Pergeseran paradigma inilah yang mendasari lahirnya "standar norma baru" yang menjadi contoh relasi yang dibangun dalam perpolitikan nasional pasca bergulirnya pemilu 2014 dan berpengaruh sangat besar pada relasi kepentingan politik-ketatanegaraan "yang mendukung ambisi untuk berkuasa" dengan hadirnya perubahan secara fundamental "perubahan yang tidak main-main" dimana gerombolan partai politik telah membidik untuk memberangus komisi anti-rasuah (KPK) yang selama ini menjadi pilar dan simbol reformasi. Gerombolan ini ternyata tidak sedang bermain-main, mereka bertekad serius untuk mengamputasi "otoritas/kewenangan" KPK yang menjadi kunci keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi dan mendesain penghapusan KPK melalui penetapan batas waktu berdirinya KPK melalui revisi Undang-Undang KPK yang bergulir saat ini di gedung Parlemen.
Tentunya jika hanya berdasar pada perseteruan yang diawali oleh faksi kekuatan partai politik yang terbagi kedalam dua kubu besar yaitu KIH versus KMP, tentunya bukanlah alasan yang cukup kuat untuk memulai ambisi yang lebih berorientasi pada kekuasaan semata. Dibalik perseteruan yang terjadi, pemetaan kepentingan dari pihak-pihak yang berseteru sejatinya telah dimulai. Puncaknya dengan kesepakatan-kesepakatan yang ditampilkan disejumlah media nasional, yang tampak berusaha menghentikan perseteruan 2 kubu partai politik, yang sejatinya berisi kesepakatan untuk membagi-bagi kekuasaan (lebih tepatnya mendistribusikan kekuasaan/power sharing).
Sehingga tidak heran, tokoh-tokoh yang terlibat diawal-awal perseteruan yang menghebohkan panggung politik nasional, kemudian berubah menjadi orang kepercayaan Presiden untuk memimpin unit Pemerintahan di bawah kekuasaan Presiden. Perseteruan yang terjadi di panggung parlemen, merupakan penegasan "position" terhadap Pemerintah untuk melakukan power sharing, dan hal itu dilakukan oleh Presiden pada hari ini.
Ditengah-tengah power sharing yang terjadi, yang dimotori oleh para politisi dan birokrat yang menjadi bagian dari kekuasaan pada hari ini, mereka menyadari sepenuhnya, bahwa musuh sejati bukanlah koalisi partai politik yang berseberangan "jualan politik" atau "branding politik" terhadap konstituen pemilihnya, tetapi yang terpenting adalah persamaan yang sulit untuk tidak diakui oleh para pemimpin di partai politik, yaitu kepentingan untuk mencari makan dari kekuasaan. Ketika dahaga untuk memanfaatkan kekuasaan yang ada didepan mata, masih terbentur dengan kehadiran institusi anti-rasuah, yang dipandang sebagai "singa liar yang galak" yang sewaktu-waktu dapat membahayakan eksistensi kepentingan para kelompok "pencari makan di kekuasaan". Maka dengan otoritas yang dimiliki oleh Pimpinan Eksekutif yang dipengaruhi oleh Partai Penguasa, maupun Lembaga Legislatif yang berada dalam kekuasaan partai-partai politik, memandang sebagai pilihan yang rasional dan relevan, untuk menggunakan otoritas sebagai pembuat undang-undang, untuk memangkas, membatasi dan memberangus keberadaan institusi anti-rasuah yang dipandang "singa liar yang galak itu".
Instrumen apa saja yang di desain oleh kelompok partai politik yang memandang institusi KPK sebagai "ancaman serius" atau "musuh bersama" yang dapat membahayakan eksistensi kepentingan dari para politisi, pimpinan partai politik, dan birokrat yang ingin memanfaatkan oportunity kekuasaan yang hari ini sedang digenggam oleh mereka? pertama-tama gerombolan partai politik tersebut berusaha memperlunak tujuan pembentukan institusi anti-rasuah yang sebelumnya didasarkan pada urgensi masalah korupsi di Indonesia yang dapat membahayakan keuangan negara, membahayakan perekonomian negara dan membahayakan pembangunan nasional, sehingga mendasari tindakan tegas tanpa pandang bulu untuk melakukan upaya pemberantasan "eradikasi" perilaku koruptif, kemudian direvisi kembali menjadi institusi yang hanya sekedar bertugas "berpatroli" mengoptimalkan "tindakan pencegahan/preventif"Â terhadap perilaku koruptif (Usulan Revisi Pasal 4 berbunyi: "Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan daya hasil guna terhadap upaya pencegahan tindak pidana korupsi").
Selain itu, para pengusung revisi Undang-Undang KPK dari kelompok partai politik juga berniat serius untuk benar-benar menghapus keberadaan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan memberikan batas usia maksimum KPK diperbolehkan eksis di republik ini dengan batasan 12 Tahun semenjak revisi Undang-Undang KPK menjadi produk perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dari usulan revisi di Pasal 5 yang berbunyi: "Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundang-undangkan".
Skenario jahat untuk memberangus KPK tidak hanya sampai disitu saja, sebelum berakhir masa waktu 12 tahun sejak revisi Undang-Undang KPK menjadi produk perundang-undangan yang disahkan bersama antara Presiden dan DPR, peran KPK dalam menangani tindak pidana korupsi juga dibatasi hanya pada kasus-kasus yang mengakibatkan kerugian negara yang mencapai sekurang-kurangnya Rp 50 Miliar. Jika tidak mencapai kerugian negara yang dimaksud dalam ketentuan yang diatur dalam kualifikasi kasus yang boleh ditangani oleh institusi KPK, maka kasus yang ditangani oleh KPK tersebut wajib diserahkan kepada institusi Kejaksaan dan Kepolisian, seperti usulan revisi Pasal 13 huruf b dan huruf c: "huruf b: KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50 Miliar. huruf c: Dalam hal KPK telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah Rp 50 Miliar, maka wajib menyerahkan tersangkan dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada Kepolisian dan Kejaksaan paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK". Hal ini kemudian bisa dipahami, berdasarkan statistik penanganan perkara tipikor yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun Kepolisian, sebagian besar pelaku tipikor berhasil bebas dari jeratan korupsi, dan sebagian lainnya berhasil dijatuhi pidana dengan vonis hakim yang sangat ringan. Nalar publik pun sudah bisa menangkap kemana arah penanganan kasus-kasus tipikor yang dikehendaki oleh "para" gerombolan partai politik tersebut.
Selain itu, sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang berhasil dilakukan oleh para penyidik KPK yang menjadi kunci sukses penindakan tindak pidana korupsi terkait adanya transaksi yang menyangkut gratifikasi "bribery" terhadap penyelenggara negara, sangat tergantung pada proses penyadapan yang selama ini telah lama dipraktekkan berdasarkan standar operasional prosedur (SOP) di internal KPK. Namun segerombolan partai politik berusaha mengalihkan isu penyadapan yang selama ini menjadi senjata utama KPK menangkap para pelaku korupsi yang menyasar petinggi negara berpengaruh, kedalam isu yang bertalian dengan potensi "penyalahgunaan wewenang penyadapan" dan isu belum adanya payung hukum yang mengatur penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Kemudian asumsi-asumsi tersebut, diperkuat dengan justifikasi-justifikasi tim ahli yang hanya sekedar berspekulasi terkait adanya potensi penyimpangan dalam penyadapan, yang tidak dibarengi dengan justifikasi-justifikasi yang mempresentasikan secara data, manfaat penyadapan yang sangat besar bagi penindakan tipikor selama ini. Revisi kewenangan penyadapan oleh KPK terlihat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf a yang berbunyi: "KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri‎".
Yang tidak kalah mengejutkan, revisi Undang-Undang KPK juga melakukan penambahan organ baru dalam komposisi kepengurusan KPK. Diantaranya menambah organ Dewan Eksekutif sebagai pengganti Tim Penasehat yang berjumlah sebanyak 4 orang, namun dengan kewenangan yang telah diupgrade dalam revisi Undang-Undang KPK. Jika sebelumnya Tim Penasehat berkedudukan sebagai pemberi nasehat dan pertimbangan kepada KPK sesuai dengan kepakarannya, maka Dewan Eksekutif berperan melaksanakan tugas sehari-hari lembaga KPK dan melaporkannya kepada komisioner KPK. Selain itu, Dewan Eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 22 huruf b). Selain Dewan Eksekutif, penambahan organ lainnya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan di institusi KPK, juga melakukan penambahan organ Dewan Kehormatan yang memberikan kewenangan kepada organ ini untuk melakukan pemeriksaan dan dapat memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran wewenang, dengan kewenangan tambahan dapat memberikan sanksi administrasi, pemberhentian sementara, pemberhentian pegawai KPK, dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK (Pasal 39 ayat 1, 2 dan 3). Tidak bisa dipungkiri, penambahan organ tambahan dalam struktur organisasi KPK telah menyalahi prinsip independensi KPK untuk bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Posisi Presiden yang dapat mengangkat dan memberhentikan Dewan Eksekutif, dapat dipahami sebagai tindakan intervensi Presiden/setidak-tidaknya mendapat pengaruh dari partai penguasa Presiden/ conflict of interest Presiden terkait status kasus yang ditangani oleh KPK.
Ujung tombak yang menjadi kunci sukses KPK menjerat para pelaku tipikor untuk tidak mudah lepas dari jeratan hukum yang telah ditangani oleh KPK, dengan penjatuhan sanksi yang lebih berat, terletak pada kewenangan penuntutan yang diberikan kepada KPK oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Semenjak dalam penyelidikan, hingga kasus ditingkatkan ke dalam penyidikan dengan penetapan tersangka terhadap setiap pelaku tipikor, dilakukan dalam proses yang serba hati-hati dan proses yang terbilang panjang oleh KPK, dengan tujuan agar tidak satupun pelaku tipikor terbebas dari jeratan hukum. Demikian halnya peran penuntutan merupakan simpul terakhir yang memperkuat kewenangan KPK untuk mengefektifkan jeratan pasal-pasal tipikor agar para terdakwa tidak dapat bebas begitu saja ketika proses peradilan menjadi penentu dalam proses pemidanaan para pelaku korupsi. Dalam kebanyakan kasus yang tidak ditangani oleh KPK, para terdakwa dapat berpotensi melakukan upaya suap untuk sekedar meringankan hukuman atau bahkan membebaskan diri dari jeratan hukum. Dalam revisi Undang-Undang KPK, kewenangan penuntutan dalam peradilan tipikor hanya diberikan kepada Jaksa yang berada dibawah Lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Pasal 53 ayat 1). Pembatasan penuntutan yang hanya diberikan kepada Kejaksaan dan bukan KPK, telah mengembalikan proses pemberantasan korupsi kedalam hutan rimba para mafia hukum yang telah lama menginfeksi institusi-institusi penegakan hukum mainstream, seperti Kejaksaan dan Kepolisian.
Willem Wandik, S. SOS (Ketua Departemen Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen DPP-Partai Demokrat)