Mohon tunggu...
willem wandik
willem wandik Mohon Tunggu... Anggota DPR RI -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bentrok: Pengemudi Online dan Konvensional Hanyalah Korban, Pemerintah Harus Introspeksi

23 Maret 2016   16:31 Diperbarui: 23 Maret 2016   16:47 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pemerintah harus adil melihat kekisruhan ini pada aspek yang paling mendasar yaitu sebagai upaya untuk menanggulangi pengangguran dan pasar tenaga kerja di dalam negeri yang semakin hari semakin memprihatinkan (sumber tulisan: deppupkdppdemokrat.com & sumber gambar: AJI)"][/caption]

DEP PU&PK DPP DEMOKRAT - Demonstrasi sejumlah asosiasi angkutan umum konvensional di Jakarta yang telah berlangsung setidak-tidaknya dua kali yang melanda Ibu Kota Jakarta, menyuguhkan persoalan yang tidak sederhana, yang terkait dengan berbagai macam isu dalam konteks bisnis dan jasa pelayanan transportasi di Indonesia, hingga kondisi makro ekonomi Indonesia saat ini.

Jakarta merupakan parameter untuk melihat seberapa baik sistem transportasi di Indonesia dan bagaimana implikasi bisnisnya. Kekisruhan yang terjadi dalam perebutan lahan bisnis antara transportasi online dan konvensional, terletak pada pilihan bebas konsumen untuk memilih moda transportasi yang dipandang nyaman dan baik oleh pengguna layanan. Bahwa benar masyarakat merupakan konsumen yang harus dilayani dan dipuaskan oleh pelayanan transportasi yang tersedia, baik itu konvensional maupun berbasis online. Tidak penting labelisasi yang membedakan transportasi yang menggunakan aplikasi atau tidak, konsumenlah yang menentukan pilihannya.

Masalah pertama yang mengawali perseteruan ini dimulai dari perang tarif layanan yang menimbulkan persaingan bisnis yang dinilai lebih merugikan transportasi konvensional. Perlu menjadi catatan penting dalam menilai persaingan usaha diantara transportasi online dan konvensional, bahwa status pengemudi diantara keduanya merupakan warga negara yang berusaha untuk mencari penghidupan yang layak bagi keluarga mereka. Tidak ada yang bisa mengklaim bahwa hanya pihak pengemudi konvensional yang berhak untuk menghidupi dan mensejahterakan keluarga masing-masing, sebab pengemudi online juga memiliki hak yang sama.

Ditengah-tengah perekonomian yang sulit, dan banyaknya gelombang pengangguran terutama dengan efisiensi yang dilakukan oleh sektor sektor industri di kota-kota besar, menimbulkan dampak yang cukup parah pada pasar tenaga kerja di dalam negeri. Terutama para pekerja yang mendapatkan pemutusan hubungan kerja akibat menurunnya permintaan disejumlah unit unit industri yang ada di Indonesia. Ditambah lagi, dampak yang terasa dari melemahnya perekonomian di Indonesia bukan hanya dirasakan oleh industri-industri besar, melainkan menjadi preseden buruk yang merugikan sebagian besar masyarakat kecil dengan gejala menurunnya daya beli masyarakat.

Adapun kelas pekerja yang bertahan dan beradaptasi dengan rasionalisasi yang dilakukan oleh industri-industri yang memperkerjakan mereka, harus memperkuat tali ikat pinggang mereka, dengan jalan menurunkan pengeluaran seefisien mungkin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Pilihannya tampak rasional pula ketika sebagian besar masyarakat "termasuk kelas pekerja di ibu kota" lebih memilih layanan transportasi yang dipandang lebih menguntungkan penghematan keuangan keluarga.

Layanan transportasi berbasis online selain menyajikan kemudahan untuk mengakses layanan mereka, juga yang terpenting dari layanan dengan moda online, menyajikan tarif angkutan yang dapat dipilih dan ditentukan sendiri oleh calon konsumen. Sehingga apapun yang terjadi dengan hambatan yang sering ditemukan dalam rute perjalanan di Ibu Kota "termasuk masalah kemacetan" tidak akan merubah tarif layanan pada transportasi online. Inilah kredit poin yang menempatkan transportasi online lebih mendapatkan tempat di hati masyarakat Ibu Kota.

Masalah kedua adalah buruknya layanan transportasi konvensional. Hal ini bisa dilihat dari contoh kasus permainan tarif argo yang dapat dijumpai oleh konsumen akibat ulah sejumlah pengemudi taksi nakal. Selain itu, banyak dijumpai dalam berbagai macam kasus, pengemudi transportasi konvensional yang tidak jujur bahkan mengelabui penumpang dengan menggunakan rute perjalanan yang panjang "padahal terdapat rute perjalanan yang paling dekat", sehingga menambah tagihan argo yang harus di bayar oleh konsumen. Keluhan terhadap perilaku nakal oknum pengemudi taksi konvensional tersebut telah banyak dijumpai oleh masyarakat. Terkadang yang membuat konsumen marah dan jengkel, tidak jarang pengemudi juga berhitung dengan seberapa cepat argo meteran bertambah seiring bertambahnya durasi perjalanan dengan perilaku sengaja memperlambat jalannya kendaraan. Ketidakpastian budget yang harus dikeluarkan oleh konsumen dalam penggunaan layanan transportasi konvensional menjadikan masyarakat cenderung memilih layanan dengan tarif yang telah diketahui dengan pasti oleh pengguna layanan seperti yang dipraktekkan dalam bisnis transportasi online.

Masalah ketiga menyangkut persoalan keamanan yang menjadi masalah transportasi konvensional. Jangan undermind dulu ketika para pengemudi konvensional menuduh transportasi online tidak memilki serangkain tes untuk uji kelayakan kendaraan "seperti uji KIR" dan serta merta menuding transportasi online bermasalah dalam masalah keamanan penumpangnya, lantas transportasi online dipandang tidak aman. Justru dalam banyak kasus, transportasi konvensional misalnya Bus Kopaja atau Angkot seringkali menimbulkan kecelakaan yang membahayakan nyawa penumpang. Sekalipun uji KIR dilakukan, dalam praktek dilapangan banyak armada Bus Kopaja dan Angkot yang justru tidak layak jalan. Kondisi kendaraan yang sudah tua, perlengkapan keamanan kendaraan yang seringkali dimanipulasi oleh pengemudi/ pemilik angkutan umum "dalam kasus rem blong", dan perilaku pengendara angkutan umum yang seringkali ugal-ugalan di jalanan menimbulkan bahaya bagi penumpang dan pengendara lainnya.

Persinggungan lainnya, terkait dengan layanan transportasi umum konvensional seperti Bus Kopaja dan Angkot di Ibu Kota. Dalam kasus ini memang sedikit berbeda dengan layanan transportasi Taksi Meter "berargo", tarif layanan yang mahal justru tidak ditemukan dalam moda transportasi Bus Kopaja dan Angkot, bahkan bertarif murah dan berada dibawah harga kompetitornya di taksi online. Namun, masalah lainnya sering membuat konsumen merasa khawatir menggunakan moda transportasi ini. Selain masalah kondisi kendaraan yang sering dikeluhkan oleh konsumen, dan masalah perilaku ugal-ugalan para pengemudinya, juga masalah keamanan penumpang dari potensi kriminal yang rawan terjadi di angkutan Bus Kopaja dan Angkot. Dalam banyak kasus, tidak sedikit penumpang yang menjadi sasaran jambret "pencurian" barang-barang berharga di dalam angkutan umum. Kasus lainnya juga yang banyak dijumpai oleh kaum wanita yaitu perilaku pelecehan seksual sampai pada tindakan pemerkosaan juga terjadi dalam sejumlah tindakan kriminal yang ditemukan di angkutan umum.

Dibalik kompetisi yang sedang berlangsung, masyarakat sebagai konsumen adalah raja yang menentukan pilihannya, mana yang baik dan layak untuk menjadi pilihan mereka. Sebelum kehadiran transportasi online seramai seperti saat ini, kesemrawutan bisnis transportasi dan layanan moda transportasi konvensional yang terjadi dalam kurun waktu yang lama, menjadikan masyarakat sebagai konsumen menjadi semakin sadar atas perbedaan yang ditawarkan oleh kedua jenis transportasi ini. Konsumen sudah semakin cerdas untuk menentukan pilihannya.

Namun yang perlu dicermati oleh Pemerintah, kegagalan menciptakan lapangan pekerjaan yang ramah pada pengembangan usaha ekonomi masyarakat secara luas, menjadi penyebab munculnya sebagian anggota masyarakat memilih menjadi mitra bisnis pengemudi online. Dikarenakan market share yang sama dengan pengemudi transportasi konvensional, menjadikan benturan kepentingan perut "bisnis" diantara sesama anggota masyarakat yang mencari nafkah keluarga tidak bisa terhindarkan. Berbeda halnya dengan pemilik bisnis aplikasi "online" maupun bos-bos transportasi konvensional, mereka adalah para pelaku usaha besar yang tentunya tidak diragukan lagi selalu mendapatkan prioritas utama dalam mengembangkan unit-unit bisnis mereka. Tidak jarang bantuan permodalan dari perbankan yang jumlahnya hingga mencapai triliunan rupiah diterima oleh bos-bos pengelola transportasi umum tersebut (baik online maupun konvensional).

Pemerintah harus adil melihat kekisruhan ini pada aspek yang paling mendasar yaitu sebagai upaya untuk menanggulangi pengangguran dan pasar tenaga kerja di dalam negeri yang semakin hari semakin memprihatinkan. Para kelas pekerja tidak bisa berbuat apa-apa ketika keinginan dari sejumlah stake holder bisnis melakukan upaya perampingan unit bisnis mereka yang semakin berdampak pada tingginya angka pengangguran di Indonesia. Disisi lain Pemerintah, tidak mampu menstimulasi tumbuhnya lapangan pekerjaan yang adil bagi semua pemain bisnis kecil di masyarakat. Hal ini bisa kita saksikan dengan tingginya suku bunga kredit yang masih diberikan oleh seluruh perbankan di dalam negeri. Rasanya sangat sulit untuk menumbuhkan para wirausahawan baru dari kalangan masyarakat kecil jika Pemerintah tidak membenahi mekanisme permodalan yang rasanya hanya didesain untuk membiayai industri-industri besar, seperti para pemilik moda transportasi yang sedang berseteru merebut pasar di sejumlah Kota Besar di Indonesia.

Diaspek lainnya, liberalisasi yang diterapkan di Indonesia, pada hari ini menciptakan ancaman laten yang setiap saat dapat memicu kerusuhan sosial yang lebih parah dimasa masa mendatang. Pemerintah telah mempermudah masuknya warga negara asing termasuk para pekerja asing di sektor sektor bisnis di Indonesia. Bahkan sejumlah investasi PMA yang masuk ke Indonesia, justru menyertakan tenaga kerja asing yang semakin hari membanjiri proyek proyek di dalam negeri. Bahkan proyek Pemerintah yang terikat dengan investor asing justru melibatkan tenaga-tenaga pekerja asing. Bahkan dari sudut pandang holding unit bisnis, persaingan usaha yang terjadi antara sejumlah transportasi online "seperti grab car dan uber" bersama-sama moda transportasi konvensional lainnya, lebih menggambarkan kompetisi yang terjadi antara perusahaan asing dan perusahaan dalam negeri.

Sejak lama sektor jasa kurang diperhatikan oleh Pemerintah, hal ini tergambar pada buruknya pelayanan jasa yang dimonopoli oleh Pemerintah. Ketika kehadiran kompetitor baru dari luar negeri, yang menerapkan strategi yang lebih mengedepankan kepuasan konsumen, lantas serta merta status quo layanan jasa yang bertahan cukup lama di Indonesia, secara perlahan tersingkir dari orbit bisnisnya. Bukan tidak mungkin bencana yang sedang dihadapi oleh moda transportasi konvensional, akan di alami oleh pelayanan jasa yang hari ini masih di monopoli oleh Pemerintah. Salah satu moda layanan Pemerintah yang sudah terpengaruh akibat munculnya transportasi online adalah semakin berkurangnya penumpang armada bus transjakarta. Tarif yang murah pada layanan bus trans jakarta, tidak sebanding dengan layanan transportasi online yang lebih mengedepankan pelayanan dan kepuasan konsumen. Masih segar dalam ingatan konsumen, ketika memasuki halte bus trans jakarta, puluhan orang harus berdesak-desakan mengantri menunggu kedatangan bus yang semakin menambah ketidaknyamanan moda transportasi publik tersebut. Selain itu, para penumpang harus berdiri berdesak-desakan dalam bus ditengah-tengah antrian kemacetan jalanan Ibu Kota yang kejam. Ditambah lagi, terkadang terdapat sejumlah armada kosong yang melewati halte begitu saja, tanpa memperdulikan penumpukan penumpang yang terjadi di halte-halte bus trans jakarta. Maka tidak mengherankan jika pada hari ini, moda transportasi yang ditawarkan oleh Pemerintah sekalipun, belum mampu menjawab kepuasan konsumen Ibu Kota yang menghendaki pelayanan transportasi yang baik. Kehadiran transportasi online bagaikan hadirnya setetes air ditengah tengah gurun pasir yang tandus, yang telah lama dicari oleh masyarakat yang menghendaki pelayanan yang baik dan tarif yang terjangkau.

Willem Wandik, S. SOS (Ketua Departemen Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen DPP-Partai Demokrat)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun