Padahal, sumber masalahnya adalah sentralisasi pembangunan yang terjadi dalam kurun waktu yang lama di Pulau Jawa, telah menjadikan Tanah Papua pada hari ini hanya sebagai tujuan pasar industrialisasi yang terdapat di Pulau Jawa. Dengan memonopoli suplai distribusi barang dan jasa yang masuk ke Tanah Papua, tanpa terkecuali Pulau Jawa telah lama memonopoli kebutuhan belanja barang dan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Tanah Papua, dimana sumber pendanaannya berasal dari alokasi dana transfer pusat.
Sehingga tidak mengherankan, jika banyak stake holder di Tanah Papua sering menyebut pihak Jakarta mengirimkan dana ke Tanah Papua, lalu mereka sendiri yang mengambilnya kembali dalam bentuk belanja barang dan jasa yang disediakan oleh industri industri besar di Pulau Jawa. Tidak hanya sampai disitu saja, tender tender pengadaan yang diselenggarakan di Pemerintah Daerah, dipenuhi oleh jaringan pengusaha nasional yang berebut lahan bisnis pengadaan yang menggiurkan di Tanah Papua. Dengan demikian, siapakah yang menikmati dana otsus yang diberikan ke Tanah Papua? Bahwa benar yang menikmatinya bukanlah orang Papua asli yang hidup dengan keterbatasan dan terus terlilit oleh siklus kemiskinan yang diciptakan oleh pola bisnis yang terjadi dalam alokasi dana dana transfer pusat ke Tanah Papua.
Sayangnya Pemda Papua tidak memiliki industri farmasi, tidak juga memiliki industri konstruksi, tidak juga memiliki industri makanan, dan seterusnya. Sebagian besar para pelaku usaha di industri industri besar tersebut adalah para pelaku usaha swasta nasional, perusahaan multinasional dan BUMN. Pada hari ini, sebagian besar industri industri tersebut terbangun di luar Pulau Papua (termasuk banyak ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi).
Ketika martabat Tanah Papua dipertaruhkan dengan pemberian subsidi pusat yang selalu menjadi bahan pergunjingan para elit nasional, dengan sikap yang negatif terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Tanah Papua dengan sebutan daerah korup dan pejabat daerah yang banyak menyelewengkan anggaran otsus. Tentunya hal ini tidak sepadan dengan dampak yang dirasakan oleh penduduk asli Papua yang masih merasakan kemiskinan dan kesenjangan yang begitu besar. Disisi lain Pemerintah Pusat terus mempertahankan praktek monopoli pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua, dengan alasan pusat memberikan dana otsus untuk Tanah Papua.
Rakyat di Tanah Papua sudah menyadari dengan sepenuhnya, bahwa dana otsus hanyalah politik anggaran semu dengan menargetkan kesejahteraan rakyat di Tanah Papua secara semu pula (kesejahteraan angan-angan). Karena yang menikmati bukanlah orang Papua asli, tetapi jaringan bisnis yang mengakar dari Tanah Papua hingga ke pusat. Telah lama disadari oleh rakyat di Tanah Papua, bahwa dana otsus juga menjadi alasan pembenaran Rezim Pusat untuk terus mempertahankan monopoli pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua.
Dengan dikembalikannya dana otsus, maka rezim Pusat (rezim sentralisasi) tidak memiliki cukup alasan lagi, untuk memonopoli pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua. Dengan demikian, rakyat di Tanah Papua bersama elemen Pemerintahan Daerah (Gubernur, MRP, DPRP, Bupati/Walikota, DPRD Kabupaten) berhak untuk meminta penghapusan kontrak Freeport yang telah lama dikuasai oleh Pusat, melalui proses perizinan yang terus dipertahankan oleh rezim pusat dan atas nama kepentingan pusat sejak rezim Kontrak Karya I dan Kontrak Karya II di terbitkan oleh penguasa pusat.
Pemerintah Daerah berhak untuk meminta dikembalikannya hak pengelolaan penuh wilayah Kontrak Karya yang dikuasai Freeport sejak Tahun 1967 sampai Tahun 2021. Pemerintah Daerah tidak boleh disandera oleh Barter dana otsus yang membodohi rakyat di Tanah Papua. Pilihan yang rasional adalah mengambil-alih Freeport untuk mendukung kemandirian Tanah Papua dan melepaskan ketergantungan pendanaan dari subsidi Pemerintah Pusat. Dengan demikian tidak ada opsi penyerahan saham setengah setengah kepada pihak Pemerintah Daerah atau kepada pihak Indonesia. Wajib 100% saham Freeport dimiliki oleh Pemerintah Daerah melalui pengambilalihan kepemilikan Freeport.
Telah ada mekanisme yang dicontohkan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang menempatkan pihak Pemerintah sebagai pemilik sumber daya alam sekaligus pemilik sumber daya equipment yang dikembangkan oleh korporasi yang mengelola suatu blok sumber daya alam. Ini telah lama dipraktekkan dalam tata kelola industri hulu migas nasional. Dengan model kontrak PSC (Production Sharing Contrac) yang nantinya bisa diterapkan dalam tata kelola perizinan pertambangan mineral di Tanah Papua, dimana pihak Freeport McMoran hanya berperan sebatas pengontrak lahan tambang, dan seluruh pengembangan unit usaha di lahan tambang tersebut dibayarkan dari keuntungan produksi pertambangan. Mengapa pusat tidak menerapkan sistem kontrak PSC dalam industri pertambangan mineral? Kalau itu dapat menguntungkan pihak Indonesia (termasuk menguntungkan representasi Pemerintahan Republik di Tanah Papua)? Sepertinya Tanah Papua harus berjuang untuk menderegulasi kembali tata kelola sumber daya pertambangan mineral di Republik ini, karena menyangkut hak hak rakyat, Tanah dan bangsa Papua dalam merebut kepentingan sumber daya alam di negeri sendiri.
Sumber Artikel: willemwandik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H