujuan "Penguasa Jakarta" atau dikenal dengan rezim Pusat (sentralistik Commando).Â
Pada gilirannya, memberikan kita informasi penting, bahwa Pelaksanaan operasional Freeport di Tambang emas terbesar di Tanah Papua ini, hanya menjadikan Pemerintah Daerah sebatas "kekuasaan administrasi sipil semata", seolah olah dapat bertindak sebagai "pejabat daerah yang memiliki kewenangan", namun pada hakikatnya, hanya dapat bertindak sebatas urusan "pencatatan sipil" disebuah koloni kecil, seperti mengurus data kependudukan, mengurus orang mati, dan lain lain yang menjadi urusan daerah.
Sebagai anggota parlemen RI yang berkiprah sejak 2014 silam, kami telah lama menyadari "cengkeraman sentralisasi" ini, termasuk sempat menentang pemberlakuan rezim IUPK sebagai pengganti KK dalam upaya perpanjangan izin pengelolaan Freeport di tambang Grasberg dan Tembagapura.
Salah satu opsi yang hampir tidak pernah dapat di eksekusi, dan selalu mendapatkan "tantangan terbesar" kedalam diplomasi politik di Senayan, termasuk pada sisi Pemerintah Pusat (baca: menkeu, menteri ESDM, menteri Hukum dan HAM, termasuk Menko Kemaritiman), adalah Upaya delegasi politik Bangsa Papua untuk mempercepat revisi Otsus Papua versi 2001, yang wajib memasukkan substansi pengelolaan SDA di atas Tanah Papua yang memperkuat Peran Rakyat Papua sebagai "holding" dan pengendali operasional pertambangan..Â
Dan subtansi inilah yang selalu di hindari untuk di diskusikan oleh Rezim Pusat, karena dipandang dapat mengancam kepentingan Kapitalisme Kelompok/elit Jakarta yang selama ini memanen keuntungan dari penguasaan tambang Grasberg secara sentralistik..
Padahal elemen rakyat dan penyelenggara negara diatas Tanah Papua (baca: Pemda), juga bagian dari warga negara yang mengibarkan bendera merah putih yang sama, berfalsafah Pancasila yang sama, serta memegang teguh landasan konstitusional UUD 45 yang sama.Â
Saat ini, diskursus terkait kuatnya "benteng kapitalisme negara" yang mencengkeram kegiatan penambangan Freeport di atas Tanah Papua, merumuskan definisi baru, hadirnya identitas baru "kebangsaan" yaitu "Bangsa Freeport" sebagai penguasa hajat hidup rakyat diatas tanah emas, tembaga dan perak..Â
Identitas Kebangsaan "Bangsa Freeport" ini, tidak hanya mengacu pada McMoran Interest semata (orang asing, berkulit putih, berambut pirang, bermata biru, berkebangsaan eropa), tetapi juga melibatkan Bangsa sendiri (berkulit cokelat, berambut hitam, lahir dari rahim pribumi nusantara), dimana mereka berdiri dibalik otoritas pusat yang mengendalikan pengelolaan Freeport, sebagai identitas "kapitalisme negara"..