DPP GAMKIÂ - Peringatan Hari Proklamasi kemerdekaan 1945 yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, yang dirayakan secara reguler oleh seluruh warga negara dengan suka cita, termasuk dilaksanakan dalam upacara seremonial megah di Istana Negara, yang dihadiri oleh diplomat negara negara sahabat. Gegap gempita perayaan hari kemerdekaan, terasa mulai dari wilayah perkotaan, perdesaan/perkampungan, lorong-lorong, lembah-lembah, pegunungan, lintas kepulauan, ikut larut dalam perayaan hari kemerdekaan yang begitu bersejarah itu.Â
Perayaan hari kemerdekaan di Indonesia benar-benar berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dimana hasil kemerdekaan yang diperoleh di negeri ini, didapatkan melalui perjuangan panjang disertai pengorbanan jiwa dan raga (bukan hasil pemberian penjajah), serta yang terpenting seluruh identitas suku, budaya, agama, yang tersebar diseluruh wilayah nusantara, bersatu dalam keyakinan yang sama, yaitu semangat menentang kolonialisme. Kemerdekaan yang diperoleh negeri ini, tidaklah diserahkan secara cuma-cuma, tetapi direbut dengan perjuangan berdarah-darah.Â
Pada masa itu, gerakan revolusi 45 dibangun berdasarkan perasaan senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah dan tertindas. Sehingga tidak heran, pada masa itu, seluruh komponen anak bangsa (dari Merauke  - Sabang) bersatu mendorong berdirinya negara yang  berdaulat. Dengan harapan, generasi dimasa mendatang akan menikmati hasil perjuangan revolusi kemerdekaan tanpa harus merasakan perampasan hak asasi disemua lini kehidupan.Â
Makna kolonialisme adalah perbudakan kelompok manusia oleh sekelompok manusia lain, dengan memaksa setiap orang untuk tunduk pada sistem kekuasaan yang mengijinkan perampasan kebebasan dan pemerkosaan terhadap hak asasi sekelompok manusia lain.Â
Dihari ini, setelah 74 Tahun Indonesia hidup dalam udara kemerdekaan, secara fisik praktek kolonialisme tersebut menghilang, namun jejak-jejak mental dan perilaku yang mengafirmasi kolonialisme masih terasa, diantaranya, terdapat sebagian dari anak negeri yang berbeda keyakinan agama, yang justru mendapatkan perlakuan diskriminasi, dalam bentuk penyegelan rumah ibadah, tempat dimana Tuhan diagungkan dan disembah.Â
Peristiwa pelarangan mendirikan Rumah Ibadah dan pelaksanaan praktek ibadah, baru baru ini terjadi di daerah Petalongan, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Bahkan Pemda setempat menggerakkan perangkat Pol PP yang menjadi alat negara di daerah setempat, untuk membantu penyegelan rumah ibadah, tempat warga kristen seharusnya menjalankan ibadah secara bebas dan merdeka.
Menyembah Tuhan bukanlah perbuatan nista yang melanggar kesusilaan dan norma-norma yang umum di sepakati dalam kehidupan bermasyarakat, terlebih lagi dalam rangka kehidupan kebangsaan. Sebab, landasan filosofis Pancasila menjamin dan melindungi Keyakinan Setiap Orang terhadap Ajaran Agama dan Keyakinan dirinya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.Â
Noda hitam itu, tidak berhenti hanya pada kasus penyerangan terhadap prinsip keyakinan dalam pelaksanaan ajaran agama saja, di ufuk timur negeri nusantara , di Tanah Papua, juga masih terus berlangsung rangkaian operasi militer yang telah berjalan selama 9 bulan, terhitung sejak perintah operasi militer itu dilakukan pada awal bulan Desember 2018 di tahun lalu.Â
Dan sejak rilisan perintah operasi militer selama periodisasi 9 bulan itu, dilaporkan terdapat 182 orang mati di Kabupaten Nduga menurut laporan Tim Kemanusiaan Nduga, yang keanggotaannya terdiri dari unsur Pemda, DPRD, Aktivis HAM, dan Lembaga Sinode di Kabupaten Nduga. Dan hasil penelusuran korban tersebut, juga telah dilaporkan ke Kementerian Sosial RI di Jakarta.Â
"Korban meninggal terbanyak adalah anak-anak/balita sebanyak 92 jiwa, dan sisanya sebanyak 90 korban lainnya adalah orang dewasa".Â
Adapun rincian 182 korban meninggal akibat pelaksanaan operasi militer di daerah Nduga terdiri dari 21 korban meninggal kategori perempuan dewasa, 69 korban meninggal kategori laki-laki dewasa. Selain itu terdapat  92 korban meninggal kategori anak/balita/bayi, yang terdiri dari 20 korban meninggal kategori anak laki-laki, dan 21 korban meninggal kategori anak perempuan, 14 korban meninggal kategori balita perempuan, sebanyak 12 korban meninggal kategori balita laki-laki, 8 korban meninggal kategori bayi laki-laki, dan 17 korban meninggal kategori bayi perempuan.
Selain korban yang tewas akibat pelaksanaan operasi militer di wilayah Nduga, juga terdapat 45 ribu orang, Â terpaksa meninggalkan rumah rumah mereka, kebun-kebun mereka, ternak-ternak mereka, Gereja-Gereja mereka, dan harus tinggal di daerah pengungsian tanpa kepastian waktu, kapan mereka dapat kembali ke kampung halamannya sendiri.
Melihat rangkaian peristiwa diatas, mulai dari persoalan "penyerangan terhadap keyakinan beragama", kemudian masih eksisnya perampasan hak hidup terhadap warga sipil di wilayah Nduga, Tanah Papua, yang menelan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Dan hilangnya kepekaan media-media mainstream untuk mewartakan informasi penting ini ke hadapan publik, seperti menjelaskan masalah penting yang sedang dihadapi oleh bangsa yang besar ini, untuk apa kita merayakan hari proklamasi kemerdekaan, ketika terdapat sebagian warga negara yang justru masih hidup dalam ancaman terhadap keyakinan dan masalah perampasan hak hidup.Â
Jika masalah ini dihadapkan pada perspektif, masyarakan hedonis dikota-kota besar, yang tampak hidup makmur dan sejahtera, maka persoalan ini dimata mereka hanyalah sebatas "cerita dongeng" idealisme yang tidak berarti apa-apa. Namun ingat, masalah-masalah diatas menjadi sumber penyakit yang menghancurkan nilai-nilai nasionalisme, ketidakpercayaan sebagian anak negeri terhadap masa depan bangsanya, yang pada gilirannya, menjadi pemicu perpecahan yang tentunya dapat mengancam integrasi kehidupan nasional.
Oleh karena itu, melalui kesempatan yang terhormat ini, ijinkan kami selaku Ketua Umum DPP GAMKI pusat, menyampaikan pesan moral dihari perayaan 17 Agustus 1945, yang ditandai sebagai hari revolusi kemerdekaan Indonesia, agar seluruh komponen bangsa termasuk para petinggi dan elit nasional untuk membumikan kembali nilai-nilai Human Rights pada hari kemerdekaan RI ke 74, agar maksud dan tujuan cita cita revolusi 45, yang memerdekaan bangsa-bangsa bumi putra di seantero nusantara dapat benar-benar merasakan makna kemerdekaan secara utuh, terbebas dari rasa takut dan perampasan hak hidup, serta dapat menjalankan keyakinannya secara merdeka.Â
Jakarta, 15 Agustus 2019
Ketum DPP GAMKI (Gerakan Angkata Muda Kristen Indonesia)
Willem Wandik, S.SosÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H