Mohon tunggu...
Willem Wandik. S.Sos
Willem Wandik. S.Sos Mohon Tunggu... Duta Besar - ANGGOTA PARLEMEN RI SEJAK 2014, DAN TERPILIH KEMBALI UNTUK PERIODE 2019-2024, MEWAKILI DAPIL PAPUA.

1969 Adalah Momentum Bersejarah Penyatuan Bangsa Papua Ke Pangkuan Republik, Kami Hadir Untuk Memastikan Negara Hadir Bagi Seluruh Rakyat di Tanah Papua.. Satu Nyawa Itu Berharga di Tanah Papua..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lukas Enembe Melawan Dana Otsus, Memilih untuk Diversifikasi Pendapatan dari SDA

26 Januari 2018   15:08 Diperbarui: 26 Januari 2018   15:40 1405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wakil Bangsa Papua - Pernyataan tegas Gubernur Papua Lukas Enembe dihadapan Pemerintah Pusat, yang menyebutkan bahwa "alokasi dana otsus Papua bernilai kecil", dihadapkan pada realitas kebutuhan pembangunan di Tanah Papua yang sejatinya tidaklah "low cost". Bentangan georafis yang sangat luas, defisit kronis ketersediaan prasarana infrastruktur, persoalan gap inflasi antar daerah yang begitu tajam, menjadi faktor utama kegiatan pembangunan di Tanah Papua tidaklah berbiaya murah. 

Namun, penyelenggara negara di daerah sebut saja kepala daerah, seringkali dihadapkan pada tingginya ekspektasi masyarakat, yang mengira bahwa Pusat mengirim alokasi dana otsus ke Tanah Papua, dalam jumlah yang begitu "fantastis/sangat besar". Terbentuknya opini yang terlanjur "high expectation" tersebut, menempatkan posisi kepala daerah (bupati, gubernur) seringkali menjadi sasaran kemarahan masyarakat, dengan sejumlah tudingan, bahwa mereka tidak menyalurkan anggaran otsus secara transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat di Tanah Papua.

Padahal letak persoalannya adalah sebagian besar dana otsus, digunakan untuk mendanai kegiatan lembaga keagamaan dan kegiatan sosial di Tanah Papua. Sedangkan peruntukan dana otsus untuk kegiatan pembangunan infrastruktur terkoreksi begitu tidak memadai, karena dihadapkan pada "realitas" kebutuhan pembangunan yang harus melayani luas wilayah administrasi, yang mencapai 421 Ribu KM2 (papua dan papua barat), yang terdiri dari 29 Kab/Kota di Provinsi Papua, dan 13 Kab/Kota di Provinsi Papua Barat.

Di era Lukas Enembe, untuk pertamakalinya proporsi dana otsus diserahkan ke daerah Kabupaten/Kota mencapai 80% dari total peruntukan dana otsus yang dikirim ke Provinsi Papua. Dimana Gubernur Lukas Enembe menyadari betul sasaran terbesar pengguna dana otsus berada di daerah Kabupaten/Kota, sebagaimana dirinya berpengalaman menjadi Wakil Bupati di Kabupaten Puncak di periode 2001-2005 dan menjabati posisi sebagai Bupati di Kabupaten Puncak di periode 2007-2012.

Adapun penilaian besar kecilnya anggaran tidaklah relevan untuk disandingkan dengan kebutuhan luas wilayah yang harusnya di tangani melalui perluasan kapasitas fiskal Pemda Papua, yang tidak selalu bergantung terhadap belanja otsus (benarkah Pusat bersedia melakukan itu? renegosiasi proporsi penerimaan perpajakan dan sejumlah investasi di Tanah Papua apakah benar-benar dapat dilakukan?). 

Selain itu, kehadiran dana otsus selama ini, seringkali menjadi "alat politis" oleh sebagian elit pusat, untuk sekedar mempropagandakan kegiatan pembangunan di Tanah Papua, melalui media-media nasional, yang bertujuan sekedar membangun "branding issue" untuk meredam isu-isu trans-nasional menyangkut Tanah Papua. Sehingga pada gilirannya, penyebutan "angka diatas kertas" jauh lebih penting, dibandingkan realitas kebutuhan pembangunan di Tanah Papua. Terdapat idiom yang lebih tepat untuk menggambarkan kondisi ini, "lebih baik ada dana yang diterima, dibanding tidak ada sama sekali".

Mari kita bandingkan upaya yang dilakukan oleh Lukas Enembe sebagai Gubernur Papua, yang memaksa PT. Freeport Indonesia mematuhi pembayaran Pajak Air Permukaan yang mencapai Rp 3,5 Triliun, disertai denda keterlambatan pembayaran mencapai Rp 5 Triliun. Potensi perpajakan di satu sektor saja sudah mencapai 3,5 Triliun, bagaimana dengan yang lain? jika Tanah Papua terus menengadahkan tangan menjadi peminta-minta subsidi otsus, tentunya akan menjadi tradisi buruk bagi pembangunan mentalitas OAP dan para penyelenggara negara di Tanah Papua. Kuncinya terletak pada kerelaan Pemerintah Pusat untuk menyerahkan sejumlah kewenangan pengelolaan fiskal daerah, secara mandiri tanpa dihambat oleh regulasi yang bersifat sentralistik.

Rasanya aneh jika terus membandingkan kuantitas anggaran dengan wilayah lainnya, yang telah memiliki kapasitas infrastruktur yang jauh lebih baik. Dibandingkan sejumlah kawasan di pegunungan Tanah Papua yang terus berjuang memecahkan "kebutuhan dasar" /kebutuhan minimal, infrastruktur yang dipandang layak, bagi terpenuhinya "syarat" kegiatan ekonomi di daerah-daerah tersebut. Perlu diingat, Tanah Papua masih berjuang untuk memenuhi syarat minimal kebutuhan infrastruktur, yang menyangga kegiatan ekonomi masyarakat, dan belum berada pada level peningkatan "utilitas" infrastruktur, sebagaimana yang terjadi di daerah lain.

Persoalan ini, tidak pernah betul-betul dipahami secara baik dan seimbang, ketika elit nasional sibuk mengkalkulasi kuantitas anggaran, tanpa menyebutkan "variabel" kebutuhan pembangunan secara real di Tanah Papua. 

Sayangnya, afirmasi dana otsus ini, seringkali juga digunakan oleh para pengambil keputusan di Pusat, untuk membatasi, upaya upaya lainnya, yang dipandang relevan untuk memperkuat pelaksanaan otsus Papua dalam dua aspek penting, pertama, penguatan dan penyempurnaan undang undang otsus yang mengikuti perkembangan dan dinamika kehidupan bernegara yang terus berkembang di Tanah Papua sejak otsus Papua dirilis pada tahun 2001 (sebut saja penolakan revisi otsus plus oleh Pemerintah Pusat dengan alasan akan diberikan dana afirmasi yang besar?), kedua, penguatan kapasitas fiskal daerah yang bersumber dari pengelolaan SDA, dimana Tanah Papua melalui Pemda, dapat lebih diperkuat untuk memiliki peran yang lebih besar sebagai pelaku dalam pengelolaan SDA, bukan justru sekedar berada pada posisi sebagai "take orders" keputusan-keputusan/kesepakatan-kesepakatan investasi yang dimonopoli oleh Pemerintah Pusat.

Dalam bahasa yang sederhana, yang seringkali disampaikan oleh Lukas Enembe, bahwa Tanah Papua adalah tanah yang kaya dengan potensi sumber daya alam dan potensi ekonominya. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah "political will" penguasa pusat, untuk memberikan hak hak pengelolaan SDA ke Tanah Papua, maka, dengan sendirinya, Pusat telah membantu Tanah Papua untuk keluar dari jeratan "ketergantungan" terhadap bantuan dana otsus.

Willem Wandik Political Strategies Study

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun