Namun potensi shortfall keuangan APBN akan jauh lebih tidak berisiko ketika pemangkasan belanja dilakukan diawal bulan agustus ini yang mencapai Rp 133 Triliun, dimana potensi defisit APBN akan jauh lebih berkurang dan menempatkan neraca APBN pada posisi yang lebih confidence yaitu dengan potensi defisit yang mencapai Rp 353,9 Triliun atau setara dengan 2,81% dari PDB nasional. Penyesuaian angka defisit dengan masuknya asumsi pemangkasan belanja anggaran tersebut, menghadirkan defiasi dari rencana defisit anggaran APBN dari 2,35% yang mencapai 0,46% (atau mencapai Rp 57,99 Triliun) atau dengan perubahan asumsi target defisit yang mencapai 2,5% maka potensi defiasinya hanya mencapai 0,31% (atau setara dengan Rp 39,08 Triliun).
Meskipun demikian, ditengah-tengah ketidakpastian penerimaan pajak negara dan terancam gagalnya target penerimaan dari pengenaan tarif Tax Amnesty tentunya Pemerintah harus mempersiapkan segala kemungkinan yang jauh lebih buruk yang akan terjadi dimasa-masa mendatang, termasuk upaya mengembalikan postur belanja APBN untuk lebih realistis dan rasional.
Publik di dalam negeri jangan terhipnotis dengan menguatnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika yang terjadi dalam satu bulan belakangan ini. Sebab penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika sepenuhnya dipengaruhi oleh aliran hot money yang masuk ke Indonesia, yang berbentuk pinjaman utang luar negeri dan realisasi proyek investasi “konsorsium” perusahaan asing yang masuk ke Indonesia. Dana asing yang masuk ke Indonesia tersebut, bukanlah dana gratis tetapi merupakan dana yang dihitung sebagai aset terutang dari pihak-pihak luar negeri. Secara skematis dana terutang tersebut akan dikembalikan ke pemilik aslinya di luar negeri, dengan beban bunga terutang yang ikut bertambah yang harus dibayarkan oleh Pemerintah atau swasta dalam negeri.
Sehingga dimasa-masa mendatang bisa jadi aliran dana hot money yang berasal dari asing tersebut dapat sewaktu-waktu berhenti atau ditarik keluar negeri, dan dapat menimbulkan kekacauan terhadap neraca pembayaran utang luar negeri Indonesia dan berdampak pada terjadinya krisis keuangan seperti yang pernah terjadi di Tahun 1998. Pesan bijaknya adalah Pemerintah boleh saja menikmati aliran dana asing yang masuk ke dalam negeri Indonesia, dengan memanfaatkannya untuk menuntaskan proyek-proyek infrastruktur yang masih butuh peningkatan kapasitas. Namun, belanja yang terbilang ekspansif melalui program-program pemerintah harus memperhitungkan daya tahan keuangan APBN dan sustainabilitas keuangan nasional, jika sewaktu-waktu terjadi gejolak pasar yang tidak diiginkan. Sehingga sudah saatnya Pemerintahan Jokowi kembali ke habbit fundamental APBN yang sebenarnya, dengan perencanaan belanja negara yang lebih realistis dan rasional.
Willem Wandik, S. Sos (Ketua Departemen Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen DPP Partai Demokrat - DEP PU&PK DPP-PD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H