Mohon tunggu...
Willem Wandik. S.Sos
Willem Wandik. S.Sos Mohon Tunggu... Duta Besar - ANGGOTA PARLEMEN RI SEJAK 2014, DAN TERPILIH KEMBALI UNTUK PERIODE 2019-2024, MEWAKILI DAPIL PAPUA.

1969 Adalah Momentum Bersejarah Penyatuan Bangsa Papua Ke Pangkuan Republik, Kami Hadir Untuk Memastikan Negara Hadir Bagi Seluruh Rakyat di Tanah Papua.. Satu Nyawa Itu Berharga di Tanah Papua..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Cikeas hingga ke Stasiun MRT: Antara SBY, Prabowo, dan Jokowi

15 Juli 2019   18:20 Diperbarui: 15 Juli 2019   18:37 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY, PRABOWO DAN JOKOWI

Peringatan 40 malam sepeninggalnya Ibu Ani Yudhoyono yang diselenggarakan di kediaman Presiden RI ke-6, Bapak SBY, di Puri Cikeas, pada tanggal 10 Juli 2019. Menjadi sebuah cerita yang menarik untuk dinarasikan kehadapan publik, sebab tidak lama setelah acara tersebut, tepatnya 3 hari sesudahnya, pada tanggal 13 Juli 2019 kemudian tersebar kabar yang begitu viral di media, terkait terealisasinya pertemuan Prabowi dan Jokowi di stasiun MRT lebak Bulus yang menandai era baru hubungan politik para pemimpin nasional, pasca perseteruan panas di masa-masa pemilu hingga gugatan di Mahkamah Konstitusi.

Sebagai catatan, seharusnya pemimpin politik dapat mengambil sikap yang lebih independen, tanpa terjebak pada persepsi golongan tertentu, yang masih berusaha bertahan pada status quo "kompetisi pemilu". Itulah sikap yang sejak awal diambil oleh Bapak SBY, dimana tanpa menunggu lama pasca penetapan hasil Pemilu, atas persetujuan Bapak SBY, AHY kemudian melakukan silaturahmi politik mengadakan pertemuan dengan Jokowi, untuk menurunkan tensi politik yang sempat memanas di masyarakat, yang lebih disebabkan oleh perseteruan panas para pendukung dimasa-masa pemilu.  

Ada yang menarik, disepanjang perhelatan peringatan 40 malam acara tahlilan Ibu Ani di kedimana Cikeas, selain dihadiri oleh banyak tokoh politik, kegiatan itu pula menarik perhatian banyak peserta "termasuk berbagai tokoh politik" yang juga ikut hadir pada acara tersebut.

Entah menjadi sebuah kebetulan yang benar-benar tidak disengaja, bahwa pada malam itu, Mbak Puan Maharani bersama Eric Tohir turut hadir dalam peringatan 40 hari wafatnya Ibu Ani. Selain itu, dalam waktu yang bersamaan pula, Bang Sandi Aga Uno juga ikut hadir dalam acara yang diselenggarakan di kediaman Bapak SBY itu.

Suasana berpakaian putih-putih, yang dipakai oleh peserta pada malam itu, justru tidak menggambarkan adanya pertemuan dalam rangka silaturahmi politik, diantara para tokoh politik yang diketahui menjadi pasangan kompetitor selama event pemilu berlangsung yang ikut menghadiri acara pada malam itu.

Namun, yang tampak pada malam itu adalah, suasana bertegur sapa, diantara sesama anak bangsa, yang berniat baik untuk merajut hubungan yang sempat terserak oleh perbedaan warna politik, dan kompetisi pemilu yang terbilang cukup panas.  

Namun reaksi "kebahagian" melihat para tokoh politik yang dengan legowo menjalin hubungan yang baik, tentunya ditanggapi berbeda oleh sebagian kalangan, yang masih memandang, kompetisi politik pasca pemilu itu, harus berlanjut ke gelanggang "oposisi".

Demikian pula halnya, pertemuan yang terekspose antara Prabowo dan Jokowi, juga mendapatkan berbagai tanggapan yang berbeda, setidak-tidaknya, reaksi tersebut menyangkut dua hal, pertama, reaksi dari rakyat yang netral dan menyambut baik tema pertemuan yang diselenggarakan oleh Prabowo dan Jokowi (dengan harapan akan terciptanya kondisi politik yang sehat dan pemerintahan yang akan bekerja selama 5 tahun mendatang dapat mengkonsolidasikan kembali visi misi pembangunan yang telah dimulai sejak 2014 silam). Kemudian, kedua, reaksi penolakan dari kelompok tertentu yang memandang pertemuan Prabowo dan Jokowi dinilai sebagai penghianatan terhadap sikap oposisi.

Jauh hari sebelum Prabowo menerima kritik, yang saat ini ikut menghujat Prabowo, Partai Demokrat, AHY, dan Bapak SBY juga telah terlebih dahulu menerima hujatan dan sumpah serapah dari kelompok tertentu yang tidak menerima sikap dan pilihan politik Partai Demokrat, yang menyikapi hasil pemilu sebatas kontestasi dalam berdemokrasi, yang harus dihormati semua kalangan (menang atau kalah adalah hal yang biasa dalam demokrasi).

Namun semua tuduhan dan persekusi yang dialamatkan kepada Partai Demokrat diawal pengumuman hasil pemilu, dihadapi dengan kepala dingin, oleh pentinggi partai, termasuk oleh Bapak SBY selaku Ketum. Adalah hal yang wajar di era demokrasi seperti saat ini, terdapat perbedaan cara pandang tentang sesuatu, namun, bersikap berlebihan dan bahkan saling menghujat "dengan narasi yang sangat kasar" tentunya merupakan perilaku yang menyimpang dalam berdemokrasi.

Ingat diantara hak-hak kita untuk berpendapat, terdapat pula hak orang lain untuk mendapatkan perlakuan dan penilaian yang sama adilnya, dengan persepsi yang disampaikan oleh kita sebagai pribadi atau kelompok.

Rakyat sejatinya tidak perlu khawatir, dengan sikap oposisi yang nantinya diharapkan bekerja selama 5 tahun mendatang, bahwa dalam sistem ketatanegaraan yang kita anut, Presiden itu dipilih oleh rakyat untuk bekerja menyusun anggaran dan melaksanakan kewajiban pembangunan selama 5 tahun mendatang. Sedangkan Lembaga parlemen (Legislatif) juga telah dipilih oleh seluruh rakyat di 34 Provinsi yang mewakili masing-masing konstituennya ditiap daerah.

Pada dasarnya, lembaga parlemen adalah lembaga oposisi terhadap tugas dan wewenang Presiden terpilih, itulah kaidah dasarnya. Oleh karena itu, tidak perlu ada kekhawatiran, apakah partai-partai yang ada, termasuk partai pengusung Pemerintah, akan bersikap pasif terhadap setiap kebijakan Presiden terpilih. Itu pandangan yang sama sekali kurang tepat, sebab, setiap anggota parlemen yang mewakili dapilnya masing-masing, juga berkepentingan dengan akses pembangunan yang dapat dilaksanakan di setiap daerah, untuk menjawab tantangan pembangunan yang dinarasikan selama musim kampanye berlangsung.

Baik niat baik rekonsiliasi yang dilakukan sejak awal oleh Partai Demokrat, melalui AHY dan Bapak SBY, dan saat ini juga dilakukan oleh Prabowo dengan rangkaian pertemuan di Stasiun MRT bersama Jokowi "pertemuan yang simbolik", adalah merupakan sikap yang harusnya diteladani oleh setiap elemen bangsa, sebab, ada banyak contoh perpecahan yang terjadi dibelahan dunia yang lain, justru disebabkan oleh ketidakmampuan tokoh-tokoh politiknya untuk memberikan keteladanan politik kepada rakyatnya yang majemuk.

Bahwa Pemilu sejatinya hanyalah alat demokrasi bagi rakyat untuk melanjutkan estafet kepemimpinan melalui partisipasi masyarakat secara luas. Dan siapapun pemimpin yang berhasil mendapatkan mandat rakyat, bukanlah sekedar menjadi pemenang pertarungan politik, melainkan menjadi pemikul "beban" tanggung-jawab terhadap 260 juta rakyat Indonesia yang menghendaki kontribusi nyata pemimpinnya, untuk melanjutkan agenda pembangunan Indonesia, untuk ke lima tahun berikutnya.

Pemimpin nasional akan datang silih berganti, hasil pemilu bukanlah "kiamat" bagi yang kalah, namun bukan pula "surga" bagi yang merasa telah mengalami kemenangan. Oleh karena itu, setiap amanah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat di seluruh nusantara, menuntut kerja keras kita semua, untuk menjaga nilai-nilai demokrasi dan semangat pembangunan yang telah dimulai oleh generasi pemimpin sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun