Mohon tunggu...
willem wandik
willem wandik Mohon Tunggu... Anggota DPR RI -

Selanjutnya

Tutup

Politik

5 Alasan Kuat Mengapa Harus Mendorong Desentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Memperkuat Kemandirian Tanah Papua

18 April 2016   16:43 Diperbarui: 18 April 2016   16:53 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Katakan selamat tinggal pada solusi kebijakan yang menggantungkan pada subsidi pusat, yang cenderung membodohi rakyat Papua, membunuh banyak rakyat sipil (akibat pola bisnis sumber daya alam yang memanfaatkan isu kekerasan yang menguntungkan praktek militerisme) dan menjadi justifikasi bagi perampasan sumber daya alam yang seharusnya dimiliki oleh rakyat dan bangsa Papua (sumber tulisan: willemwandik.com, sumber foto: willemwandik gallery)"][/caption]

Wakil Bangsa Papua – Cara pandang elit nasional dalam menentukan format kebijakan yang terbaik bagi Tanah Papua, yang bertumpu pada resolusi anggaran berbasis “subsidi” dan upaya untuk menjaga stabilitas keamanan “isu keamanan nasional” merupakan pandangan yang usang dan perlu ditinggalkan. Pendekatan ini merupakan produk kebijakan yang telah gagal menghadirkan distribusi keadilan pembangunan, menimbulkan pertumpahan darah “banyak warga sipil yang tewas”, dan menjadi objek bisnis bagi para politisi dan birokrat nasional untuk memanfaatkan anggaran subsidi yang diberikan kepada Tanah Papua “pola bisnis pengusaha-politisi-birokrat”. Oleh karena itu, diperlukan resolusi yang benar-benar tepat untuk menjamin sustainabilitas program dan anggaran yang seharusnya bertumpu pada kekuatan sumber daya keuangan sendiri agar dapat dikontrol elemen masyarakat daerah bersama-sama unsur pemerintahan daerah (dan tidak dikendalikan oleh politisi, birokrat, pengusaha nasional, dikarenakan mekanisme anggaran yang panjang dan seringkali masuk angin ditengah jalan, seperti yang terjadi dalam banyak alokasi anggaran yang dikirim ke Tanah Papua ternyata sudah dijatah oleh Perusahaan X atas lobi anggaran ke Kementerian/Lembaga/Kepala Banggar/Pimpinan Komisi).

Resolusi yang dirumuskan ditujukan untuk mendorong kemandirian Tanah Papua dalam mengelola sumber pendapatannya sendiri yang bersumber dari desentralisasi pengelolaan sumber daya alam. Sehingga dalam kesempatan kali ini, kami menampilkan 5 alasan kuat mengapa resolusi kemandirian merupakan jalan keluar untuk memecahkan persoalan pembangunan yang tidak dapat dituntaskan dengan pendekatan “subsidi anggaran” yang selama ini menjadi role model kebijakan Pusat untuk memecahkan persoalan di Tanah Papua.

1.   Masalah ketidakcukupan anggaran
Permasalahan pembangunan di Tanah Papua menjadi antensi Pemerintah Pusat belumlah selama usia integrasi bangsa Papua ke pangkuan republik ini. Jika menghitung usia intergasi Tanah Papua semenjak tahun 1969, maka dengan kehadiran afirmasi anggaran di era otsus barulah berlangsung selama 15 Tahun. Berbeda dengan Pulau Jawa yang telah memiliki infrastruktur yang memadai semenjak era penjajahan kolonial belanda, dimana pembangunan ruas jalan trans jawa dan rel kereta api telah menyediakan keuntungan infrastruktur yang mempercepat pembangunan kawasan jawa ketika memasuki era kemerdekaan. Sehingga tidak pantas rasanya jika afirmasi anggaran sependek itu di Tanah Papua dibandingkan dengan kesiapan pulau jawa untuk berlari membangun daerahnya yang didukung oleh infrastruktur yang telah terbangun sejak era kolonial belanda.

Tanah Papua berintegrasi kedalam pangkuan republik, juga tidak mengalami timing yang menguntungkan dalam perjalanan sejarahnya. Sebab diusia yang terbilang baru dalam proses integrasi bersama republik pada saat itu (Pepera 1969), Tanah Papua harus menghadapi kenyataan bahwa sistem pemerintahan nasional dikuasai oleh rezim orde baru yang menerapkan sentralisasi kekuasaan dan tentunya sentralisasi pembangunan di pulau Jawa (java centris development). Pada saat itu yang terjadi dalam setiap kepentingan pengelolaan anggaran pusat termasuk pinjaman-pinjaman utang melalui lembaga donor luar negeri (IMF, World Bank), diperuntukkan bagi pembangunan di Pulau Jawa. Sehingga pada saat itu, skema pembangunan nasional bersifat “java centris”. Selama kurun waktu pemerintahan orde baru, sangat sedikit yang bisa diharapkan untuk datangnya perubahan kebijakan nasional yang berpihak pada daerah-daerah tertinggal dan terbelakang sepertihalnya Tanah Papua. Sebab saat itu, kekuasaan pemerintahan berada pada rezim militer yang tidak membolehkan adanya demokrasi secara terbuka dan penyampaian aspirasi yang menentang kebijakan pusat.

Hingga di tahun 1998, era reformasi lahir membawa kabar baik bagi daerah seperti Tanah Papua untuk tampil menyuarakan ketimpangan pembangunan dan pengabaian pusat yang terjadi dalam waktu 29 Tahun lamanya berada dalam kekuasaan orde baru yang serba sentralistik dan monopolistik. Jauh lebih lama dari itu, pengerukan kekayaan sumber daya alam di Tanah Papua telah mendahului usia intergasi bangsa Papua kedalam pangkuan republik, yang terjadi sejak tahun 1967 melalui kontrak karya pertama PT. Freeport Indonesia dan terus berlangsung hingga menjelang berakhirnya Kontrak Karya ke-2 di penghujung Tahun 2020.

Sejarah sentralisasi dimasa lalu tidak bisa ditutup-tutupi, dan memandang penyediaan anggaran selama kurun waktu 15 Tahun untuk afirmasi Otsus dipandang telah mencukupi untuk memecahkan persoalan regional di Tanah Papua. Faktanya pada hari ini Tanah Papua masih terisolasi dan sebagian besar masyarakat asli Papua hidup dalam garis kemiskinan dan keterbelakangan. Anggaran yang dialokasikan melalui dana otsus tidaklah sebanding dengan luas wilayah daratan Papua yang sangat besar dengan tantangan geografis yang ekstrim, yang tentunya membutuhkan dana dan waktu yang tidak sedikit untuk memecahkannya. Ketika Pemerintah Daerah membuat perencanaan pembangunan di kawasan yang masih terisolasi. Sebagian anggaran yang direncanakan tersebut banyak dihabiskan untuk kegiatan pengadaan barang yang harus di impor dari luar Papua. Ditambah lagi besarnya cost logistik yang dibutuhkan untuk memobilisasi sumber daya (termasuk barang) ke wilayah-wilayah pedalaman Papua. Inilah sebabnya sangat sedikit anggaran yang dapat benar-benar dimanfaatkan untuk kegiatan real pembangunan yang berkaitan langsung dengan masyarakat.

Berikut ini contoh cost pengiriman logistik yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Tahun 2014, terkait distribusi barang yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah:

[caption caption="Ongkos Angkut Beras PNS ke Daerah Pedalaman Provinsi Papua (Sumber: LKPP 2014 - Audit BPK RI)"]

[/caption]

Berdasarkan grafik 1 diatas, terlihat besaran ongkos pengiriman logistik beras untuk para Pegawai Negeri Sipil yang tersebar diseluruh Distrik yang terletak di kawasan pedalaman Provinsi Papua yang mencapai angka Rp 61,32 Miliar. Angka ini menunjukkan betapa besarnya anggaran yang dihabiskan oleh Pemeritah Daerah untuk sekedar mengirim logistik beras dikawasan pedalaman Provinsi Papua. Hal yang sama pula dapat kita temukan dalam berbagai alokasi belanja barang milik Pemerintah Daerah yang banyak dihabiskan untuk sekedar membiayai jasa logistik pembangunan yang tergolong berbiaya mahal “high cost economy”.

2.   Tingginya angka kemiskinan
Realitas kemiskinan di Tanah Papua bukan merupakan hal yang baru, dan telah menjadi common sense di republik ini bahwa wilayah yang terletak di seberang paling timur Indonesia sebagai regional daerah yang mengalami masalah kesenjangan paling besar di republik ini. Disatu sisi daerah Papua merupakan daerah yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya investasi perusahaan asing yang mengelola kekayaan sumber daya alam di Tanah Papua yang tersebar dari wilayah perairan hingga ke kawasan pedalaman Papua yang tidak tejangkau oleh arus modernisasi.

Realitas ini tentunya perlu dijawab oleh Pemerintah, khususnya penyelenggara negara yang memegang otoritas kekuasaan di Pusat yang paling menentukan arah kebijakan pembangunan di Tanah Papua. Hal ini didasarkan pada kewenangan pusat yang begitu sangat besar dalam menentukan kebijakan anggaran yang disediakan melalui dana otsus dan dana perimbangan lainnya yang dialokasikan dalam pagu anggaran APBN pusat, serta kewenangan pusat yang sangat besar dalam menentukan skema pelaksanaan undang-undang otsus Papua yang telah berlangsung selama 15 tahun dipraktekkan di Tanah Papua.

Sekian lama menyaksikan pergantian rezim yang berkuasa di Pusat, praktek otsus di Tanah Papua masih tidak merubah secara signifikan kondisi Tanah Papua yang masih menunjukkan tingginya angka kemiskinan di wilayah ini, hal ini dapat dilihat berdasarkan data kemiskinan di Papua dan Papua Barat:

[caption caption="Data Kuantitatif Jumlah Orang Miskin di Provinsi Papua dan Papua Barat, Desember 2015 (Dalam Ribu Orang) Sumber: Data Kemiskinan Papua dan Papua Barat, 2015"]

[/caption]

Berdasarkan grafik 2 diatas, kita dapat mengetahui jumlah orang miskin di Provinsi Papua mencapai 898 ribu orang dan jumlah orang miskin di Provinsi Papua Barat mencapai 225 ribu orang, dengan total keseluruhan orang miskin di Pulau Papua mencapai 1,1 juta orang. Angka ini menunjukkan betapa tingginya kuantitas orang-orang yang berada pada masalah kesejahteraan yang tidak pernah terselesaikan dengan hadirnya regulasi otsus di Tanah Papua.

[caption caption="Data Prosentase Kemiskinan Antara Perkotaan dan Pedesaan di Provinsi Papua, Desember 2015 (%), sumber: data kemiskinan perkotaan dan pedesaan Provinsi Papua, 2015"]

[/caption]

Berdasarkan grafik 3 diatas, dari keseluruhan jumlah orang miskin di Provinsi Papua, yang terbesar adalah jumlah orang miskin yang terdapat di daerah pedesaan yang mencapai 96,63%, sedangkan sisanya merupakan penduduk miskin di daerah perkotaan (kota-kota administrasi di Provinsi Papua) yang mencapai 3,37%. Selain itu fakta data menunjukkan bahwa persebaran penduduk asli Papua sebagian besar terdapat dikawasan pedesaan/perkampungan, sehingga tingginya angka kemiskinan di kawasan pedesaan menunjukkan profil kemiskinan yang menggambarkan besarnya tingkat keparahan kemiskinan yang dialami oleh penduduk asli Papua. Sehingga kehadiran otsus Papua perlu dipertanyakan fungsi dan kedudukannya dalam mengurangi tingkat kemiskinan yang terjadi pada penduduk asli Papua. Selama ini, penikmat pembangunan di Papua dan alokasi anggaran yang didistribusikan ke Papua sebagian besar dinikmati oleh penduduk migran yang mencari opportunity ekonomi dari penyediaan dana-dana bantuan yang berasal dari pusat.

Ketika daerah seperti Tanah Papua tidak diberikan ruang untuk mendesain sendiri strategi pembangunan yang diarahkan untuk membangun masyarakat asli Papua, maka selama itu pula realitas kemiskinan tidak akan pernah bisa dituntaskan di Tanah Papua (selama ini kebijakan Pemerintah Pusat lebih mendominasi untuk menetapkan standar/norma dalam pelaksanaan fungsi anggaran maupun fungsi pembangunan melalui penyamaan definisi menurut cara pandang birokrat Jakarta). Kontrol yang kuat dalam persoalan pendapatan daerah dan monopoli pengelolaan sumber pendapatan, menjadikan Tanah Papua tidak dapat benar-benar mandiri untuk merencanakan pembangunan yang dikehendakinya. Tentunya setiap anggaran yang disediakan oleh Pusat menyertai standar dan nomenklatur yang berpihak pada definisi yang di desain oleh pusat. sampai sejauh ini, metode ini hanya membangun kawasan yang banyak di huni oleh penduduk migran, dibandingkan berorientasi pada pembangunan yang lebih berpihak terhadap penduduk asli Papua.

3.   Ketergantungan anggaran pusat
Persoalan berikutnya yang menjadi malapetaka dalam implementasi kebijakan pusat di Tanah Papua adalah terciptanya ketergantungan yang kronik terhadap sumber pendanaan subsidi pusat. Secara naluri tidak ada seorangpun yang mau menolak jika diberikan dana secara gratis oleh Pemerintah. Namun dalam konteks kehidupan bernegara dan berdaerah, sebuah daerah akan memiliki masa depan yang baik apabila dapat benar-benar membiayai segala kebutuhan pembangunan di daerahnya sendiri, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya dan mencapai target-target pembangunan yang dipandang penting dan strategis oleh masyarakat di daerahnya. Urusan pendanaan bukanlah semata-semata menerima bantuan dari Pemerintah, melainkan sebagai bentuk partisipasi masyarakat daerah terhadap pembangunan nasional.

Tidak ada jaminan bahwa perekonomian nasional akan tetap mampu membiayai seluruh operasional pembangunan di seluruh kawasan nusantara yang mencapai luas wilayah 1,9 juta km2. Pada hari ini (dimasa Pemerintahan Jokowi) kita menyaksikan kesulitan Pemerintah Pusat untuk mendanai program-program pembangunan yang direncanakan oleh Pemerintah Pusat. Sumber masalahnya adalah terletak pada defisit penerimaan negara akibat rendahnya pendapatan negara dari sektor perpajakan yang mencapai angka Rp 300 Triliun.

Tanah Papua sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, terlihat naif ketika harus secara terus menerus menggantungkan sumber pendanaannya pada bantuan subsidi pusat (rakyat dan bangsa Papua seperti tidak memiliki harga diri sebagai sebuah warga bangsa yang seharusnya tampil menjadi kekuatan utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bagi republik, dan bukan malah menjadi beban bagi keuangan negara). Tampak ada yang aneh dengan pengelolaan potensi pendapatan yang seharusnya lebih mengutamakan kemandirian daerah dibandingkan terus menerus menciptakan ketergantungan fiskal di Tanah Papua terhadap Pemerintah pusat. Berdasarkan data keuangan seluruh Pemerintahan Daerah di Provinsi Papua dapat dilihat deskripsi ketergantungan sumber pendaan dari bantuan subsidi pusat diantaranya:

[caption caption="Prosentase Ketergantungan Sumber Pendanaan diseluruh Pemerintahan Daerah di Provinsi Papua, Desember 2015 (%), sumber: Laporan Keuangan Pemda se-Provinsi Papua, 2015"]

[/caption]

Berdasarkan grafik 4 diatas, menunjukkan besarnya ketergantungan fiskal di seluruh Pemerintahan Daerah di Tanah Papua yang mencapai 95,66% terhadap seluruh penggunaan anggaran yang bersumber dari subsidi pusat. Sedangkan Pemerintahan daerah di seluruh provinsi Papua hanya mampu mendanai struktur anggarannya secara mandiri sebesar 4,34%. Kondisi ini merupakan pertanda tidak sehatnya neraca keuangan Pemerintah Daerah yang seharusnya menjadi fokus pembenahan oleh Pemerintah Pusat, melalui peningkatan kemampuan daerah untuk mengelola sumber pendapatan daerahnya sendiri dan melepaskan ketergantungan tersebut sebagai solusi jangka panjang di Tanah Papua.

4.   Pengambilalihan Freeport
Persoalan Freeport bukanlah isu yang hanya menjadi tanggung-jawab Pemerintah Pusat saja. Jika itu menjadi doktrin kekuasaan pemerintah pusat, maka hal ini merupakan pembodohan yang sengaja dipertahankan oleh pusat untuk terus menerus membiarkan Tanah Papua menjadi daerah yang terbelakang dan sepenuhnya bergantung pada belas kasihan Jakarta. Tidak ada daerah yang menginginkan dirinya terus menerus tertinggal dan berharap selamanya pada bantuan Pemerintah Pusat.

Diakui bahwa sejarah integrasi bangsa Papua kepangkuan republik, penuh dengan peristiwa politik yang membagi Tanah Papua kedalam dua dimensi penting, pertama secara politik administrasi menjadi bagian dari kekuasaan republik, dan kedua aksesibilitas terhadap sumber daya alam yang dikuasai oleh pihak Amerika Serikat. Dua dimensi ini terus berjalan hingga hari ini, dan menyandera segala kepentingan sektoral rakyat dan bangsa Papua atas hak-hak asasinya sebagai bagian dari warga bangsa yang memiliki hak-hak konstitusional dan warga bangsa yang memiliki sumber daya alam yang melimpah di tanahnya sendiri.

Usia aneksasi sumber daya alam di Tanah Papua melalui legitimasi kontrak karya 1 dan 2 yang telah berlangsung selama 53 Tahun lamanya (1967-2020). Generasi-generasi pertama bangsa Papua dalam era pertama penguasaan sumber daya alam oleh asing telah banyak yang berpulang ke hadapan Tuhan. Namun aneksasi ini masih terus akan dilanjutkan melalui kewenangan monopolistik dan sentralistik yang dilakukan oleh rezim-rezim pusat. Sepertinya Pemerintah Pusat mengalami adiksi mentalitas untuk terus menerus memertahankan status quo “sentralisasi” dan “monopolistik” di Tanah Papua, seperti yang telah lama dimulai oleh rezim orde baru.

Sebagai anak negeri yang mencintai tanah leluhur dan  masa depan bangsa Papua, sudah sepantasnya untuk meminta hak-hak asasi yang bersifat “equal” bagi rakyat di Tanah Papua terhadap Pemerintah Pusat, untuk mengambil alih kepemilikan PT. Freeport Indonesia melalui kepemilikan saham di perusahaan multinasional tersebut, sebagai pertanda adanya pengakuan dari negara terhadap hak milik rakyat dan bangsa Papua atas kekayaan sumber daya alamnya.

[caption caption="Prosentase Kepemilikan Saham PT. Freeport Indonesia Selama 54 Tahun, sumber: PT. Freeport Indonesia Sharing Holder, 2016"]

[/caption]

Berdasarkan grafik 5 diatas, Nilai saham yang dikuasai oleh induk Freeport McMoran mencapai 90,64% yang terdiri dari 81,28 saham induk dan 9,36% saham PT. Indocopper Investama yang telah terdelusi kembali ke Freeport McMoran. PT. Indocopper Investama merupakan perusahaan swasta nasional yang pernah memiliki saham PT. Freeport Indonesia dengan sebagian pembeliannya melalui mekanisme utang dan dijual kembali ke induk Freeport McMoran dengan keuntungan berkali lipat. Yang bertahan hingga hari ini adalah bagian saham Pemerintah sebesar 9,36% yang pernah dilepaskan oleh Freeport McMoran disaat perpanjangan kontrak karya kedua di Tahun 1990. Bagaimana nasib rakyat Papua hingga berakhirnya 53 tahun monopoli sumber daya alam oleh pihak asing dan pusat tersebut, hanyalah menjadi pekerja buruh dan tidak memiliki saham sedikitpun di perusahaan yang telah lama mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam di Tanah Papua.

Grafik diatas juga menampilkan pengelolaan sumber daya alam yang begitu sangat memprihatinkan, ketika usia pengelolaan pertambangan Freeport di Tanah papua telah berlangsung selama ½ abad lamanya, justru otoritas di republik ini membiarkan rakyat Papua hanya menjadi penonton atas perebutan kekayaan alam di negerinya sendiri. Kondisi ketergantungan fiskal dan permasalahan multisektoral di Tanah Papua, sama sekali tidak menyentuh nurani Pemerintah Pusat agar menyerahkan sebagian kepemilikan saham perusahaan multinasional tersebut kepada pewaris sah sumber daya alam yaitu rakyat Papua.

5.   Deadline dana otsus
Dana otsus sejak diberlakukan dengan hadirnya undang-undang otsus tahun 2001, menimbulkan dampak buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Tanah Papua. Salah satu yang paling terasa adalah munculnya ketergantungan yang menahun (kronik) dan sulit dilepaskan dari bantuan-bantuan yang bersumber dari anggaran pusat. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah di Tanah Papua, dimana gejala dari praktek dana otsus hanya menciptakan ketergantungan yang semakin parah kepada sumber keuangan pusat. Disatu sisi pemerintah pusat masih menyandera pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua, dengan mekanisme sentralisasi dan monopolistik.

Kekhawatiran Pemerintah Daerah terhadap status dana otsus yang menimbulkan ketergantungan dan dapat membahayakan masa depan Tanah Papua, tentunya didasarkan pada argumentasi yang rasional. Diantaranya kekhawatiran elemen rakyat Papua pada ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Otsus Papua yang mengatur pembatasan “batas waktu” pengalokasian sejumlah kriteria anggaran yang  masuk dalam penyediaan dana otsus oleh Pemerintah Pusat. Dan hal ini diatur secara tegas “rigid” di dalam regulasi otsus nomor 21 tahun 2001 tentang otsus Papua dan Papua Barat.

Diantara pembatasan itu terlihat dalam kategori penyediaan anggaran yang bersumber dari bagi hasil pertambangan minyak bumi dan gas alam yang sebelumnya sebesar 70% sebagai bagian daerah akan menyusut menjadi 50% setelah 25 tahun otsus Papua diberlakukan (tepatnya di tahun 2026 mendatang). Selain itu pembatasan pengalokasian dana otsus juga menyangkut segala kriteria anggaran yang ditetapkan dalam pasal 34 ayat 3 yang hanya berlaku selama 20 tahun sejak diberlakukannya udang-undang otsus papua (tepatnya akan berakhir di tahun 2021 mendatang bertepatan dengan berakhirnya kontrak karya PT. Freeport Indonesia).

Untuk berhitung dengan konsekuensi batas waktu berlakunya sejumlah afirmasi anggaran yang akan diterima dalam implementasi dana otsus, seharusnya Pemerintah Pusat mengizinkan Pemerintah Daerah di Tanah Papua untuk memperoleh solusi alternatif dalam rangka mendukung sumber pendanaan dan menciptakan kemandirian dalam jangka panjang bagi Tanah Papua. Resolusi yang dipandang pantas untuk memperkuat agenda kemandirian Tanah Papua adalah mengembalikan pengelolaan sumber daya alam ke penyelenggara pemerintahan daerah di Tanah Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun