Wakil Bangsa Papua – Negara bukanlah entitas birokrasi yang dipahami hanya sebagai identitas Presiden semata, Menteri-Menterinya, Dewan Legislatif Pusat, Majelis Perwusyawaratan Rakyat Pusat, Jaksa Agung, TNI, Polri, dan seterusnya. Akan tetapi merupakan entitas tubuh dan roh kebangsaan yang menyatu hingga ke pelosok negeri Nusa-Antara (gugusan kepulauan) yang terdiri dari para penyelenggara pemerintahan daerah yang disebut sebagai Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Distrik, Kepala Kampung, hingga kepala Dusun.
Kepentingan Negara tidak boleh di monopoli oleh satu elit kekuasan saja (misalnya hanya oleh Presiden dan mengabaikan eksistensi pemimpin negara di daerah), karena akan menimbulkan sikap otoriter dan kecenderungan terbentuknya pattern “mentalitas” yang mengarah pada tindakan sewenang wenang oleh “perangkat” yang disebut elit kekuasaan. Refleksi kemerdekaan mengandung arti bahwa secara insaniah “fitrah” manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang dihadirkan di permukaan bumi untuk hidup secara merdeka, memiliki kebebasan untuk menentukan kebaikan sosial – kebaikan religiusitas – kebaikan kesejahteraan/ekonomi – kebebasan sebagai manusia yang bermartabat dan bertanggung-jawab.
Konsep kemerdekaan atas diri manusia merupakan konsep “kebebasan sebagai hadiah dari Tuhan Yang Maha Pencipta“. Akal manusia akan terus mencari dan merumuskan standar kebaikan dan norma kebaikan yang menurutnya baik untuk menghantarkannya menuju kebebasan/kemerdekaan. Kehidupan bernegara merupakan perwujudan kebebasan manusia untuk menentukan model pengelolaan aspek kehidupan “duniawi” manusia dipermukaan bumi, yang bertujuan untuk memelihara hak hidup, hak keamanan, hak beragama, hak kesejahteraan, hak berbangsa, hak berdaerah, dan seterusnya. Sedangkan tujuan lain dari kebebasan itu sendiri adalah mendapatkan harapan pengampunan dosa dan diterimanya umat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang terbaik di sisi Tuhan “mendapatkan kebaikan surga bersama Tuhan/kemerdekaan hakiki“.
Dalam tujuan kebaikan “kebebasan duniawi” yang dicontohkan dalam praktek kehidupan bernegara, bangsa nusantara merefleksikannya kedalam kegiatan pembangunan melalui perangkat bernegara yang diciptakan berbentuk representasi Pemerintahan Pusat dan representasi Pemerintahan Daerah. Kita harusnya bersepakat, bahwa kebaikan “kebebasan/kemerdekaan duniawi dalam proses bernegara” merupakan bentuk proses pencarian secara terus menerus yang dilakukan oleh suatu entitas bangsa untuk memahami “hadiah kebaikan Tuhan” berbentuk kebebasan dan kemerdekaan yang diterima oleh Manusia itu sendiri.
Dalam kontekstual, kemerdekaan itu sendiri harus turut dirasakan kehadirannya, turut dirasakan wujudnya, turut dirasakan pula karya-karyanya, dan bukan sekedar dirayakan selebrasi hari jadinya atau bukan untuk menjadi ajang seremonial tahunan bagi para pejabat tinggi negara untuk sekedar mengheningkan cipta, sekedar mengenang “recall” perbuatan-perbuatan baik “jasa-jasa” para pendiri republik dan setelah itu kehidupan bernegara kembali terbenam dalam kesibukan untuk “saling memanfaatkan kepentingan, mengadakan perlombaan mengejar kekayaan, menghitung aset-aset bisnis, menghamba pada kekuasaan” yang pada gilirannya meninggalkan rasa syukur dan melupakan esensi kebebasan/kemerdekaan sebagai “hadiah Tuhan yang diberikan kepada manusia nusantara yang harus dijalankan secara berkeadilan dan berkesejahteraan“.
Dalam usianya yang ke 71 Tahun, republik ini masih memiliki utang yang sangat besar kepada bangsa Papua, dimana esensi kemerdekaan yang dihikmati oleh rakyat dan bangsa Papua tidak pernah dipahami secara benar “mis-understanding” oleh para elit pemimpin di republik ini. Terasa aneh ketika menyaksikan retorika politik Presiden republik menyampaikan pidato laporan nota keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2017 di gedung parlemen menjelang satu hari sebelum perayaan hari kemerdekaan, yang mempertegas paradigma pembangunan republik yang berpedoman terhadap “indonesia sentris” dan bukan “java sentris“, serta memperkuat desentralisasi fiskal daerah, yang dalam prakteknya jauh dari political will kebijakan presiden/kebijakan negara bagi Tanah Papua.
Dalam dua tahun terakhir, rakyat di Tanah Papua beserta representasi politik negara di Tanah Papua “terdiri dari Gubernur, Bupati/Walikota, DPRP, MRP, representasi DPR-DPD-MPR RI Tanah Papua” menyaksikan sikap arogansi Pemerintah Pusat yang terus mempertahankan prinsip yang bertentangan dengan “kemerdekaan/kebebasan kedalam bentuk desentralisasi fiskal” sebagai entitas negara di daerah untuk mendapatkan hak-hak konstitusionalnya untuk mewujudkan Tanah Papua yang mandiri, berdikari, dan berkepribadian, berdasarkan pelaksanaan desentralisasi Tanah Papua yang bersifat “Lex Spesialis“. Tidak terhitung banyaknya upaya negosiasi konstitusional yang menggunakan perangkat “ketatanegaraan dan administrasi negara” untuk meminta Desentralisasi Fiskal dan penguatan industrialisasi bagi Tanah Papua, yang justru mendapatkan penolakan dari elit Pemerintah Pusat.
Elemen berdaerah dan bernegara di Tanah Papua, menyadari betul ketergantungan fiskal penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Tanah Papua terhadap bentuk subsidi dan afirmasi fiskal yang disediakan oleh Pusat. Hal ini terjadi bukan tanpa sebab, melainkan sebagai dampak dari kebijakan fiskal dan pengelolaan Sumber Daya Alam yang mempertahankan sentralisasi dan monopoli pusat.
Bukan rahasia lagi jika anggaran proyek infrastruktur yang dikirim ke Tanah Papua melalui kebijakan perencanaan anggaran berbasis APBN menjadi event transaksional bagi kepentingan elit nasional, elit pemerintah pusat, elit politisi nasional, untuk memperbesar margin kekayaan dan pengumpulan keuntungan ekonomi, melalui transaksi kebijakan anggaran bersama para pengusaha/pengusaha-politisi nasional.
Sehingga dalam kurun waktu dua tahun terakhir usulan representasi pemerintah daerah di Tanah Papua yang mengharapkan distribusi keadilan dan distribusi kesempatan pengelolaan keuangan daerah melalui proses divestasi saham PT. Freeport Indonesia “rakyat Papua meminta sebagian saham Freeport melalui representasi Pemerintah Daerah“, penarikan pembangunan smelter pengolahan emas dan tembaga dari daerah gresik menuju Tanah Papua “menciptakan dampak multiplayer efek industrialisasi terhadap daerah penghasil“, penambahan istrumen Dana Bagi Hasil Pajak corporate tax PT. Freeport Indonesia (dengan opsi mayoritas tetap dikuasai Pusat untuk melengkapi instrumen desentralisasi perpajakan dalam kerangka otsus papua), dan harapan untuk segera digantinya undang-undang otsus versi 21/2001 yang tidak lagi relevan dengan kepentingan dan tujuan otsus Papua (diganti dengan Otsus Plus), secara persisten mendapatkan hambatan dari kebijakan kebijakan sektoral yang di ambil oleh Pemerintah Pusat.
Tanah Papua memaknai hari jadi 71 tahun usia republik ini sebagai sebuah “beban utang negara yang belum terbayarkan kepada bangsa Papua“, dimana rakyat dan bangsa Papua masih belum merasakan secara nyata, secara karya, secara konstitusional, apa makna kemerdekaan bagi Tanah Papua dan rakyatnya.